Menjelang Pernikahan

1335 Words
Dua hari menjelang pernikahan, keluarga Pak Danu dan Alma sudah pindah ke salah satu hotel bintang lima yang akan menjadi saksi pernikahan akbar salah satu orang yang berpengaruh di Jakarta. Wartawan sudah hadir di lobi hotel untuk mewawancarai pihak terkait, tapi mereka sama sekali tak memberi kesempatan, hanya senyuman, mengatup tangan di d**a lalu pergi. “Aku gak nyangka akan seheboh ini,” bisik Nia pada sahabatnya. Dia menoleh ke belakang lagi dan para wartawan malah dihalangi petugas karena dapat mengganggu kedamaian para pengunjung. “Sama. Dulu hanya melihat di TV tapi sekarang malah saya yang ikut serta.” “Kamu akan segera jadi nyonya Juanda Saputra, istri CEO Sultan Invest. Kalau sudah kaya jangan lupa sama aku.” Alma terkekeh merangkul lengan sahabatnya itu. “Rencananya mau lupa, tapi sudah duluan di wanti-wanti.” “Nah kan jahat … tapi btw Gus Ihsan gimana?” “Jangan ingatkan saya pada laki-laki lain! Lusa saya sudah akan menikah loh, sudah ada laki-laki yang halal untuk dicintai.” Alma merajuk karena tak ingin mengenang sosok lelaki yang dulu amat dikagumi dan sempat memiliki harapan untuk berumah tangga dengannya. Tapi karena terhalang restu oleh alasan tak sekufu, Alma memilih mundur daripada memperjuangkan yang tak pasti. Di sisi lain Pak Danu pun melamarnya menjadi mantu, dan dia sama sekali tak dapat menolak permintaan dari ayah angkatnya itu. “Ya ya ya, selamat menaklukkan sang playboy.” Alma dan Nia tak lagi membahas Gus Ihsan karena mereka harus ikut masuk satu lift dengan Pak Danu, Ibu Dian, Laras dan juga Juanda. Mengganti topik mantan menjadi pernikahan, tanpa terasa lantai yang dituju sudah tiba. Mereka kembali berjalan yang dipandu oleh resepsionis untuk menunjukkan kamar yang akan ditempati. Satu lantai di booking oleh Pak Danu karena banyak saudara jauh yang datang dan sekalian saja menginap di satu titik. Resepsionis menjelaskan kamar mana yang akan ditempati Juanda, kemudian Pak Danu dan Ibu Dian, lalu Laras, Alma dan Nia. “Kamar pengantin yang mana?” tanya Laras cukup serius, sontak membuat Juanda dan Alma saling memandang. “Di lantai atas, spesial kamar deluxe.” Iya, kamar deluxe yang dipesan Ibu Dian untuk anak dan mantunya. Terdapat kolam renang pribadi yang bisa membuat pengantin baru bermain air sambil melihat keindahan kota Jakarta. “Tolong dihias yang bagus ya biar pengantin baru gak bangun-bangun,” kekeh Laras langsung ditarik kerudung oleh kakaknya. “Anak kecil gak perlu banyak tau urusan orang dewasa. Fokus kuliah! Jangan asik baca nonton drakor, dracin,” hardik Juanda menasihati adiknya. Keduanya bagaikan langit dan bumi jika menyangkut selera. Jika Laras suka nonton film romantis, tapi beda dengan Juanda yang lebih suka nonton film action dan lebih-lebih olahraga. Juanda pernah begadang sebulan penuh ketika nonton FIFA world cup saking sukanya dengan olahraga. “Istirahatlah dulu! Kalian pasti lelah,” ujar Ibu Dian. Alma mengangguk, dia masuk ke dalam kamarnya bersama dengan Nia. Pintu tertutup, Nia langsung membuka suara. “Kalau dilihat-lihat, pak Juanda humoris juga orangnya.” “No comment.” Alma melepaskan cadarnya seraya berjalan mendekat kasur, duduk di sana. “Kamu gak membenci dia kan?” Nia mendelik tajam. “Mencintai mungkin, tapi setelah menikah,” jawab Alma dengan santai. Bahkan untuk saat ini saja hatinya hampa. Tak bisa lagi merasakan cinta yang sebenarnya cinta. Hanya fokus saja ke depan dan mengharap ridha dari Illahi. “Ehem, yang sudah mulai berbunga-bunga,” kekeh Nia kini menelusuri kamar yang dia tempati sampai menjelang pernikahan Alma dan Juanda. Berkali-kali Nia terkagum-kagum dengan pesona kamar hotel bintang lima itu. Dari kamar mandi yang bersih, luas dan mewah, kini dia beralih ke jendela kaca. Dapat terlihat pesona kota Jakarta dari atas. “Kamar ini aja udah sekeren ini, gimana kamar pengantin kalian?” Alma tak membalas, dia lebih memilih memejamkan mata sebentar. “Kamu tidur, apa menghindar?” Nia mendelik. “Lagi gak mau bahas ke sana.” Nia membuang napas, lalu duduk di samping Alma. “Ada yang mengganjal di hatimu? Apa kamu menyesal dengan pernikahan ini? Lebih baik kamu hentikan deh sebelum sah dan kamu akan terikat dengan pria itu selamanya.” Alma membuka mata karena Nia terus menghujam dengan banyak pertanyaan. “Saya tidak pernah menyesal dengan keputusan yang telah saya ambil, Nia. Apapun yang terjadi, saya harus bertanggung jawab dengan semua ini.” Meskipun sejujurnya saya sedikit ragu. Lanjutnya dalam hati. Keraguan itu muncul ketika obrolan mereka di dalam mobil beberapa hari kemarin. Ucapan Juanda yang begitu ringan tak menutup kemungkinan talak kinayah bisa saja jatuh kapan saja. Andai talak sarih langsung dapat diketahui dengan ucapan yang jelas, tapi talak kinayah? Terdengar samar. Dan jika mereka belum berhasil melakukan hubungan suami istri, maka pernikahan baru akan menanti jika ingin kembali bersatu. Rumit. Itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiran Alma. Istirahat sejenak di kamar masing-masing, mereka kembali berkumpul lagi ketika makan malam. Juanda masih memperhatikan sosok calon istrinya yang teguh mengenakan cadar. Bahkan dia sampai bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Alma bisa bernapas? tidakkah itu sangat menyusahkan diri? “Bagaimana perasaan kalian sebentar lagi akan menikah?” tanya Pak Danu menoleh pada Juanda lalu Alma. “Biasa aja,” jawab Juanda pasti. Padahal dia kebingungan sendiri, kenapa bisa berada dalam situasi seperti sekarang ini? Menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak ada dalam daftar harapannya. “Saya tidak tau harus mengungkapkan seperti apa. Rasanya sedikit deg-degan.” “Itu biasa, sering terjadi saat menjelang pernikahan. Tapi Juanda sepertinya sudah tak asing dengan ini,” sindir Pak Danu melirik anaknya yang terlihat santai sekali. Dia menyuapi mulutnya dengan makanan yang dipesan, tak peduli sekitarnya. “Pernikahan itu dijalani bukan untuk dikomentari,” sahut Juanda pada akhirnya. “Kalian sudah saling berkomunikasi kan? Jadi gimana, rencananya mau punya anak berapa?” Juanda tersedak mendengar ucapan ibunya. Buru-buru dia meneguk air sampai tenggorokannya lega. “Kami belum pernah mengobrol intens, Bu. Lebih menjaga agar tak berzina pikiran dengan angan-angan yang menjurus.” Alma memberi alasan untuk menyelamatkan Juanda. “Apa bahas anak itu bisa menyebabkan zina?” tanya Ibu Dian. “Jelas doang, Ma. Bahas anak pasti bahas cara buat, ujung-ujungnya zina,” timpal Juanda. “Kamunya saja yang pikirannya ke mana-mana.” “Jadi kamu mau punya anak berapa?” tanya Pak Danu juga penasaran dengan jawaban pasti dari Alma. “Seberapa dikasih.” “Dan seberapa kuat Aa menanam saham,” timpa Laras sontak membuat Juanda menarik jilbabnya. “Anak kecil fokus kuliah! Jangan anak!” “Apaan sih, rusak jilbabku.” Laras berdesis sebal. “Pa, kita akan banyak cucu, sepertinya rumah harus direnovasi lagi,” ujar Ibu Dian antusias. “Mama atur semuanya.” Setelah makan, mereka menuju ke ballroom untuk melakukan gladi resik dan diarahkan oleh WO mengenai apa-apa saja yang akan mereka lakukan ketika hari H nanti. Tak ada obrolan spesifik di antara mereka, hanya mendengar dan melakukan apa yang diperintahkan oleh WO. Setelah semuanya selesai, mereka kembali lagi ke kamar. Sekelebat kemudian, Alma mendapat notifikasi pesan masuk dari calon suaminya. Alma menarik napas dalam-dalam saat membaca pesan masuk yang berisi poin-poin dalam menjalani pernikahan dengan Juanda. Dilarang tidur sekamar. Dilarang menyentuh barang Juanda. Dilarang mengusik kehidupan pribadi. Menikah hanya formalitas, jangan dianggap serius. Ikuti perintah maka kamu aman. Dan aturan di atas bisa berubah sewaktu-waktu tergantung mood pihak pertama. Me : Saya menolak. Juanda : Haram menolak. Me : Batalkan pernikahan. Juanda yang berada di seberang sana berdecak sebal. Tak mungkin pernikahan dibatalkan karena hanya menunggu sehari lagi. Dan andai itu terjadi, sama saja dia mengotori wajahnya sendiri dan para pengkhianat itu akan terus merendahkannya. Tak lagi berlanjut di w******p, Juanda melakukan panggilan. “Hei, dengar ya ninja! Lu gak boleh batalin pernikahan ini,” omel Juanda tanpa salam. “Wa’alaikum salam.” “Iya, Assalamu’alaikum … Ck! Ribet amat.” “Wa’alaikumsalam.” “Pokoknya lu harus ikuti perintah gua!” tekan Juanda pada Alma. “Gak bisa.” “Lu tau pernikahan ini bukan kemauan gua, tapi orangtua gua. Gua gak cinta sama lu dan gak akan pernah.” “Terserah. Kita lihat saja nanti,” jawab Alma sangat santai dan justru membuat Juanda ketar-ketir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD