“Non Alma, ada yang bisa Bibi bantu?” Bibi dikagetkan dengan pengantin baru yang datang ke dapur.
Pertama kali bertemu ketika menghadiri pernikahan putra majikannya dan sekarang sudah menjadi bagian dari rumah tiga lantai yang berada di komplek perumahan mewah di Pondok Indah.
“Bibi, lagi masak ya?”
“Iya, untuk makan malam.”
“Boleh, saya bantu?” Alma langsung memegang sayur.
“Jangan, Non! Lebih baik Non Alma duduk saja. Kan Non Alma pengantin baru, gak boleh sentuh peralatan ini! Nanti malah tangannya gak mulus lagi.”
Alma tersenyum. “Gak apa-apa, Bi. Saya sudah biasa masak. Boleh ya kalau saya bantu, Bibi!”
Bibi malah kebingungan sendiri.
“Saya mau menyiapkan makan malam untuk suami saya. Boleh ya!” Kembali Alma memohon.
Di rumah yang besar itu, dia tak tahu harus ngapain. Kalau berkeliling pin yang ada capek, lebih baik ke dapur untuk memasak.
“Aduh, gimana ya? Takut Den Juan marah kalau tahu istrinya masak.”
“Insya Allah, enggak, Bi.” Alma tetap bersikeras untuk membantu Bibi masak.
Dia sudah kenal dengan semua bumbu dapur, tapi bingung harus masak apa karena tidak tahu makanan kesukaan penghuni rumah itu.
“Mas Juan suka makan apa?” tanya Alma sambil memotong sayur karena akan memasak capcay.
“Den Juan mah jangan ditanya sukanya apa, semuanya dia suka. Yang tidak disukai itu yang berlemak, pedas dan yang ada kacang.”
“Kacang?”
“Iya, Den Juan alergi kacang.”
“Kalau kacang panjang?” Alma menunjuk kacang panjang yang dipegangnya.
“Itu mah gak apa-apa.” Bibi malah terkekeh.
Alma sangat cekatan dalam memasak dan itu membuat Bibi kagum pada sosok yang bercadar itu. Ini kali pertama ia melihat ada majikan mau terjun ke dapur. Sementara di rumah itu, tak ada satupun yang mau direpotkan dengan peralatan dapur.
“Non Alma bawa saja makanannya ke atas meja. Sisanya biar Bibi yang beresin.”
Alma dengan senang hati menghidangkan makanan di atas meja. Di tata dengan rapi termasuk meja dan gelas.
“Non, biar saya saja,” kata ART yang lain turut membantu Alma. Tak enak hati jika Alma yang harus turun tangan, padahal sudah ada mereka yang digaji tiap bulan.
“Gak apa-apa.”
“Non, sebaiknya siap-siap! Biasanya Den Juan sebentar lagi akan keluar.”
“Iya kah?”
ART mengangguk kepala. “Den Juan biasanya hari sabtu dan minggu kalau gak keluar jam 10 pagi, ya jam 5 sore. Dan itu rutin, pulangnya nanti jam 1 pagi.”
“Kalau begitu saya ke kamar dulu. Ini saya serahkan ke Bibi gak apa-apa, kan?”
“Gak apa-apa, Non.”
Alma melangkah pergi. Dia ingin tahu apa kebiasaan suaminya itu.
“Astagfirullah.” Alma terkejut saat melihat Juanda hanya memakai handuk saja. Segera membalikkan tubuhnya.
Lantas Juanda juga sama terkejut dan menyilangkan dadanya—malu.
“Ngapain lu masuk?”
Sadar bahwa di kamar sudah ada penghuni baru, seharusnya dia memakai baju.
Alma menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan lewat mulut. Dilakukan berkali-kali.
Tenang. Laki-laki itu suamimu sekarang. Halal bagi matamu melihatnya, meskipun tanpa mengenakan apapun.
Alma membalikkan badan, lalu mendongak. “Mau pergi ya?”
“Ditanya malah tanya balik.” Juanda melangkah pergi menuju walk in closet. Alma segera mengekorinya.
“Gue mau pakai baju. Ngapain lu ngikut? Demen lu sama gua?”
“Iya. Sini, saya ambilkan bajunya.”
“Gak usah. Gua punya tangan.”
“Ya udah, kalau gitu saya mandi dulu.”
Juanda tak menanggapinya. Dia melanjutkan tujuannya untuk memakai baju. Sebentar lagi dia akan pergi nongkrong dengan Anjas dan Dika. Sudah janjian di grup. Anjas minta Alma ikut, tapi Juanda menolak karena Alma merepotkan, makan minum saja harus menyibak cadar.
“Mas, saya ikut ya.” Alma datang dengan memakai bathtub, jilbab panjang dan cadar.
Juanda ingin berkomentar, tapi malas karena bisa-bisa Alma memintanya membuka cadar.
“Gak.”
“Saya istri, Mas loh.”
“Bodo amat.” Juanda memakai jam tangan, lalu menatap di cermin sekali lagi sebelum pergi meninggalkan walk in closet.
Alma tak peduli akan diajak atau tidak, yang terpenting adalah memakai baju dan sedikit riasan wajah, terutama bagian mata, karena itu yang dapat dilihat oleh sang suami untuk saat ini.
Tak butuh lama, karena dia tak perlu memakai banyak riasan, bahkan pewarna bibir dan pipi saja tak butuh. Hanya memakai lip balm saja.
*
“Juan, mau ke mana?” tanya Ibu Dian melihat anaknya sudah rapi dengan baju kaos, celana jeans dan sepatu sneakers.
“Keluar, Ma, sama temen.”
“Alma gak diajak sekalian?”
“Ngapain? Bikin malu aja.”
“Juan!” Ibu Dian mempelototi anaknya.
“Perempuan kaya dia cocoknya di rumah, bukan diajak jalan-jalan. Bikin malu.”
“Kalau bikin malu, kenapa juga kamu setuju menikahi Alma?” Ibu Dian langsung mengultimatum Juan sampai kehilangan kata-kata.
Jujur saja, Pak Danu memang meminta agar Juanda menikahi Alma tapi tidak disertai ancaman. Setelah Juanda menolak, mendadak Juanda malah datang kepada ayahnya dan menyetujui pernikahan itu tanpa diketahui alasan pasti.
“Gak ada pilihan lain,” pungkas Juanda melangkah pergi.
Tak lama kemudian Alma turun dari tangga.
“Mas Juan mana, Ma?”
“Baru saja keluar. Kamu mau ke mana?” tanya Ibu Dian menatap lekat penampilan Alma. Tak ada perubahan yang signifikan, hanya tas selempang yang dikenakan.
“Ikut Mas Juan.”
“Kamu diajak?” Ibu Dian membelalak. Baru saja anaknya mengatakan tak akan mengajak Alma, lalu kenapa sekarang Alma malah mengatakan sebaliknya? “Ya sudah, sana kamu susul, sebelum Juan pergi.”
Alma mencium punggung tangan Ibu Dian secara mengucapkan salam lalu berlari keluar menemui suaminya yang sudah masuk ke dalam mobil.
“Saya ikut,” kata Alma langsung masuk dan duduk di samping Juanda.
“Turun lu!”
“Gak mau.”
“Lu gak tau malu banget ya?” Juanda berdecak sebal melihat istrinya bermuka tebal.
“Saya sudah tak memiliki rasa malu sejak Mas Juan menikahiku,” jawab Alma dengan santai. Makin panas telinga Juanda.
Namun kali ini dia tak bisa lagi memakai emosi. Napas bergemuruh, dia pun menoleh pada Alma setelah berhasil menenangkan kekesalannya.
“Gua siapanya lu?”
“Suami.”
“Ok, karena gua suami lu, dan perintah suami wajib dilaksanakan, sekarang lu keluar dari mobil gua!”
Alma masih diam ditempat.
“Almarhum!”
“Baiklah, saya keluar. Tapi jangan pulang terlalu malam. Kalau bisa makanlah di rumah! Saya sudah menyiapkan makanan kesukaan, Mas.”
“Hmm.”
Alma keluar dari mobil, belum sempat melambaikan tangan, Juanda sudah menginjak gas hingga mobil itu melaju dengan kencang.
“Alma, kamu mau ke mana?” Pak Danu datang dengan sepeda onthelnya.
“Gak ke mana-mana, Pa ... Papa, baru pulang?”
“Iya. Tadi Papa diajak bersepeda sama teman Papa. Sudah lama tidak dayung sepeda jarak jauh, bawaannya lelah … Juan, mana?”
“Sudah pergi.”
“Jadi kamu ditinggal?”
“Bukan ditinggal, tapi memang Mas Juan mau nongkrong sama teman-temannya, gak mungkin juga saya ikut. Malu.” Alma memberi alasan yang logis agar mertuanya dapat percaya.
Tapi yang namanya seorang ayah yang sudah memomong putranya dari bayi, pasti kenal betul dengan karakter anak-anaknya.
“Bagaimana dengan misi yang Papa berikan padamu?”
“Saya akan terus berusaha membuat Mas Juan mencintai saya, Pa.”
“Juanda tipe pria gengsi, meskipun rasa penasaran tinggi tapi rasa gengsi tetap mendominasi. Pastikan dia luluh padamu. Jujur saja, Papa menginginkan keturunan Saputra lahir dari rahim perempuan shaleha sepertimu.”
“Insya Allah saya akan terus mencoba dan mempertahankan rumah tangga saya.”
Pak Danu mengangguk mantap. “Usahakan jangan sampai dia mengucap kata talak sebelum kalian melakukan hubungan suami istri. Andai itu terjadi, dengan karakter Juan, sampai kapanpun tak akan pernah mau balikan lagi sama kamu.”
“Insya Allah, Pa.”
Alma sangat berterimakasih pada Pak Danu yang sudah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjalani kehidupan yang layak dan pendidikan yang terbaik. Tentu dia merasa berjasa meskipun pertemuannya dengan Pak Danu harus ada nyawa yang melayang.
Pak Danu tak meminta pamrih, hanya saja dia menginginkan agar Alma dapat menjadi istri dari Juanda dan satu misinya ‘membuat Juanda melupakan gadis di luar sana dan sekaligus dapat menjadi sosok manusia yang sesungguhnya, yaitu paham jika Allah menciptakan maklum di dunia ini bukan untuk hiburan dan liburan, melainkan untuk beribadah pada-Nya.’
*
Juanda tersenyum mengingatkan bagaimana Alma bisa patuh padanya hanya dengan mempertegaskan bahwa dia seorang suami dan perintah wajib dilaksanakan. Mungkin ke depannya dia akan sering-sering menggunakan kata-kata itu agar Alma bisa tunduk padanya dan tak berani macam-macam.
Tiba di sebuah club, Juanda langsung masuk menuju ruang VIP yang biasa mereka gunakan untuk nongkrong. Walaupun Juanda dan teman-temannya sering ke club, tapi mereka tak ingin berbaur dengan lautan manusia pencari hiburan di bawah dengan berjoget-joget. Dia memilih tempat khusus dengan pelayanan eksklusif.
“Gila lu, bini cadaran, lu ajak kita ke sini. Emang setan lu,” umpat Anjas baru masuk setelah Juanda duduk di sofa.
“Kalian pesan air putih saja.”
“Jangan dong!” Anjas duduk, menarik gelas minuman beralkohol yang ada di depan Juan, langsung meneguknya sedikit.
“Rasanya masih sama.”
“Dalia mau ikut, tapi gua tinggal gara-gara lu gak jadi ajak bini lu.”
“Bini lu flexible, bisa diajak ke manapun. Lah bini gua? Cocoknya taklim.”
Anjas terkekeh geli pun dengan Dika.
“Habibi, habibi … by the way, sekarang lu udah akui dia bini lu?” Anjas memancing. Berkoar-koar tak cinta mendadak jadi mengakui istri.
Juanda memijat pelipisnya. “Gua ke sini karena mau menghindari Alma. Gua heran sama perempuan satu itu, gua pikir dia pendiam, penurut, nyatanya dia bar-bar sekali. Hampir tiap saat dia godain gua.”
Kedua temannya yang tadi menyimak mendadak tergelak.
“Serius lu? Kadal kaya lu ditindas?”
“Kayanya gua salah pilih istri.”
“Bukan salah pilih istri, tapi otak lu-nya aja yang gak bener. Ada istri gak dimanfaatkan buat buang calon bayi lu,” ujar Dika.
“Lu tau gua kan? Paling anti sentuh perempuan tanpa cinta,” tegas Juanda.
“Kalau gua mah, gak peduli urusan cinta. Selama dia udah jadi bini gua, daripada nganggur, takut berkeras, gua tekan terus,” ujar Anjas sambil menggoyangkan gelas minuman lalu meneguknya lagi.
Juanda menyandarkan punggung dan kepalanya mengadah ke langit.
“Gini aja deh, kalau lu gak mau, Alma buat gua aja. Habis ini gua jadi ustadz. Ya Latiiif, ya Salaam,” imbuh Anjas.
“Somplak.”
Ketiga pria itu menghabiskan waktu berjam-jam di club, dari saling curhat sampai sekarang bermain billiard. Banyak hal yang mereka bahas, persoalan cinta, saham dan rival.
“Kemarin ada akun gosip yang coba up berita Yelsi menjadi orang paling dirugikan karena ditinggal nikah. Hanya lima menit, terus di takedown. Kira-kira siapa yang melakukan itu?” tanya Anjas setelah memukul bola.
“Gua gak tau berita itu.” Dika terkejut, sedangkan Juanda diam saja seraya memikirkan siapa yang telah membantunya. Sekelebat kemudian dia teringat dengan sosok yang berkuasa di balik ke suksesannya.
“Gua cabut dulu ya. Bini gua kasih kode.” Tiba-tiba Dika izin pamit setelah membuka ponselnya. Ada pesan dari sang istri karena sudah jam 12 malam tapi Dika belum tiba di rumah.
“Gua ikut.” Anjas meletakkan stik, pergi menyusul Dika. Dia tak bawa mobil jadinya menumpang dengan Dika karena satu arah.
Juanda pun tak mungkin tinggal sendiri, dan akhirnya memilih untuk pulang.
Kepalanya sedikit berat karena minum lebih banyak dari biasanya. Tapi tetap mengusahakan fokus sampai akhirnya dia tiba di rumahnya.
Kunci cadangan selalu ada di sakunya. Dia membuka pintu dan alisnya mengerut sampai mengucek mata saat melihat sosok perempuan bercadar berbaring di sofa.
Pintu ditutup kembali, Juanda menoleh ke segala arah, mencari sosok yang biasa menunggunya pulang, tapi tak ada.
“Perempuan ini ngapain tidur di sini?” gumamnya Juanda. Detik kemudian dia melihat gamis Alma yang tersingkap hingga memperlihatkan kaki putih bersih dan mulus.
“Kakinya bisa sebagus ini, bagaimana dengan …” Juanda menoleh pada wajahnya yang masih tertutup cadar. Dia mendekat, perlahan tangannya ingin menarik kain kecil yang menutupi sebagai wajah sang istri.
“Mas.”
Juanda tersentak melihat Alma membuka mata. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan … bruk!
Sama-sama terkejut saat kedua mata saling memandang dengan jarak yang sangat dekat.
“Nafkahnya jangan di sini! Kita ke kamar aja.”
Juanda mendorong wajah Alma dengan lima jari lalu menegakkan tubuhnya.
“Pa.” Juanda lagi-lagi dikagetkan dengan kehadiran ayahnya.
“Sudah ada perkembangan.” Pak Danu tersenyum lalu pergi.
Lantas Juanda mengusap gusar wajahnya.
Gara-gara banyak minum.
Dia berdesis kemudian pergi ke kamarnya. Sedangkan Alma yang tengah mengatur napasnya.
“Hampir saja.”