“Ssst … keras banget lagi tamparan si ninja hatori,” gerutu Juanda memegang pipinya yang kebas. Kepalanya juga sedikit sakit karena ditimpuki dengan tas selempang gadis bercadar tadi. Entah apa isi tas itu—bisa-bisanya menimbulkan rasa sakit pada kepala Juanda.
Menatap punggung perempuan yang perlahan menjauh lalu menghilang ketika masuk ke dalam lorong, tiba-tiba Juanda teringat akan sesuatu, dia pun gegas kembali ke dalam mobil. Tujuannya sebuah apartemen luxury yang dihadiahkan untuk kekasihnya sebagai tanda cinta ketika anniversary yang ke-2.
Juanda sangat bersemangat untuk memberi kejutan pada sang kekasih, sehingga dia tak menghubunginya dulu ketika hendak bertamu.
Mobil berhenti di basement, Juanda langsung keluar lalu masuk ke dalam lift. Tombol 35, artinya lantai 35. Begitu pintu terbuka, Juanda kembali melangkah menuju apartemen yang selalu dia datangi. Sudah menjadi rumah kedua baginya, hanya saja dia tidak pernah bermalam di sana karena meskipun dia nakal, orangtuanya tetap mewanti-wanti agar jangan sampai menanam saham di rahim perempuan tanpa status pernikahan, bahkan untuk sekadar celap-celup dengan bungkusan juga dilarang keras.
Untuk saat ini Juanda masih bisa menahan hasratnya untuk tak melewati batas, tapi jika hanya sekadar pelukan dan ciuman sudah menjadi hal biasa.
Juanda menekan bel, kemudian bersandar di dinding, menunggu pintu dibuka oleh sang kekasih.
Bel pertama gagal, Juanda kembali menekan hingga pintu terbuka.
“Sayang.” Juanda tersenyum memeluk sang kekasih yang membeku.
Aroma tubuh yang berbeda membuat hidung Juanda mengendus-endus. “Sayang, aroma tubuhmu beda. Seperti …”
Juanda mendorong pintu. Instingnya berkata ada yang tak beres dengan kekasihnya itu. Aroma yang dikenalinya membuat rasa penasaran meninggi. Tak peduli dengan panggilan Yelsi, dia terus berjalan hingga berhenti di depan kamar.
“Sayang, kamu kenapa?” Yelsi gugup, tapi tetap mengendalikan diri untuk tetap santai. Dia memegang kedua pipi Juanda, mengarahkan untuk menatap dirinya. “Aku habis mandi. Tadi mencoba sabun baru. Maaf bikin kamu salah paham.”
Juanda memindai perempuan seksi di depannya dengan balutan kimono yang menampilkan belahan d**a yang montok. Pasrah, dia pun tak lagi curiga.
“Aku ke sini ingin mengobrol hal serius denganmu.”
“Ngobrol sambil minum?”
“Ok.” Juanda meninggalkan kamar yang belum sempat dibuka karena Yelsi sudah duluan menarik tangannya.
Dia duduk di sofa ruang TV, menunggu Yelsi datang membawa wine. Sambil menunggu Juanda hendak menyalakan TV, tapi remote tak ada. Dia pun mencarinya sampai ke kolong meja.
Detik kemudian alisnya mengerut ketika melihat beda aneh yang terjepit dengan kaki meja. Juanda penasaran lalu menariknya, semakin ditarik semakin panjang.
Deg!
Jantungnya berdetak kencang ketika melihat benda elastis di tangannya. Bukan karet melainkan sebuah alat kontrasepsi.
“Sayang, aku bawain wine untukmu.” Yelsi datang dengan nampan berisi sebotol wine dan dua sloki.
Juanda segera menegakkan tubuhnya, wajah masam, sorotan mata tajam. Dia menunjukkan barang yang ditemuinya. “Apa ini?”
Yelsi tersentak. Dia gugup tapi tak bisa membuat Juanda marah dan mengetahui apa yang dia lakukan di belakang Juanda selama ini.
“I—ini … ya, aku penasaran dengan ini, makanya aku beli. Rencananya ingin mengajakmu main.” Saking gugupnya Yelsi sampai terbata-bata saat memberikan alasan pada Juanda. Tak peduli itu logis atau tidak, yang penting alasan.
Namun, Juanda bukanlah laki-laki yang mudah percaya. Matanya sangat teliti ketika mengamati sesuatu. Dia mengendus k*ndom di tangannya hingga menemukan cairan seperti ingus kental.
“Yelsi!” Juanda menatap tajam.
Yelsi gemetaran, apalagi kedua tangan Juanda kini menarik kimono hingga terlihat tubuh bagian atas kekasihnya itu—ada bekas gigitan kemerah-merahan.
Juanda semakin kalut dengan dugaannya sampai-sampai dia menepis nampan. Semuanya berhamburan di atas lantai.
“Sa—yang, aku bisa jelasin semua ini.” Yelsi meraih tangan Juanda tapi malah ditepis.
“Siapa?” tanya Juanda. Urat leher bermunculan. Dia masih menahan marah untuk tak menampar perempuan yang sudah memberi goresan luka begitu dalam di hatinya.
Bibir Yelsi gemetaran, dia bingung harus memberi jawaban apa. Semakin terdesak. Apalagi kini Juanda mendorongnya ke sofa, melangkah ke kamar yang masih tertutup rapat.
“Juan.” Yelsi gegas bangun untuk menyusul tapi sayang pintu kamar sudah berhasil dibuka oleh Juanda.
“Gua tau lu ada di sini. Keluar lu sekarang!” teriak Juanda penuh emosi. “Keluar lu, Rangga!”
Yang dipanggil pun menampakkan dirinya di balik pintu kamar mandi. Juanda mendekat, sebuah tinjuan melayang di pipi Rangga.
“Stop, Juan!” teriak Yelsi histeris. Dia menarik tangan Juan, kemudian berdiri di depan Rangga—menengahi pertikaian yang terjadi.
“Aku paham sekarang.” Tangan Juanda yang terkepal kini mengusap gusar wajahnya. “Keluar dari apartemenku … sekarang!”
“Tanpa lu suruh, gua akan keluar,” ucap Rangga lantang. “Satu hal yang harus lu ingat, lu banci, sampai kapan pun gak akan ada perempuan yang mau di samping lu.”
Rangga malah merendahkan Juanda dan tinjuan kembali melayang pada bibirnya.
“Terserah lu mau pukul gua sampai mati. Lu tetap banci, makanya Yelsi mau sama gua.”
Juanda memanas dan hendak meninju Rangga lagi tapi ditahan Yelsi.
“Minggir lu!”
“Stop memukuli Rangga! Dia gak bersalah.” Juanda berdesis. “Aku memang memilih dia, karena dia gak sepertimu sok alim.”
“Sok alim katamu?” Juanda meninggi.
“Iya. Aku gak bisa pacaran hanya pelukan doang. Aku butuh kehangatan dan itu aku dapatkan dari Rangga, bukan darimu yang arogan, sok alim.”
Juanda menarik napas berat, tangan terkepal semakin kencang tapi dia tak bisa melampiaskan pada perempuan.
“Keluar dari apartemen gua!” teriak Juanda. Detik kemudian dia menarik tangan Rangga dan Yelsi, menyeretnya keluar dari apartemen luxury miliknya.
“Kamu sudah memberi apartemen ini untukku. Kamu gak berhak mengusirku.”
“Bodo amat,” ketus Juanda menutup pintu.
Yelsi berteriak menggedor-gedor pintu tapi Juanda tetap tak mau membukanya. Dia pergi ke kamar yang ditempati Yelsi selama ini, mengemas semua barang-barang milik Yelsi tanpa meninggal satu pun, lalu dia melempar ke luar sampai membuat kekasihnya menganga.
“Pergi dari sini! Jangan pernah lagi muncul di hadapan gua!”
“Kamu gak bisa melakukan ini sama aku. Apa kamu lupa? Hanya aku satu-satunya perempuan yang menerimamu dan mendampingimu dari nol.”
“Andai aku tau kamu ular, sudah dari dulu aku bunuh,” pungkas Juanda menutup pintu dengan keras.
“Juan! Kamu gak bisa memperlakukan aku seperti ini,” teriak Yelsi menggedor pintu tapi Juanda memilih tak menggubrisnya.
Dia melangkah pergi—duduk di pantry mini bar sendirian. Mengambil wine lalu meneguknya sesuka hati seperti layaknya minum air putih.
“F*ck!” umpat Juanda melempar sloki ke dinding. Pecah berkeping-keping, berhamburan di lantai.
Sudah diselingkuhi malah dimaki, Juanda sangat marah dan kecewa pada kedua orang yang sangat dipercaya selama ini. Yelsi adalah kekasihnya yang sudah dipacari selama 5 tahun. Belum pernah mengajak untuk serius karena terhalang restu orangtua Juanda, dan malam ini rencananya ingin mengajak menikah atas dasar restu ataupun tidak, dan Juanda sudah menguatkan tekadnya untuk menikahi sang kekasih. Tapi sayangnya dia malah dikhianati oleh kekasihnya yang rela selingkuh dengan temannya sendiri.
Iya, Rangga adalah teman Juanda saat duduk di bangku kuliah dulu. Disangka baik dan bisa menitipkan Yelsi padanya tapi ternyata Rangga malah mengambil keuntungan, mencicipi manis madu Yelsi di belakang Juanda. Sungguh mengecewakan.
Rangga seorang produser, Juanda menitip Yelsi pada Rangga karena Yelsi ingin masuk ke dunia hiburan.
“Aaaggrhh …” teriak Juanda melempar botol wine ke dinding. Semakin diingat-ingat kejadian beberapa jam tadi semakin membuat d**a sesak.
Dia pergi meninggalkan apartemen itu. Tepat jam 1 malam dia kembali ke rumah utama.
Dia memiliki kunci cadangan sehingga mudah keluar masuk rumah. Begitu pintu terbuka, matanya sayup-sayup melihat sosok pria paruh baya sedang membaca koran di ruang tamu.
“Pa, kenapa belum tidur?” Juanda menutup pintu—menemui ayahnya yang masih belum tidur padahal jarum jam sudah miring ke kanan.
“Baru bangun. Minumlah air putih yang banyak agar tubuhmu lebih sehat.” Pak Danu tahu anaknya mabuk. Dapat mencium aroma alkohol dari tubuh Juanda.
Juanda mengangguk, dia pergi ke dapur untuk mengambil air minum lalu pergi menemui ayahnya lagi.
“Aku mau ngomong serius sama Papa. Apa bisa?”
“Tentu. Duduklah!” Pak Danu kembali duduk sekalian mempersilahkan anaknya untuk duduk.
“Aku mau menikahi Almarhum.”
Pak Danu terperanjat dengan jawaban Juanda. “Kamu serius?”
Juanda mengangguk mantap. “Papa, atur saja. Aku ingin secepatnya.”
“Baik, besok kita ketemu Alma.”