“Kenapa wajahmu seperti orang kesal?” Ibu Dian memperhatikan wajah anaknya yang baru datang. Terlihat sangat kesal sekali.
Diamnya Juanda malah Ibu Dian menoleh pada suaminya. Iya, kecurigaan terbesar terletak pada suaminya. Pasti ada sesuatu yang membuat Juanda sebal.
“Aku mau bilang kalau sore ini aku akan pindah ke rumah sendiri.”
Pak Danu terperanjat langsung menoleh pada sang anak.
“Apa kamu sudah mempersiapkan ini sebelumnya, Nak?” Binar mata Ibu Dian menunjukkan ketidakrelaan berpisah dengan anaknya. Dari dulu dia sengaja meminta suaminya membangun rumah yang besar agar bisa ditempati oleh anak dan cucunya. Namun dengan adanya pernikahan Juanda langsung berpamitan.
“Iya,” jawab Juanda pasti. Padahal dia belum sempat membeli rumah. Bahkan selama ini belum terpikirkan untuk membangun rumah karena yang ada dalam pikirannya hanya bermain saham dan bagaimana caranya membuat perusahaannya semakin maju.
Dulu dia hanya membeli satu apartemen untuk kekasihnya, namun sudah berpindah tangan karena dia muak melihat apartemen yang pernah dijadikan tempat perselingkuhan Yelsi dengan sahabatnya.
“Setau aku Aa gak pernah beli rumah,” ujar Laras.
“Siang ini mau beli biar sore bisa langsung ditempati.”
Pak Danu akhirnya paham kenapa anaknya buru-buru ingin pindah. Ini pasti karena permintaannya tadi di kamar hotel.
“Papa menolak.”
“Aku gak butuh izin dari Papa, karena surgaku ada di kaki Mama, bukan Papa.”
“Surga Mama ada di kaki Papa. Jika Papa minta Mama untuk tidak memberi izin padamu, artinya apa?” Pak Danu menatap sang anaknya yang terlihat kepanasan. Tapi dianya malah santai.
“Terserah. Aku sudah menikah, sudah menjadi hakku untuk pergi dari rumah.”
“Berarti sudah menjadi hak Papa juga untuk menjual semua saham Papa di perusahaanmu.”
“Papa!”
Pak Danu sangat pandai bermain kata dan ancaman. Tahu anaknya sangat cinta terhadap usahanya kali ini. Iya, perusahaan Sultan Invest yang dirintis sejak menduduki bangku kuliah, kini menjadi pesat dan menjadi perusahaan sekuritas ternama di Indonesia.
“Mamamu sudah membangun rumah begitu besar agar anak-anak, mantu dan cucunya bisa tinggal bersama. Kenapa kamu harus merepotkan diri untuk membeli rumah yang baru? Lebih baik uang itu digunakan untuk beli saham.”
Juanda menoleh pada sang istri. Dari tatapannya dia memohon agar Alma melobi ayahnya agar setuju untuk tinggal terpisah.
Alma pun mengambil ponselnya lalu mengetik pesan pada Juanda.
Alma: Saya akan bantu tapi Mas harus ikuti beberapa syarat dari saya.
Juanda: Lu ingin bernegosiasi sama gua?
Juanda menatap tajam sang istri yang kembali membalas pesan.
Alma: Iya. Saya belajar dari Mas, seorang pengusaha yang tak ingin rugi.
Juanda: Ok. Sebutkan apa keinginan lu?
Alma: Kita harus tinggal sekamar, tidur sekasur dan Mas harus mau saya layani.
Juanda membelalak, kini menoleh pada Alma yang masih duduk, namun matanya menatap sang suami. Tersenyum di balik cadar hingga kedua matanya menyipit.
Perempuan ini maunya apa sih? Kenapa malah cari keuntungan di saat gua kejepit? Ini sama saja memuluskan keinginan Papa untuk segera punya cucu.
Juanda: Ogah.
Alma: Baiklah. Saya akan setuju dengan usulan Papa untuk tinggal dengan mereka.
Juanda: Waras dikit napa? Gua gak cinta sama lu. Jangan turunkan harga diri lu di depan gua!
Alma: Apakah melayani suami itu disebut merendahkan harga diri? Jika itu disebut harga diri, maka dari jaman Siti Hawa sudah tak memiliki harga diri karena melayani suaminya, Nabi Adam.
Juanda: Berisik lu.
“Karena Juan sudah setuju, sebaiknya kita lanjut sarapan.”
“No, Pa,” teriak Juanda seketika membuat semua orang menoleh.
“Pelankan suaramu!” tegur Ibu Dian.
“Aku gak setuju dengan usulan, Papa.” Kini Juanda menoleh pada sang istrinya yang terlihat sangat santai. Anggukan kepala darinya menandakan dia setuju dengan persyaratan yang dilayangkan oleh Alma.
“Pa, Ma, apa boleh saya memberikan opini.” Alma buka suara.
“Silahkan, Nak!”
“Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang, tapi saya setuju dengan keinginan Mas Juan untuk tinggal pisah dari kalian. Bukan bermaksud untuk menjauhkan kalian dari kita, hanya saja saya pernah mendengar ustadzah saya bercerita bahwa alangkah baiknya jika setelah menikah tinggal pisah dari orangtua untuk melatih kehidupan mandiri dan kita dapat merasakan bagaimana makna berumahtangga yang sesungguhnya.”
“Benar, Pa. Kami aja sekali bertemu langsung nikah, jadi butuh waktu menyesuaikan diri dan itu gak mungkin kalau kalian terus pantau kami,” imbuh Juanda berapi-api.
“Bagaimana menurutmu?” Pak Danu menatap sang istri.
“Jika ini sudah menjadi keputusan kalian, Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik.”
Yes, akhirnya gua menang. Juanda tersenyum menatap ayahnya.
“Kamu boleh merasa senang, tapi ingatlah! 359 hari dari sekarang istrimu harus hamil. Jika tidak, siap-siap semua saham Papa di perusahaanmu Papa jual,” bisik Pak Danu mengacam anaknya.
“Terserah.”
Juanda tak rela jika ayahnya harus menjual semua sahamnya. Wajar, di usianya ke 28 tahun tak mungkin bisa menjadi sukses tanpa ada sokongan. Duit dari mana coba? Hanya old money yang bisa mendirikan sebuah perusahaan dalam waktu singkat.
Namun, kali ini dia harus berpikir keras andai ancaman ayahnya benar terjadi, dia harus menjemput investor baru agar perusahaannya tak oleng dan tetap berada di peringkat pertama, bila perlu dia bisa merambat ke negara tetangga.
“Duduk dulu! Kita sarapan.” Pak Danu dan Juanda duduk bergabung dengan ketiga wanita yang sedang sarapan.
“Ini saya ambilkan untukmu tadi.” Alma meletakkan kopi pahit di hadapan Juanda beserta dengan butter croissant.
“Jangan ditolak! Saya sedang menjalankan syarat yang saya ajukan tadi,” bisiknya kemudian.
Juanda membuang napas kasar. Hidupnya benar-benar apes setelah menikah dengan Sabriya Almahira. Bukan lagi dia yang mengatur tapi malah dia yang diatur. Menyebalkan.
Kopi pahit dengan sepotong butter croissant adalah sarapan andalannya sehari-hari, tapi jika disajikan oleh Alma rasanya ia tak ingin mencicipinya. Tapi karena sudah terlanjur berjanji, dia tak bisa mengingkarinya.
“Jadi rencananya mau tinggal di daerah mana?” tanya Ibu Dian.
“Belum pasti ni, Ma.”
“Ceilah, gayanya mau tinggal rumah sendiri, tapi gak tau mau tinggal di mana. Bilang aja gak punya rumah sendiri,” celetuk Laras menyeringai.
“Apa itu benar, Juan?” Ibu Dian menatap serius wajah sang anak yang sedang menyeruput kopi pahit.
“Habis ini rencananya mau cari rumah.”
“Baru akan mencari rumah? Kalau begitu kalian tinggal di rumah Mama dulu! Gak benar otakmu ini. Masa baru mencari rumah, tiba-tiba sore hari minta pindah? Ini sama sekali tidak masuk akal,” cerocos Ibu Dian sama sekali tak paham dengan jalan pikiran putra bungsunya itu.
“Ada yang salah?”
“Tentu. Beli rumah itu tidak semudah beli kerupuk, Nak. Kamu perlu menentukan lokasi, budget, lalu bangunannya seperti apa. Butuh waktu agar kamu tidak menyesal. Karena untuk renovasi itu butuh biaya tidaklah sedikit.”
Juanda bergeming—memikirkan semua ucapan orangtuanya.
“Oke, aku akan tinggal bersama kalian.”
Alma sama sekali tak memberi respon karena semuanya diserahkan pada Juanda. Apa yang terbaik bagi Juanda itulah yang akan dia jalani. Toh, sebagai seorang istri, dia hanya akan patuh pada perintah suaminya selagi tak melanggar syariah.
Sore hari mereka melakukan check out. Semuanya kembali ke rumah.
Alma yang baru bergabung menjadi keluarga sah Danu Saputra merasa sedikit canggung tapi Pak Danu selalu mewanti-wanti agar rasa canggung, malu disingkirkan agat Juanda tak dapat mempermainkan dirinya. Iya, alasan Alma menjadi berani karena diminta Pak Danu, sehingga Juanda malah terkejut-kejut dengan sikap Alma yang di luar nalarnya. Maklum saja. Wanita bercadar dalam pikirannya hanya wanita lemah dan baperan.
"Bibi, bawa barang Alma ke kamar Juan!"
Juanda tak bisa membantah. Diam memedam kekesalan. Dia pergi yang disusul Alma dari belakang.
"Astaga, kenapa gua terjebak dengan perempuan seperti lu?" Juanda mengusap gusar wajahnya. Membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar.
"Yang melamar saya kan, Mas," balas Alma santai.
Mulut mendadak diam saat Bibi datang membawa koper miliknya. Langsung diambil alih, lalu ditutup pintu kamarnya.
"Lemarinya di mana?" tanya Alma tak melihat ada lemari di kamar luas nan adem itu.
"Di sebelah sana!" Juanda menunjukkan ruangan yang terhubung dengan kamarnya—walk in closet.
"Eh, lu mau ngapain?"
Alma yang sudah menyeret kopernya lalu berhenti dan menoleh. "Mau masukin pakai saya ke dalam lemari."
"Gak, gak, gak. Lemarinya udah penuh. Lu masukin aja semua baju lu kedalam dus mie instan."
"Boleh juga. Saya minta dulu sama papa."
"Almarhum, jangan!"
Alma kembali menoleh pada suaminya.
"Lu boleh masukin barang lu ke dalam lemari gua."
"Makasih ya." Alma tersenyum menyeret kopernya menuju walk in closet.
Sejenak, dia terkagum-kagum dengan walk in closet milik Juanda, sangat rapi dan bersih. Semua isi lemari barang branded, wajar jika Yelsi ingin kembali dengan Juanda.
Sementara itu, Juanda melihat beberapa kado dari Anjas, Dika dan Dalia yang dibawa pulang dari hotel. Dia penasaran dengan isinya, lekas dibuka.
"Apa ini?" Juanda mengeluarkan sebuah botol dalam kotak. Dibaca dengan teliti kemasannya. "Astaga, obat kuat. Dia pikir gua lemah apa?"
Lanjut pada yang ke dua, dia melihat satu set lingerie. Tangannya malah menenteng dan tak sengaja melihat Alma di depannya.
"Ya ampun, cocok banget—astaga. Apa yang gua pikirkan." ucap Juanda dalam hati. Buru-buru memasukkan kembali ke dalam kado.
"Mau saya coba yang itu?"
"Hah?" Juanda terperanjat.
"Gak usah malu gitu. Sini, biar saya coba!" Alma menadah tangan. Seketika kekujur tubuh Juanda merinding. Pikiran laki-laki mulai menguasai dirinya.
"Gak perlu."