Rencana menikahi perempuan yang sesuai dengan seleranya malah kandas dan harus mengikuti selera orangtuanya. Iya, ini semua terjadi karena dia ingin membuktikan pada orang yang telah mengkhianatinya. Mereka menganggap Juanda rendah dan memakinya, seolah tak ada perempuan yang mau menerima Juanda selain Yelsi.
Meskipun ini mimpi buruk, tapi jika menyangkut harga diri, Juanda harus menyelamnya.
Hari ini Pak Danu mengajak keluarganya dan Alma untuk makan siang di sebuah restoran mewah. Juanda hanya mengikuti saja karena sudah sepakat dengan ayahnya untuk melakukan lamaran.
Alma seorang gadis sebatang kara, orangtuanya yang sekarang adalah Pak Danu dan Ibu Dian.
“Assalamu’alaikum,” ucap Alma memasuki ruangan VIP yang diantar oleh seorang pelayan.
“Wa’alaikumsalam.” Ibu Dian bangun menyambut Alma dengan pelukan dan cipika-cipiki. Begitu juga dengan Laras. Sementara Pak Danu tersenyum mengatup tangan.
Lantas Juanda menatap lekat perempuan yang akan menjadi istrinya kelak.
Anjir, kalau begini, bisa-bisa gua ditertawakan sama teman-teman gua. Masa gua dapat perempuan udik, kampungan, ninja lagi. Huft … pasti Yelsi makin congkak ngehina gua.
Juanda masih belum bisa memalingkan wajahnya dari sosok Alma. Bukan karena kagum, tapi keraguannya yang menuntun dia untuk terus mengamati sosok perempuan bercadar dengan pakaian serba gelap.
Mulai dari cara makan yang disingkap sedikit cadar lalu dimasukkan makanan lewat bawah—masih tertutup dan sedikitpun tak terlihat bagaimana warna kulit bagian yang tersembunyi itu. Bibir, gigi, hidung, akan seperti apa?
“Cadarnya apa gak bisa dibuka saja? Ribet banget,” celetuk Juanda membuat semua orang menoleh padanya.
“Bisa, andai yang duduk semeja dengan saya mahram saya atau orang yang akan mengkhitbah saya.” Alma menjawab dengan pasti.
“Lu pasti tau tujuan lu makan semeja dengan gua.” Juanda menatap Alma yang sama sekali tak menatap dirinya.
“Juanda!” Pak Danu menatap tajam putranya agar bersikap sopan pada Alma.
“Saya sudah diberitahu oleh Pak Danu.”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”
Alma mengangkat wajahnya. Diam sejenak, kemudian tangannya terulur memegang simpul tali di belakang kepalanya.
“Sebelum lu buka cadar, gua punya permintaan.”
Alma menghentikan tangannya untuk membuka cadar.
“Juanda!” Pak Danu meninggikan suara.
“Biarkan Juan mengutarakan keinginannya, Pa.” Ibu Dian memberikan kesempatan pada sang anak untuk mengutarakan permintaannya.
“Gua mau lu singkirkan pakaian udik lu itu, ganti dengan pakaian seksi dan berkelas. Sebagai istri seorang CEO selera gua tinggi.”
“Juanda!” Lagi Pak Danu menatap tajam putranya yang sudah kelewatan batas.
Apa ini alasan dia mengatakan ingin menikahi Alma? … hanya untuk menghina Alma agar Alma menolak perjodohan ini.
“Permintaan ditolak,” tegas Alma menjawab, malah lagi-lagi mengagetkan mereka.
“Kalau gitu gak usah buka. Gua gak butuh lihat wajah lu. Besok kita nikah. Live!”
Lagi mereka malah menganga, begitu juga dengan Alma yang mengangkat wajahnya, hingga manik mata cokelat itu menyala dengan indah.
“Anda yakin?”
“Kenapa gak?”
“Bagaimana kalau Anda menyesal? Menikah tanpa melihat wajah calon istri terlebih dahulu, bukankah itu seperti beli kucing dalam karung?”
“Mau nikah apa gak?” tanya Juanda memanas.
“Ok, kita nikah.”
“Eh, tunggu dulu! Pernikahan apa diadakan besok? Nikah siri?” tanya Laras menatap kakak dan calon kakak iparnya.
“Nikah KUA lah. Live,” jawab Juanda pasti.
“Gak segampang itu. Butuh mendaftar dulu di KUA.”
“Pakai duit aja biar selesai.” Juanda malah bersikap acuh tak acuh. Yang penting sah dan ditayangkan di seluruh TV nasional agar orang yang menghinanya gigit jari, selebihnya dia tak peduli.
“Gak bisa. Kalau live, butuh persiapan yang matang, ya kan, Ma?” Laras menoleh pada ibunya yang mengangguk kepala.
“Seminggu, cukup?”
“Bridesmaid, dekor, makanan, gak bisalah, Aa.”
“Pakai uang kenapa gak bisa sih?” geram Juanda sudah tak sabaran ingin membuat orang yang mengkhianatinya gigit jari.
“Gimana kalau sebulan dari sekarang?” tawar Ibu Dian.
“Dua minggu. Aku ingin secepatnya, Ma. Kalian uruslah, gunakan uang.”
Sementara Juanda terus bernegosiasi dengan keluarganya akan hari pernikahan, lantas Alma diam saja mengamati mereka.
“Sebaiknya kita tanya Alma.”
Kompak mereka menoleh pada Alma yang kebingungan.
“Saya? … euu, saya ikut kalian saja. Mana yang baiknya.”
“Dua minggu dari sekarang. Kalian urus semuanya!” pungkas Juanda lalu pamit pergi karena ada meeting di kantor.
Juanda seorang CEO perusahaan yang bergerak dibidang reksadana dan investasi saham melalui sebuah aplikasi yang bernama Sultan Invest. Dibangun sejak dia lulus kuliah dengan bantuan teman-temannya Anjas yang kini menjabat sebagai wakil CEO dan Dika sebagai ahli IT atau hacker.
Di ruang meeting, Juanda malah melamun. Sama sekali tak mendengar apa yang disampaikan teman-temannya mengenai statistik saham perusahaan dalam dua bulan belakangan ini.
Alhasil Dika dan Anjas saling memberi kode lalu menutup rapat itu. Semua petinggi perusahaan bubar, tinggal Juanda, Dika dan Anjas saja.
“Lu kenapa?” tanya Dika setelah melempar ujung pulpen ke jidat Juanda yang terperanjat.
“Gua mau nikah.”
“What? Serius?” Dika dan Anjas terperanjat mendengar ucapan yang bahkan seperti haram keluar dari mulut Juanda karena terhalang restu selama ini.
Lantas Juanda mengangguk kepala. Menarik napas dalam seraya menyandarkan punggung di kepala kursi.
“Bokap lu udah kasih lampu hijau ni?”
“Bukan sama Yelsi sialan itu. Tapi sama perempuan lain.”
Kompak Dika dan Anjas menggeserkan kursi lebih dekat dengan Juanda untuk mendengar kabar terbaru.
“Ada apa ini?”
“Sepertinya bau-bau perjodohan.”
Juanda membuang napas kasar lalu menceritakan kronologi dia menangkap basah Yelsi selingkuh dengan Rangga hingga akhirnya dia menyetujui untuk menikahi perempuan yang dijodohkan ayahnya.
“Wah, anjing tu anak. Gak tau diuntung,” umpat Anjas kecewa berat dengan Yelsi dan Rangga. Selama ini mereka sering bersama tak menyangka jika Rangga berani main belakang.
“Astaga, ternyata apa yang dibilang bini gua selama ini benar,” ujar Dika. Lagi-lagi Juanda hanya membuang napas kasar.
“Siapa calon bini lu? Spill kita-kita dong.”
Juanda membuka layar ponselnya, dia memperlihatkan foto Alma yang dikirim ayahnya kemarin malam.
“Gila, cadaran, Bro.” Dika terpukau melihat perempuan yang ditunjuki Juanda. Perempuan bercadar dengan setelan pakaian serba putih. Bola mata cokelat dan alis senada, sungguh indah.
“Ah, yang benar?” Anjas merebut ponsel dari tangan Dika. Dia juga terpukau sampai menzoom untuk melihat dengan jelas.
“Gila-gila, sholat bolong mendadak dapat ukhti. Amazing.” Anjas sampai menggeleng-geleng kepala karena dia tahu betul sosok bos yang duduk di hadapannya. Sholat bolong, puasa apa lagi. Selera seksi tapi malah dapat yang tertutup.
“Tapi lu udah lihat wajah dia belum?” tanya Dika menatap Juanda dengan tatapan serius.
“Gua gak tertarik lihat wajah dia.”
“Terus tujuan lu nikah apa?”
“Buat bungkam mulut dua antek dajjal itu. Berani-beraninya dia mengataiku gak ada yang mau.” Juanda masih sangat kesal jika harus mengingat ucapan Yelsi dan Rangga.
“Juan, saran gua, jangan lu nikah tanpa cinta! Kasihan anak orang.”
“Dia gak sealim yang kalian lihat di foto.”
“’Maksud lu?”
“Gua yakin dia perempuan matre, gak mau hidup susah, langsung terima perjodohan ini.”
Dika dan Anjas masih kebingungan dengan ungkapan Juanda.
“Kenapa lu bisa seyakin ini? … well, kalau dilihat-lihat perempuan ini shaleha, cadaran gak mungkin dong pansos doang.”
“Dia anak angkat bokap gua. Ayahnya meninggal saat menyelamatkan bokap gua dari amukan preman. Dibiayai kebutuhan dia sampai dewasa, sekarang malah dijadikan mantu. Maybe, bisa jadi dalang perjodohan ini pasti otak dia.”
Anjas bergeming sejenak. “Kalau benar dia matre, kenapa lu ngebet pengen nikahi dia? Malah kasih tempo dua minggu dari sekarang lagi.”
“Gak ada pilihan lain.”
“Gimana kalau lu cari perempuan lain aja, dan biar Alma buat gua?” Anjas menawarkan diri. Alis naik turun, bibir menyeringai.
“Ogah.”
“Katanya dia banyak minusnya, kenapa gak lu kasih buat gua aja? Lumayan gua bisa jadi Abi … abi-umi.” Anjas malah terkekeh pun dengan Dika.
“Dia harga mati bokap gua. Kalau bukan dia, siapapun itu gak dapat restu.”
“Euu, kelihatannya lu udah mulai naksir sama dia.” Dika menyeringai. Tahu sahabatnya itu tak mungkin mudah jatuh cinta pada perempuan tertutup, maka dari itu dia sengaja memancing.
“Jangan konyol!”
“Dia cantik gak kalau dilepas cadar?” tanya Anjas penasaran.
“Belum lihat.”
“Hah? Beli kucing dalam karung dong?” Kompak mereka terperanjat.
“Terserah. Yang penting gua nikah, live.”
“Kalau dia ompong, bibir dower gimana?” tanya Anjas lagi.
Sejenak Juanda membisu. “Iya juga ya … tapi udah lah. Peduli gila. Yang penting nikah dulu, live biar b*jingan itu tau, begitu dilepaskan langsung disambut sama bidadari ninja.”
“Saran gua lu lihat dulu wajah dia. Jangan sampai menyesal!”
Juanda kembali bergeming. Iya juga ya. Kenapa tadi gua gak buka cadar dia aja? … haish, anggap aja untung-untungan gua. Lagian, gua gak niat tiduri dia. Nikah di atas kertas, setahun dua tahun cerai. Cari lain yang seksi, gampang.