“Sampai kapan Papa akan selalu menungguku pulang?” tanya Juanda pada ayah. Setiap dia pulang selalu melihat ayahnya duduk di sofa sambil membaca koran, tepat jam 1 pagi.
“Sampai kamu menikah. Di saat itulah yang menunggumu bukan lagi Papa, tapi istrimu,” kata Pak Danu menutup koran. “Duduklah! Ada yang ingin Papa bicarakan padamu.”
Juanda menurut, dia duduk di sofa samping ayahnya. Bau alkohol menyengat di indera penciuman sampai membuat Pak Danu harus memakai masker.
“Kamu akan menikah. Rubahlah kebiasaan burukmu itu!”
“Jadi itu yang ingin Papa bicarakan sama aku?”
“Salah satunya itu. Tapi yang terpenting, apapun yang menjadi alasanmu menerima perjodohan ini, Papa harap kamu menghapus pikiranmu untuk menjandakan Alma.”
Sialan, Papa tau lagi apa yang gua pikirin.
“Kalau pembatalan pernikahan bisa?” Pertanyaan Juanda malah membuatnya malang. Tasbih digital lagi-lagi mendarat di jidatnya.
“Pertimbangkan segala langkah yang hendak kamu ambil! Jangan bikin malu!” pungkas Pak Danu melangkah pergi.
Lantas Juanda mendesah, dia merogoh ponsel dalam saku melihat grup w******p The Real Sultan yang terdiri dari dia, Anjas dan Dika.
“Kurang ajar,” umpat Juanda saat melihat foto mantan kekasihnya sedang berpesta dengan mantan temannya. “Pernikahan memang gak boleh diundur. Bila perlu dimajukan, biar mereka tau siapa yang telah berani menantangku.”
*
“Aa, bangun!” teriak Laras tepat di telinga Juanda, sontak membuat sang empunya kaget dan terjatuh dari sofa begitu dia membalikkan tubuhnya.
“Ssttt, ngapain sih lu pagi-pagi teriak di kuping gua?” marah Juanda berusaha bangun, lalu duduk di sofa.
“Siapa yang suruh Aa tidur di sofa?”
Juanda tersadar bahwa semalam dia tak masuk ke kamar. Kepala terasa berat, dia pun ketiduran di sofa.
“Ya Allah, bau banget. Gimana perasaan teh Alma jadi istri Aa? Percuma ganteng, tapi mulutnya bau neraka,” cerocos Laras menutup hidupnya. Detik kemudian sebuah bantal sofa malah melayang ke wajahnya.
“Cepat siap-siap! Mama minta Aa segera ke butik!”
“Hmm.” Juanda melangkah pergi. Wajah bantal, rambut berantakan, begitu juga dengan pakaiannya.
Begitu sampai di kamar, Juanda hendak tidur lagi karena hari libur tapi notifikasi pesan masuk dari ibunya membuat dia harus segera ke kamar mandi—membersihkan tubuh.
Sejam kemudian barulah dia keluar dari rumah tanpa sarapan karena Laras terus berteriak agar Juanda cepat keluar.
“Kita jemput teh Alma di Gramed, habis itu baru ke butik,” kata Laras sudah seperti sekretaris yang sudah menghafal semua jadwal kakaknya.
Juanda menurut, dia memutar setir, berbelok arah untuk menjemput Alma yang saat itu sedang berada di toko buku.
Mobil berhenti tepat di hadapan Alma, Laras bersemangat turun, mengajak calon kakak iparnya masuk.
“Saya di belakang saja.” Alma menolak dengan sopan. Dia membukakan pintu belakang kemudi, duduk dengan tenang. Begitu juga dengan Laras yang ikutan duduk di sampingnya.
“Gua bukan sopir. Duduk di depan satu orang!” titah Juanda menatap Alma dan adiknya dari spion tengah mobil.
Hening. Kedua wanita itu sama sekali tak menggubris.
“Laras!”
“Teh Alma aja yang duduk di depan.”
“Kami belum menikah, Laras,” tolak Alma dengan lembut.
“Kalian akan menikah. Duduklah di depan biar terbiasa!”
“Akad dulu.”
Juanda geram sekali karena kedua wanita di belakangnya saling menolak untuk duduk di sampingnya. Kadar sabar setipis tisu pun sirna.
“Kalau gak ada yang mau duduk di depan, sebaiknya keluar dari mobilku!”
“Ayolah, Teh! Gak akan terjadi sesuatu. Orang ketiganya aku, manusia. Bukan setan, tenang aja,” celetuk Laras menyeringai.
Desakan demi desakan membuat Alma terpaksa harus turun. Begitu hendak membuka pintu depan, tiba-tiba malah terkunci dari dalam dan Juanda pun menginjak gas meninggalkan Alma.
“Aa, kenapa teh Alma ditinggal?” sentak Laras memukul lengan kakaknya.
“Kelamaan.”
“Aku aduin sama mama ni.”
“Ck!” Juanda berdesis, dia putar balik lalu menghentikan mobil tepat di depan Alma.
“Cepetan masuk!”
Alma membuka pintu, lalu duduk dengan tenang di samping Juanda tanpa banyak mengeluh. Padahal sudah kesal karena sikap calon suaminya, tapi stok sabar masih banyak.
“Teh, maaf ya, Aa memang gitu. Aku juga sering digituin.”
“Iya, gak apa-apa kok.” Alma tersenyum di balik cadar dan mengangguk pelan.
“Teteh juga harus banyak sabar menghadapi Aa, dia setengah dajjal,” bisik Laras tentu dapat di dengar oleh Juanda yang lekas menjitak kepala Laras yang mendekat telinga Alma.
“Nah kan, Teteh lihat sendiri. Dia memang gak ada akhlak.”
Alma tertawa pelan, sangat pelan sampai mereka tak bisa dengar.
Perjalanan ke butik terasa sangat singkat karena Juanda mengebut, menyelip semua kendaraan di depannya. Tak bisa berlama-lama di dalam mobil karena Laras terus mengoceh, menjelekan dirinya di hadapan Alma. Walaupun Alma tak merespon tetap saja Juanda sebal pada adik satu-satunya itu.
“Akhirnya kalian sampai juga … coba kalian lihat beberapa gaun yang sudah Mama pilih,” kata Ibu Dian pada anak dan calon mantunya itu.
Sengaja berangkat awal ke butik untuk memilih beberapa model baju dan kain agar ketika mereka tiba tinggal memilih mana yang sesuai dengan selera.
“Kenapa gak Mama saja yang pilih? Selera Alma pasti buruk, bikin malu.”
“Belum apa-apa sudah su’udzon duluan,” tegur Ibu Dian.
“Dari penampilan dia saja orang-orang gak perlu tanya lagi.” Juanda mengamati penampilan Alma yang terlihat sederhana—gamis, jilbab panjang dan cadaran.
“Bawel sekali kamu.”
Ibu Dian mengajak Alma untuk mencoba beberapa gaun yang sudah dipilihnya, begitu juga dengan Laras yang diberi amanah untuk membawa kakaknya mencoba jas yang sudah dipilih.
Di kamar ganti yang berbeda, mereka masuk untuk mencoba baju nikah lalu keluar secara bersamaan. Harusnya momen itu yang membuat satu sama lain terpukau, tapi tidak dengan Juanda yang melihat Alma biasa saja karena tak yang terlihat hanya kedua mata dan tangan.
“Masya Allah, kalian serasi sekali. Apa sebaiknya kita panggil penghulu sekarang?” goda Ibu Dian yang terpukau dengan penampilan mereka saat ini.
Alma memakai gaun putih yang menjuntai ke bawah. Swarovski yang bertaburan membuat kesan gaun bertambah mewah, sementara Juanda memakai tuxedo dengan warna senada dengan gaun yang dipakai Alma.
“Laras, cepat foto! Kirim ke papa!” ujar Ibu Dian antusias, segera dituruti Laras.
Setelah memilih gaun pengantin, Ibu Dian membawa mereka untuk memilih cincin kawin dan mahar. Dua minggu adalah waktu yang sangat-sangat singkat untuk mengadakan pernikahan, tapi demi anaknya yang sudah mau menikah di usia ke 28 tahun, Ibu Dian rela merepotkan diri.
“Kamu mau mahar apa, Nak?” tanya Ibu Dian pada Alma.
“Surah Ar-rahman saja.”
“Hei!” Juanda memelototi.
“Kenapa? Berat ya?” tanya Alma.
“Banget. Minta apapun selain hafalan!”
“Kalau begitu seperangkat alat shalat saja.”
“No. terlalu murah. Ma, pilihkan berlian paling mahal! Biar bagaimanapun acaranya akan disiarkan secara live dan orang-orang pasti memasang telinga baik-baik saat aku menyebut nilai mahar,” ujar Juanda menarik benang merah. Dia sangatlah gengsi, andai memberikan nilai mahar yang rendah pasti semua orang akan menggosipkan dia pelit.
“Baiklah. Sesuai dengan permintaanmu.” Ibu Dian sudah memesan perhiasan apa yang dijadikan mahar. Tentu tanpa sepengetahuan Juanda.
Pihak toko mengeluarkan barang pesanan Ibu Dian dan meminta Alma untuk mencobanya.
“Gimana menurutmu?” tanya Ibu Dian pada Juanda.
“Bagus.”
Ibu Dian tersenyum kemudian membayar perhiasan yang akan dijadikan mahar untuk pernikahan putranya itu.
Selanjutnya mereka pergi untuk memilih undangan, lalu suvenir.
Azan sholat dzuhur membuat mereka harus berhenti di sebuah masjid, Laras dan Ibu Dian turun untuk shalat, kecuali Alma yang sedang haid dan juga Juanda yang malas sholat.
“Kenapa gak turun?” tanya Juanda.
“Lagi haid. Anda sendiri? Haid juga?”
Bagai tertampar keras. Juanda paham bahwa Alma sedang mengejeknya.
“Malas.”
“Oh.”
Alis Juanda mengerut melihat tak ada ocehan dari calon istrinya sampai-sampai dia ragu dengan pakaian yang dipakai Alma.
Dia ini bukannya alim? Kenapa gak ceramahin gua yang malas sholat?
Tak ingin bertanya dalam hati yang tak ada jawaban, Juanda pun bertanya pada Alma. “Lu gak mau ceramahin gua gitu?”
Alma menggeleng.
“Kenapa?” tanya Juanda semakin penasaran.
“Jika seseorang sudah tau tujuan dia diciptakan di dunia ini, pasti akan bergerak sendiri tanpa menunggu seruan dari sesama,” ucap Alma membuka pintu mobil tapi malah terkunci.
“Bisa tolong dibuka! Saya mau turun.”
“Lu gak sholat, di sini aja.”
“Kita hanya berdua tanpa status pernikahan, setan akan menjadi orang ketiga.”
“Jawab pertanyaan gua dulu, baru gua bukain pintu!”
“Anda mau tanya apa?” tanya Alma menggunakan panggilan yang sangat formal.
“Apa yang jadi alasan lu buat terima perjodohan ini?”
Alma bergeming, dia melirik Juanda sekilas lalu menatap masjid. “Jodoh.”
“Itu bukan jawaban yang gua inginkan.”
“Lalu apa lagi kalau bukan jodoh?”
“Lu pasti menginginkan harta papa kan? Katakan berapa yang lu inginkan, kita buat perjanjian pra nikah.”
Alma tersentak, tangan meremas gamis, tapi tetap dia harus mengendalikan kekesalannya pada laki-laki yang sudah menghina dirinya. Dia pun akhirnya menoleh, “semua harta yang Anda miliki.”
“Apa?” Juanda terkejut. “Dasar perempuan matre.”
“Jika Anda tak bisa memberikannya, jangan mengajak saya untuk membuat perjanjian pra nikah yang akan memberatkan pernikahan kita,” ujar Alma dengan pasti.
Lagi-lagi Juanda tercengang dengan sosok perempuan bercadar di depannya itu. “Gua kira lu alim sesuai dengan pakaian lu, ternyata gua salah.”
“Anda akan mengetahui ketika kita sudah sah. Untuk sekarang, simpan dulu terkaan Anda,” pungkas Alma membuka pintu mobil yang sudah tak lagi terkunci. Dia keluar dan memilih duduk di bawah pohon sambil membaca buku.
Lantas di dalam mobil Juanda mengamati sosok calon istrinya itu. “Siapa dia sebenarnya? Kenapa terlihat sangat tenang?”