"Wih, calon suami orang ganteng banget." Dalia menggoda Juanda yang sedang berdiri di depan cermin.
"Aku cemburu gak ada yang muji." Anjas mulai berdrama di depan istri dari sahabatnya, Dika. Tak menunggu lama, langsung ditimpuki oleh sang empunya.
"Astaga, make up gua luntur."
"Norak."
"Ini konsepnya Sunda? Bukannya Almarhum orang Jawa?" Anjas memindai pakaian bosnya itu—beskap putih dengan potongan tidak simetris pada bagian depan dan tekstur kainnya lebih tebal. Bagian kepala dipakai bendo. Lalu bagian pinggang diselipkan keris.
"Eh, jangan panggil Almarhum! Potong kambing anak orang. Panggil Alma. Iya kali Almarhum, bisa-bisa bos kita jadi calon mayat," kelakar Dalia membuat tawa pecah di dalam kamar itu.
"Nama panggilan dah bisa diubah! Jangan lagi Almarhum, panggil sayang, honey, beb," imbuh Dika langsung diangguki Dalia dan Anjas.
"Bodo amat. Nikah terpaksa ni," seru Juanda.
"Sekarang bilang bodo amat, nikah terpaksa. Nanti malam pertama udah mulai panas. Sok-sok an buka kancing baju, kode."
"Gak usah curhat pengalaman pribadi di depan jomblo."
Di antara mereka bertiga hanya Anjas yang belum menikah. Terlalu sibuk dengan dunianya sampai lupa usia sudah hampir menyentuh kepala tiga.
"Setelah bos kita, langsung elu! Fix, no debat."
"Gua di mana?" Anjas pura-pura amnesia langsung ditinju perutnya oleh Dika.
"Gue udah kirim video bagus buat lo. Cocok dijadikan referensi malam pertama." Dalia mengedip matanya dengan mengacungkan jari telunjuk di bibirnya.
Rasa penasaran membuat Anjas buru-buru mengambil ponsel Juanda untuk membuka pesan masuk dari Dalia.
"Astaga, haredang." Anjaa kaget. Kedua matanya hampir keluar, buru-buru diletakkan kembali ponsel milik Juanda.
"Lagian lo ngapain buka? Cari bini dulu baru gue share ke elo satu."
"Gak usah. Pengen pipis gua." Anjas lari ke kamar mandi. Dan Juanda melongo.
"Apa yang lu kirim?"
"Buka aja nanti kalau kalian udah berdua di kamar."
Juanda menaruh rasa curiga yang amat besar, tapi kedatangan Pak Danu membuatnya mengurungkan niat.
Semuanya pergi mengantar Juanda menuju ballroom di mana akad akan segera dilaksanakan.
Tamu undangan sudah berdatangan duduk di kursi yang telah ditentukan, begitu juga dengan penghulu, saksi dan Juanda yang duduk di depan mereka.
Di bagian perempuan, Alma sudah duduk di kursi yang telah ditentukan, didampingi oleh Nia, Laras dan Ibu Dian, juga Dalia.
Dalia sempat merepet belum dikenali dengan calon istrinya Juanda, tapi apalah daya, pernikahan karena perjodohan, express, jadinya Dalia akan menangguh rasa penasaran sampai akad usai.
"Udah pernah lihat wajah kakak iparmu?" tanya Dalia pada Laras. Sedikit berbisik agar tak menganggu tamu di sampingnya.
"Belum."
"Loh, kok pada belum tau wajah Alma? Apa gak kaya beli kucing dalam karung?" Dalia dibuat kaget. Jika Juanda menolak menyingkap cadar Alma bisa dimaklumi karena tidak cinta—pernikahan terpaksa. Tapi Laras?
"Cantik itu relatif, Kak. Yang penting akhlak dia. Sejauh aku kenal teh Alma orangnya baik, paham agama. Ya, mudah-mudah aja bisa merubah abu lahab satu itu."
Dalia terkekeh, buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan kipas.
Kini fokus tertuju pada sosok penghulu yang sedang memberi tausiah pernikahan.
Pak penghulu memaparkan tentang makna dan tujuan pernikahan yang tak lain puncaknya yaitu karena Allah, selain itu untuk saling mengasihi, menundukkan pandangan, hati tentram dan memperbanyak umat Rasulullah.
Juanda mendengar, dia menoleh ke arah Alma yang sedari tadi menundukkan pandangan.
"Tujuan gua menikahi lu bukan karena Tuhan, tapi karena ingin balas dendam pada orang yang telah mengkhianati gua. Semoga lu gak baper dan gak menuntut lebih," batin Juanda.
"Mari kita mulai!"
Juanda mendengar seruan Pak Penghulu. Dia menyambut uluran tangan Pak Penghulu lalu mengikuti apa yang dikatakan olehnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Sabriya Almahira binti Yusuf Gunawan dengan mas kawin $70000 dan seperangkat alat sholat, tunai," ucap Juanda dalam satu tarikan napas.
"Sah."
Suara Anjas paling menonjol.
Rasa bahagia kini menyelimuti seluruh para tamu undangan yang telah hadir pada akad nikah Alma dan Juanda. Mereka ikut mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh Pak Penghulu.
Sementara itu, Alma menitihkan air mata. Perasaannya mendadak hampa. Harusnya ada rasa bahagia tapi sekarang? Entahlah.
"Ya Allah, semoga ini jalan yang terbaik," batin Alma.
Nia yang berada di sisinya langsung memeluk.
"Aku harap kamu bahagia."
"Amin. Doakan yang terbaik." Alma tersenyum di balik cadar.
Kini MC meminta pengantin wanita di antar menuju kursi kosong di samping pengantin pria karena akan dilakukan penandatangan berkas-berkas yang disediakan oleh pihak KUA, sebelum melakukan ritual khusus pembatalan wudhu.
"Sekarang lu bini gua, lu harus lakukan apa yang gua perintah," bisik Juanda. Masih ingat dengan ucapan Alma yang menolak keras segala persyarat dalam menjalani pernikahan.
"Jangan buru-buru minta jatah! Kita selesaikan setelah kita berada di kamar."
Juanda tersentak mendengar ucapan Alma yang dianggap sangat berani.
Seketika bulu kuduk Juanda merinding, buru-buru membubuhi tanda tangan pada namanya.
"Gila perempuan ini. Berani banget dia ngomong gitu sama gua ... Gua gak boleh kalah sama dia. Mungkin dia kaya gini karna arahan Papa. Gua gak akan biarin rencana Papa berhasil. Ini pernikahan terpaksa, cuma sebentar, gak ada yang bisa ngatur gua," batin Juanda.
"Selanjutnya ritual yang kita nanti-nantikan ... Ritual pembatalan wudhu. Namun, sebelum itu kita persilahkan pengantin pria untuk memegang ubun-ubun istrinya untuk dibacakan doa," ujar MC. Semua pasang mata tertuju pada Juanda dan Alma yang kini berdiri berhadapan.
Juanda meletakkan tangan kanan di ubun-ubun Alma, lalu tangan kiri menadah. Dia tak hafal doanya sehingga hanya mulutnya yang komat-kamit, seakan-akan dia sudah lancar menghafalnya.
"Dia baca mantra atau apa?" tanya Anjas menyenggol lengan Dika.
"Gua juga gak tau. Mungkin dia baca ya gani ya gani, lempar uang satu goni."
"Anjay." Keduanya terkekeh kembali fokus menatap pengantin baru yang kini diminta untuk salim takzim.
Gugup, sangat gugup, tapi Alma mencoba untuk tetap tenang. Dipejamkan mata sejenak seraya menarik napas dalam-dalam, barulah dia menyambut uluran tangan suaminya lalu dikecup.
"Syukurlah pakai cadar, setidaknya gak kena gigi tonggos lu," cicit Juanda mampu terdengar di telinga Alma yang segera menyudahi mencium punggung tangan laki-laki yang kini menjadi suaminya.
"Seharusnya halal dulu sebelum menyentuh tangan perempuan yang bukan mahram." Alma membalas, sangat menohok di hati Juanda.
"Gak usah ceramahin gua!" tekan Juanda. Masih dalam mode bisik berbisik.
Alma mengangguk santai, kembali mendengar arahan dari MC.
"Selanjutnya pengantin pria mencium kening pengantin wanita."
Deg!
Alma mengangkat wajahnya. Menatap wajah Juanda yang terlihat datar.
"Maju sini!" titah Juanda, malah Alma gugup dan mundur.
"Wah, sepertinya pengantin kita malu-malu singa ni."
Semua orang terkekeh. Justru ini membuat Juanda kesal karena menganggap Alma sok suci. Memamerkan malu-malu padahal cukup berani.
"Cepatan sini!"
Alma melangkah. Jantung terus berdegup kencang. Saat bibir Juanda menyentuh keningnya, seketika Alma memejamkan matanya.
"Alhamdulillah sah."
Semua orang bertepuk tangan untuk mereka.
Berbagai rangkaian acara mereka laksanakan, termasuk meminta doa kepada orangtuanya Juanda.
Kini, mereka duduk di atas pelaminan, dan semua orang mengantri untuk memberikan ucapan selamat dan doa.
"Ya ya ya, akhirnya sold out juga," ujar Dika. "Kado udah disiapin di kamar."
"Hmm." Juanda membalas dengan dingin.
"Senyum dong! Kamera terus menyorot kalian," seru Dalia.
"Percuma, dia senyum juga gak ada yang tau."
"Setidaknya lo senyum."
"Gua merana." Anjas kembali berdrama. Namun sedari tadi dia penasaran dengan wajah Alma, buru-buru berdiri di sampingnya. "Boleh intip wajahmu, Ukhty?"
"Boleh, kalau Mas tadi yang ijab kabul," balas Alma dengan suara lembut membuat sahabat Juanda terkekeh.
"Ok. Kalau Ukhty jadi janda, call me, please! Kalau Juan kasih mahar $70000 aku tabah $80000."
"Astaga, jiwa pibinor lu." Dika mengusap wajah Anjas, membaca ta'awudz lalu meniup wajahnya. "Banyak setannya ni. Jangan di dengar, Al!"
"Sebaiknya uang itu disantuni anak yatim saja, jangan janda, terlalu banyak."
Dalia terkekeh lalu mengulurkan tangan yang segera di sambut Alma. "Aku, Dalia. Istrinya Dika, babunya Juan di kantor."
"Alma, istrinya Juan."
"Di atas kertas," ujar Juanda menambahkan.
"Dunia dan akhirat," balas Alma sangat santai.
"Aku boleh dong lihat wajahmu."
"Kalau suamiku mengizinkan."
"Aaa aah, so sweet banget. Mak, pengen kawen," cerocos Anjas lebay.
"Kalian jangan lama-lama di atas pelaminan! Yang lain antri!" seru Pak Danu, mereka pun akhirnya turun dari pelaminan.
Tak jauh dari sana, sosok perempuan seksi menatap tajam, penuh amarah.
"Lihat saja, apa yang akan gue lakukan."