Jodoh Seperti Fir'un

2411 Words
“Kamu serius mau nikah?” Nia kaget mendengar kabar pernikahan Alma yang begitu mendadak. Selama tinggal satu kos, tak pernah dia melihat Alma kencan dengan satu pria pun, bahkan ponselnya seperti kuburan. Tak ada pesan ataupun telepon masuk dari laki-laki manapun, kecuali Pak Danu. “Iya. Minggu depan saya akan menikah.” “Dengan siapa?” tanya Nia antusias. “Jangan bilang sama salah satu readermu.” Alma tersenyum menggeleng kepala. “Laki-laki itu anaknya Pak Danu.” “Anak Pak Danu bukannya mbak Laras ya?” Yang Nia kenal hanya Laras sebagai anaknya Pak Danu dan Ibu Dian karena sering bertemu. “Pak Danu punya anak laki-laki namanya Juanda Saputra, CEO Sultan Invest.” “Hah?” Nia terkejut, buru-buru mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menanyakan wajah CEO Sultan Invest pada mbah google. “Masya Allah, ganteng banget anak orang.” Alma hanya tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya itu. “Tapi kayanya dia punya pacar deh.” Tak sampai di situ, Nia mencari tahu di halaman i********: milik Juanda karena ingin melihat beberapa pose Juanda. Ternyata foto Yelsi masih menempel di sana—belum dihapus oleh Juanda karena sibuk. “Kamu serius ingin nikah sama laki-laki seperti ini?” tanya Nia menoleh pada Alma yang sedang minum jus. “Iya.” Alma menjawab dengan pasti sontak membuat Nia tak habis pikir. Kini dia memposisikan duduk menghadap Alma, menatap lekat. “Cari penyakit, sumpah. Meskipun cover terlihat sempurna, tapi kalau masih ada perempuan lain, yang ada kamu merana. Apalagi ini tentang perjodohan, apa kamu gak baca n****+-n****+ drama rumah tangga yang aku rekomendasikan sama kamu?” cerocos Nia. Sebagai editor n****+ romance, dia banyak sekali membaca buku dan merekomendasikan pada Alma selaku penulis n****+ teenlit agar Alma dapat mengikuti pasar dan menulis kisah rumah tangga. Alma menarik napas dalam, tetap memperlihatkan senyuman di bibirnya. “Saya tidak punya pilihan.” “Kamu bisa menolak. Please, jangan biarkan hidupmu terperangkap dalam perjodohan ini! Gak selamanya nikah karena perjodohan itu semanis kisah di dalam n****+. Realita masih ada rasa yang tertinggal dan diam-diam mereka saling berhubungan.” Nia panjang lebar menjelaskan bahwa kisah cinta itu tak selamanya indah seperti yang ada di dalam n****+. Bisa jadi muncul cinta di dalam perjodohan dan bisa jadi kandas di tengah jalan. “Pak Danu dan ibu Dian sudah saya anggap sebagai orangtua saya sendiri, gak mungkin saya menolak permintaan mereka. Mereka sudah sangat baik terhadap saya, kalau bukan karena kemurahan hati mereka, mana mungkin saya bisa seperti sekarang dan kita menjadi sahabat.” Nia mendesah kecewa dengan keputusan Alma yang begitu terburu-buru. Harusnya ada pertimbangan. Dia kembali lagi menatap layar ponselnya yang masih memperlihatkan bagaimana foto Juanda berpelukan dengan Yelsi sangat mesra bahkan, jijik sekali. “Alma,” Nia memanggil dengan panggilan yang mendayu. “Kamu tenang saja, Insya Allah apa yang ada dalam pikiranmu gak akan pernah terjadi. Untuk stok sabar, saya masih punya banyak.” Alma tersenyum, kembali menyeruput jus wortel. Dia sangat percaya diri untuk melangkah, bukan apa-apa, tapi ini semua karena permintaan Pak Danu sendiri. “Menikahlah dengan anakku,” kata Pak Danu saat mendampingi Alma wisuda. Permintaan itu jelas membuat Alma syok, dia menatap Ibu Dian yang ikut serta menemaninya, seolah-olah yang hadir itu adalah orangtua kandungnya, padahal tak ada ikatan darah. Ibu Dian mengangguk tanda setuju dan semakin bingung pula Alma dalam memberi respon. “Menikah?” “Iya. Menikahlah dengan Juanda.” “Tapi saya belum mengenalinya, Pak.” “Kamu akan mengenalinya asalkan kamu setuju dengan niat saya untuk menjodohkanmu dengan Juanda. Ini terkesan mendadak, tapi harapan saya agar kamu bisa menjadi bagian keluarga saya secara utuh, kamu dan saya bisa jadi mahram dengan pernikahanmu dengan putra saya.” Alma tak bisa memberi jawaban. Dia masih bingung dengan permintaan orang yang sudah berjasa dalam hidupnya hingga dia berhasil menyelesaikan gelar sarjana ekonomi syariah. “Selain itu saya berharap kamu bisa menjadi cahaya untuk putra saya. Dia urakan, tak beraturan. Shalat bolong, apalagi puasa. Hobi mabuk-mabukan dan … untuk pacaran saya tidak tahu sejauh mana dia melangkah, zina apa yang telah dia lakukan. Saya hanya berharap ada seseorang yang setia dan sabar dalam menuntunnya kembali ke jalan Allah. Mungkin ini salah, harusnya seorang imam yang membimbing makmum bukan sebaliknya. Tapi saya hanya bisa berharap makmum yang baik untuk imam yang buruk. Apa kamu bisa?” Hati Alma terenyuh mendengar permintaan dari ayah angkatnya. Mungkin jika ayahnya masih hidup, pasti akan melakukan hal yang sama. Meminta gadis yang baik untuk membantu anaknya kembali pada jalan kebenaran, begitu juga sebaliknya. Alma menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata, baru kemudian mengangguk kepala. “Bismillah, saya siap, Pak.” “Alhamdulillah.” Pak Danu paling bahagia. Ibu Dian juga. “Alma!” Alma terperanjat, seketika lamunannya buyar. “Ya elah, melamun. Melamun apa sih? Malam pertama?” Alma tersenyum menggeleng kepala. “Jadilah bridesmaid saya saat saya nikah nanti. Katanya disiarkan secara live.” “Astagfirullah, lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dhalimin … live?” Nia memekik, apalagi melihat anggukan Alma semakin frustrasi dia sampai meremas rambutnya. “Gila, gila, gila. Ini benaran gila.” “Justru dengan diadakan live, dia gak akan berani untuk merobohkan rumah tangga kami di tengah jalan.” Alma tersenyum penuh percaya diri. Mungkin Juanda menganggapnya sebagai wanita bodoh, padahal tidak demikian. Alma sosok gadis yang penuh pertimbangan. Tak bisa mengambil tindakan tanpa memikirkan terlebih dahulu. “Iya juga ya. Nice, kamu pinter.” Nia menjentikan jari, tersenyum kagum. “Gak ada satupun perempuan di dunia ini yang memiliki tujuan nikah itu hanya untuk jadi janda. Pasti mereka menginginkan akhir yang bahagia. Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah. Begitu juga dengan saya. Apapun alasan pernikahan ini, Insya Allah akan saya wujudkan menjadi pernikahan yang saya inginkan.” Alma tetap tersenyum. Matanya memancarkan keseriusan dan sebuah tekad yang kuat. “Aku merinding lihat kamu, Al. Kaya orang berambisi gitu.” Alma terkekeh pelan. “Harus dong. Ambisi dalam mencapai kebaikan gak masalah. Saya tetap optimis, bagaimanapun jalan yang harus saya lewati nanti, Insya Allah dengan stok sabar yang saya punya, pasti saya akan menaklukkan sang playboy itu.” Kali ini Nia menggeleng kepala bahkan sampai bertepuk tangan saking kagumnya dengan Alma. Sementara jauh dari kosan, tepatnya di rumah mewah tiga lantai yang berada di komplek perumahan elit Pondok Indah, Pak Danu dan Ibu Dian masih rapat keluarga, membahas persiapan pernikahan yang tinggal menghitung hari. Sementara Juanda hanya mendengar saja karena wajahnya sedang dibersihkan oleh adiknya sebelum dipakaikan masker. “Nanti kalau udah nikah, minta teh Alma bersihin wajah Aa, biar bersih,” ujar Laras kini menempelkan masker tisu di wajah sang kakaknya. “Kamu kan ada,” jawab Juanda masih merem, kepala menempel di pangkuan adiknya. “Aku mah ngurus suamiku.” Juanda membuka mata lebar-lebar. “Baru masuk kuliah mau nikah, Aa patahin kaki laki-laki itu.” “Kenapa Aa jadi posesif gitu?” “Kamu disuruh kuliah ya kuliah. Setelah wisuda baru boleh nikah. Jangan lagi bunting kejar-kejar dosen bahas skripsi! Bikin malu,” cerocos Juanda paling tak suka melihat ibu hamil kejar-kejar dosen hanya untuk mengurus skripsi. Baginya, jika mau kuliah harus diselesaikan kuliah terlebih dahulu baru setelah itu memikirkan pernikahan agar tak kelelahan. “Kalian ini bahas apa? Fokus dulu dengan pernikahan Juanda,” tegur Pak Danu membuat mereka diam. “Untuk gaun, gedung, catering, suvenir, dekor, MC, makeup, music, dan segala perintilannya sudah selesai. Termasuk undangan juga sudah diedarkan,” ujar Ibu Dian membaca list persiapan pernikahan pada tabletnya. “Gedung mana, Ma jadinya?” tanya Laras. “Hotel bintang lima. Tenang saja, kamu undanglah semua temanmu!” “Yee.” Laras bersorak karena pada akhirnya bisa mengundang teman ke pesta akbar. Maklum saja, selain Juanda dia tak memiliki saudara kandung. “Juan, ada tambahan lagi?” tanya Ibu Dian. “Gak ada. Aku serahkan semuanya sama Mama.” Juanda bangkit lalu pergi masuk ke dalam kamar untuk mengecek ponselnya yang sudah ditinggal sejam yang lalu. Ternyata banyak sekali notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Yelsi. Baru jari Juanda hendak membuka pesan dari Yelsi mendadak nama Yelsi muncul di panggilan masuk. Segera Juanda menjawab seraya melepaskan masker. “Yang, kenapa kamu buru-buru menikah? Apa secepat itu kamu melupakan kenangan kita?” Suara Yelsi terdengar frustrasi dan itu yang diharapkan Juanda. “Kenapa? Kecewa karena aku sudah berhasil mendapatkan perempuan yang lebih baik darimu?” Juanda memberi respon dengan tenang tapi cukup menohok. Rencananya berhasil. Dikira dia tak akan bisa mendapatkan gadis yang lebih baik, nyatanya salah. Ditinggal langsung disambut yang lain. “Harusnya kamu gak melakukan itu, Juan!” teriak Yelsi. Juanda menjauhkan ponsel dari telinganya ketika Yelsi berteriak dan menghakiminya, setelah itu baru mendekatkan lagi. “Dengar ya! Kemarin lu ngatain gua gak ada yang terima, tapi lihat sekarang. Gua berhasil mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada lu. Perempuan tertutup yang kecantikannya hanya buat gua, hanya gua yang bisa ngerasain tidur sama dia, gak kaya lu, teman gua juga lu embat. Murahan.” Suasana hati Juanda sedang sangat bahagia melihat mantan kekasihnya menderita. Enak saja dia berkhianat, disangka Juanda tipe laki-laki yang akan meratapi setelah dikhianati, nyatanya salah besar. Juanda tipe pendendam. Dia akan membalas rasa sakit hatinya pada orang yang telah memberinya luka. “Kurang ajar. Lo gak bisa lakuin itu sama gue. Kita udah bersama sejak lama, jangan hanya karena kesalahan kecil kamu jadi giniin gue.” “Bodo amat. Gua gak peduli. Jangan ganggu gua lagi! Bye.” Juanda menutup telepon. Yelsi kembali menghubungi dengan cepat ditolak lalu diblokir. “Hahaha … akhirnya lu kalah kan.” Juanda tertawa puas karena sudah membuat mantan kekasihnya kecewa. Tak hanya kabar pernikahan, tetap dia juga menarik semua yang telah diberikan pada Yelsi. Enak saja Yelsi selingkuh dengan hasil jerih payahnya. * Menjelang pernikahan, Alma masih sangatlah santai. Dia sama sekali tak gugup, malahan kini dadanya yang berdenyut nyeri ketika melihat sosok pria berbaju koko berdiri di hadapannya. Segera dia menghindar tapi langkahnya terhenti ketika mendengar seruan. “Jangan menghindar! Biarkan saya berbicara denganmu sebentar.” Ihsan melangkah mendekati Alma. Keduanya masih menyisakan jarak agar tak menimbulkan fitnah. “Saya sudah mendengar kabar pernikahanmu dengan salah satu orang besar di Indonesia. Apa ini alasanmu mengingkari janji yang telah kita buat?” tanya Ihsan. Jadwal pernikahan Alma dengan Juanda sudah tersiar di TV swasta, semua orang sudah mengetahuinya sehingga tak heran jika Ihsan juga tahu. Alma memejamkan mata seraya menarik napas dalam, lalu dia menoleh melihat sekilas sebelum dia membuang pandangannya pada pohon mangga di depan masjid. “Iya.” “Jangan bilang karena harta dan kedudukan! Saya tahu itu bukan kamu.” Alma pun mengangguk kepala. “Ada orangtua yang mau menerima gadis miskin, sebatang kara untuk dijadikan mantu dan istri untuk anaknya, untuk apa saya harus menolak rezeki yang datang?” “Almahira.” “Saya hanya orang biasa dan hanya pantas bersanding dengan orang biasa meskipun di mata manusia harta dan kedudukannya lebih tinggi.” “Harusnya kamu bisa bersabar sedikit lagi sampai saya meluluhkan hati ummi untuk menerimamu.” Alma tersenyum di balik cadar seraya menggeleng kepala. “Gak segampang itu. Secara garis keturunan kita berbeda. Kamu seorang Gus, sedangkan saya hanya orang biasa. Kita tak sekufu, tak pantas untuk bersanding.” “Dengan laki-laki ini juga tak sekufu tapi kenapa kamu mau?” tanya Ihsan tak terima. “Dengan mereka saya sudah dapat restu, berbeda dengan Gus.” Alma menarik napas dalam-dalam, matanya menatap langit yang sulit digapai. “Setelah saya pikir-pikir, lebih baik masuk ke dalam keluarga yang mau menerima daripada ke dalam keluarga yang sudah jelas menolak.” “Apa kamu mencintai laki-laki itu?” “Pasti. Siapapun yang menjadi suami saya, Insya Allah dia akan mendapatkan cinta dari saya.” Ihsan menarik napas berat. Apa yang dikatakan Alma benar. Wajib mencintai pasangan yang sudah halal. “Ini undangan pernikahan saya! Jika tak keberatan, datanglah!” Pada akhirnya Alma mengeluarkan satu undangan yang belum tercantum nama pada pria yang pernah dia cintai. “Saya berharap kamu bahagia. Andai pernikahanmu tak bahagia, kembalilah padaku!” Alma tak menjawab. Dia malah pamit pergi. Kenangan memang begitu sulit untuk dihilangkan begitu saja, tapi Alma mencoba logis. Dia harus menatap ke depan dan tak ingin fokus ke belakang. Jika bersama dengan Ihsan dia tak mendapat restu, mungkin bersama dengan Juanda dia tak mendapatkan cinta. Tapi apakah itu penting? Cinta bisa datang seiring dengan waktu, tapi restu? Alma takut sekali jika di tengah jalan dia harus mundur, karena untuk meluluhkan hari mertua jauh lebih sulit daripada meluluhkan hati suami. “Astagfirullah, A.” Alma terperanjat melihat Juanda tiba-tiba muncul di hadapannya. Buru-buru menoleh ke belakang dan melihat Ihsan sudah masuk ke dalam masjid. “Pacaran di masjid,” ujar Juanda melangkah pergi. Alma hendak menyangkal tapi percuma karena Juanda sudah menjauh darinya. Hanya bisa mendesah. “Terserah apa yang dia pikirkan. Toh, untuk meyakinkan dia juga percuma.” “Jangan bengong! Cepat masuk mobil! Gua antar lu pulang,” teriak Juanda sontak membuat Alma terkejut, buru-buru berlari agar orang-orang tak menegurnya. “Saya bisa pulang sendiri.” “Masuk! Gua antar.” Juanda membuka pintu samping, tapi Alma menolak dan malah duduk di belakang kemudi. “Pindah!” “Bukan mahram.” “Ck!” Juanda menutup pintu dengan kasar lalu dia masuk ke dalam mobil. “Setelah kita nikah, kalau lu berani duduk di belakang, gua gantung lu hidup-hidup!” ancam Juanda paling tak ingin terlihat seperti sopir. “Iya,” jawab Alma pasti. “Satu lagi, setelah kita menikah, gua gak peduli lu mau berhubungan sama siapapun, pastikan jangan meninggalkan jejak! Gua juga gak mau lu sampai tidur dengan laki-laki lain! Kalau sampai terjadi, gua bunuh lu.” “Iya.” “Iya apa?” tanya Juanda menatap Alma dari spion tengah. “Iya, saya hanya akan tidur dengan laki-laki yang sudah halal untuk saya.” “Gua gak berniat tidur sama lu.” Dia maunya apa sih? Ya Allah, jika jodoh saya seperti fir’un, jadikan saya sekuat Asiah. “Kenapa? Kecewa?” “Enggak kok.” “Terus kenapa diam?” “Lagi berdoa.” “Doa apa?” tanya Juanda terus menerus. “Saya lagi berdoa, ya Allah, jika jodoh saya seperti fir’un, jadikan saya sekuat Asiah.” Alma malah berterus terang, sontak membuat telinga Juanda panas. “Lu ngatain gua fir’un?” “Enggak. Itu hanya sebuah doa.” “Tapi itu mengarah ke gua.” “Perasaan Anda saja … tapi andai benar, mari kita ubah.” Juanda meremas stir, sebal karena pada akhirnya Alma mengakui doa itu tertuju padanya. “ALMARHUM!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD