Menolak Jodoh
“So, untuk apa Papa mengumpulkan kami di sini?” tanya Juanda yang baru saja bokongnya mendarat di sofa. Matanya langsung fokus pada pria paruh baya yang masih bugar—duduk di single sofa.
Ada mama dan adiknya di sana, tapi Juanda malah menatap ayahnya karena ayahnya lah yang memintanya pulang lebih cepat dari biasanya.
“Papa ingin kamu menikahi Alma,” jawab Pak Danu tanpa basa-basi langsung pada pokok pembicaraan.
“What? … Alma?” Juanda terperanjat dan Pak Danu malah mengangguk kepala. “Almarhum?”
Pak Danu yang memegang tasbih digital langsung melempar ke wajah Juanda.
“Bercanda doang, Pa.” Juanda mengusap jidatnya.
“Ambil kembali tasbihnya!”
“Tadi lempar, sekarang disuruh ambil,” gerutu Juanda mengambil tasbih digital lalu mengembalikan pada pemiliknya.
“Alma itu perempuan yang baik, shaleha, cantik, pintar. Cocok untuk melahirkan anak-anakmu, bisa dipastikan cucu-cucu Papa nanti menjadi anak yang sholeh-sholeha, karena kualitas seorang ibu mencerminkan kualitas anak. Dan yang terpenting cocok untuk kamu jadikan istri, setidaknya kamu bisa jadi manusia yang seutuhnya,” ujar Pak Danu melanjutkan pembicaraannya dan yang pasti sangat menohok di hati Juanda.
“Memangnya selama ini aku bukan manusia?”
“Tanyakan pada dirimu,” sahut Pak Danu lempeng.
“Setengah dajjal,” celetuk Laras menyeringai. Masih sakit hati setiap di antar ke kampus oleh kakaknya selalu saja di tinggal di tengah jalan dan minta naik angkot gara-gara dapat telpon dari Yelsi.
“Laras!” Juanda menatap tajam sang adik, malah dibalas memelet lidah.
“Juanda!”
“Iya, Pa.” Juanda balik menatap ayahnya.
Awas saja nanti, gua bikin perhitungan sama lu.
“Kita kembali ke topik. Kapan kamu siap menikahi Alma?”
“Gak akan pernah siap karena aku sudah punya pacar. Meskipun Papa berbusa-busa menceritakan keunggulan Almarhum di depanku, tetap saja, selera kita berbeda. Tapi jika Papa bersikeras menginginkan perempuan itu masuk ke dalam rumah kita, aku siap terima dia sebagai ibu tiri, bukan sebagai istri.”
Semua orang yang berkumpul di sana terperanjat mendengar ucapan tegas dari laki-laki berkulit putih di depan mereka. Bahkan bibi yang hendak mengantar minum pun mundur kembali dan memasang telinga dengan baik—menyimak kelanjutan dari ucapan mereka.
Den Juan, sudah tidak waras lagi sepertinya.
“Juan, apa kamu sudah tidak waras?” tanya Ibu Dian.
“Aku cukup waras, Ma. Papa menginginkan Almarhum menjadi bagian dari keluarga ini, bukankah lebih baik Papa yang menikahinya saja?”
“Ma, bawa Aa’ ke psikiater!” ujar Laras tak sanggup pikir kakaknya kalau berbicara sama sekali tak ada filter. Asal keluar dari mulutnya saja, urusan salah nanti diperbaiki belakangan.
“Alma tidak cocok jadi istri kedua, makanya Papa menjodohkan dia denganmu,” ujar Pak Danu sama sekali tak terpancing dengan ocehan sang anak. Tahu karakter anaknya yang keras bin tengil.
“Tapi aku sudah punya pacar, Papa. Gadis seksi, modis, gak udik, cocok mendampingiku.” Juanda kembali meyakinkan pada sang ayah akan selera dan pilihannya.
“Yang pakai sempak di pinggir pantai kamu bilang cocok?” Pak Danu malah tersenyum sinis. “Bikin malu. Aurat diumbar, murah sekali … coba cek feed IG perempuan itu, Laras! Siapa tau ada panu, kurap, bisul di bokongnya.”
“Dia mulus, Pa.”
“Kamu sudah membuka semuanya sampai bilang dia mulus?” tanya Pak Danu seketika membuat Juanda membisu. “Papa sendiri kurang yakin dia gadis benaran atau gadis rasa janda.”
“Pa!” Juanda menatap protes.
“Perempuan itu sama sekali tidak pantas untuk dijadikan istri. Kita keluarga terhormat. Lihat adik dan mamamu saja tidak pernah menjual auratnya di hadapan publik, karena mereka tahu barang mahal itu hanya pantas dilihat bagi pemiliknya. Bukan di lelang di pasar loak, tiga 5000.”
Telinga Juanda sudah panas mendengar ocehan dari papanya yang terus merendahkan sosok perempuan yang dicintainya selama ini. Dia pun membuka suara, “Cukup menjelekkan pacarku, Pa!”
“Tak perlu dijelekkan memang sudah jelek. Justru karena papa kasihan sama kamu, Papa pasangkan kamu dengan yang indah. Coba bayangkan saja kamu punya istri tertutup, yang bisa lihat hanya kamu saja. Kecantikan istri hanya untuk suaminya, apa semua orang tidak akan iri padamu?” Lagi, Pak Danu memberikan wejangan yang menusuk hati Juanda karena mereka berbeda dalam persepsi.
“Perempuan tertutup tetap bukan seleraku. Meskipun Papa terus mendesakku, tetap Yelsi pilihan hati,” tekan Juanda tetap teguh pada pendiriannya.
“Tak ada restu untuk perempuan lain selain Alma.”
“Kenapa Papa jadi posesif, hah?”
“Karena Papa ingin menyempurnakan tanggung jawab Papa terhadap anak dari laki-laki yang sudah rela mati demi menyelamatkan hidup Papa.” Kali ini Pak Danu mengungkap alasannya menginginkan Juanda menikahi Alma.
“Papa nikahkan saja dia dengan asisten Papa.”
“Papa minta kamu, jangan tunjuk ke yang lain.”
“Aku gak bisa, Pa. Aku punya pacar. Lagian pernikahan itu terjadi karena jalur cinta bukan jalur musibah … aku pamit,” pungkas Juanda melangkah pergi. Meskipun dipanggil tetap saja langkahnya tak bisa dihentikan.
“Juanda!”
“Cukup, Pa,” ujar Ibu Dian mengusap punggung suaminya.
Lantas Laras yang melihat kakaknya pergi, dia pun ikut pergi—masuk ke kamar. Dan kini tinggal Pak Danu dan Ibu Dian saja.
“Anak itu susah sekali dibilangin.”
“Papa mendesak Juan untuk menikahi Alma, apa Alma setuju?” tanya Ibu Dian pada suaminya.
“Alma pasti setuju.”
“Pasti? Artinya Papa belum meminta restu pada Alma.”
“Dia anak baik, tak akan pernah membangkang seperti anakmu itu … sekarang pikirkan caranya untuk membujuk Juan agar mau menikah dengan Alma!”
“Papa, jangan egois lah! Kasihan mereka jika menikah terpaksa,” bujuk Bu Dian.
“Jika mereka tidak menikah, bagaimana aku bisa menjadikan Alma itu mahram? … Ahmad menitipkan Alma pada kita, jadi kita harus bertanggung jawab sepenuhnya.”
Bu Dian membisu. Jika suaminya sudah berkeinginan akan sesuatu hal, maka tak ada yang bisa menghentikannya. Sebelas dua belas dengan putranya, meskipun tak mengakui watak mereka mirip.
*
“Papa ini gak waras atau apa? Seenaknya saja jodohin orang,” gerutu Juanda masuk ke dalam mobilnya.
Mood kacau, butuh sesuatu yang menyenangkan. Sejenak Juanda menenangkan dirinya di dalam mobil sambil memikirkan langkah apa yang harus diambil.
Senyuman bahagia terukir jelas di bibirnya, dia menyalakan mobil kemudian pergi meninggalkan kediaman orangtuanya.
Langit sudah gelap, tapi baginya bagaikan pagi. Kebiasaan tiba di rumah jam 1 pagi dan berangkat kerja jam 7 pagi. Hanya hari ini pulang cepat dan itu pun harus diancam.
Tiba-tiba getaran di pahanya yang berasal dari ponsel membuatnya geli—segera dikeluarkan dan ternyata sebuah notifikasi pesan masuk dari BIG BOSS.
“Astaga.” Juanda terperanjat melihat sebuah foto yang dikirim oleh orangtuanya dengan caption di bawah calon istrimu.
“Gimana cara lihatnya? Cuma mata doang.” Juanda melepas stir mobil untuk menzoom gambar yang dikirim oleh Pak Danu, tetap saja sosok calon istrinya tertutup rapat dalam balutan gaun putih tanpa tembus pandang. Hanya kedua bola mata cokelat yang menyala dan alis senada dengan warna bola mata.
“Fix, kalau ini bini gua, bisa-bisa gua jadi Naturo, dia yang nin—” Baru saja menggerutu, mendadak Juanda berteriak dan menginjak rem.
Bruk!
“Astaga, gua nabrak orang.” Juanda buru-buru keluar, cemas saat melihat seorang perempuan memakai mukenah tersungkur di aspal bersama dengan sepeda.
“Mbak, gak apa-apa?” Juanda mengulurkan tangan hendak menolong tapi perempuan itu mengangkat tangan—tanda penolakan.
“Bisa bangun sendiri?” tanya Juanda lagi dan perempuan itu pun perlahan menegakkan tubuhnya bersama dengan sepeda.
“Ada yang luka?” Karena tak ada respon, Juanda mengeluarkan beberapa uang merah dalam dompetnya lalu menyerahkan pada perempuan itu.
“Hati-hatilah saat mengemudi!”
Juanda menggaruk tengkuknya. Alis mengerut bingung dengan perempuan yang sama sekali tak menoleh padanya itu.
Sekelebat kemudian dia menoleh ke bawah, lalu menghembuskan napas lega.
“Manusia … eh, apa ini?” Dia berjongkok saat melihat sebuah tasbih elektrik di aspal, segera diambil dan menyusul perempuan itu.
“Mbak, tasbihnya!”
Perempuan itu berhenti kemudian menoleh seraya menadahkan tangannya. Lantas Juanda membeku melihat perempuan di depannya. Daya ingatnya cukup tajam, dia meraba-raba kantong mencari ponsel tapi kosong.
“Sebentar!”
Perempuan itu bingung melihat Juanda berlari ke mobil lalu kembali menghampirinya.
“Tasbih saya!”
“Sebentar.” Juanda membuka foto yang dikirimkan oleh ayahnya lalu mencocokkan dengan perempuan yang ada di depannya itu.
“Mbak, angkat wajahnya sedikit!”
Bukan menuruti, tapi malah menunduk.
“Angkat sebentar wajahnya, Mbak! Pelit amat sih. Sudah wajahnya di tutup, menoleh juga enggak mau.”
“Kembalikan tasbih milik saya, Mas!”
“Akan kukembalikan, tapi lihat dulu ke sini!”
Perempuan itu berdesis, memalingkan wajah lalu pergi.
“Sebentar!” Juanda menarik tangan perempuan itu dengan spontan malah ditampar. “Astaga, kurang ajar.”
“Anda jangan kurang ajar sama saya!” balas perempuan itu tajam.
“Lu yang kurang ajar. Gua minta baik-baik, tapi lu malah nampar gua.”
“Jangan pernah menyentuh perempuan yang haram Anda sentuh!” tegas perempuan itu berkata.
“Gak usah sok ceramahi gua.” Juanda menarik paksa pergelangan tangan perempuan itu kemudian meletakkan tasbih di telapak tangannya.
Perempuan itu merasa dilecehkan oleh Juanda, amarahnya terpacu tas selempang pun mendarat di kepala Juanda.
“Aduh! … sangar banget sih?” omel Juanda sebal tapi tak digubris oleh perempuan bercadar itu.
Dia pergi begitu saja meninggalkan Juanda.
Ya Allah, teguhkan hijrahku.