Arabella sudah mencari kemana-mana, tapi ia belum menemukan pria yang cocok dijadikan sebagai suami.
Arabella tidak tertarik menikah dengan memiliki batas waktu atau bisa dikatakan pernikahan kontrak. Hal seperti itu hanya ada di drama ataupun n****+ bergenre romance.
Arabella hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Jadi, Arabella tidak mencari seorang pria secara sembarangan. Harus jelas dia seperti apa, keluarganya bagaimana dan tentu saja dari kalangan orang biasa.
Satu bulan, waktu yang diberikan hanya satu bulan saja. Sebenarnya sangat keterlaluan, dimana ia bisa mencari pria baik dalam satu bulan? Arabella juga bodoh, kenapa setuju-setuju saja dengan apa yang dikatakan sang papa.
Rasanya ingin menangis saking frustasinya. Di negara ini tidak banyak orang yang berasal dari negara yang sama dengan dirinya. Paling hanya beberapa orang saja. Arabella benar-benar pusing. Ditambah ia memiliki banyak pekerjaan.
Apa yang harus Arabella lakukan sekarang? Menyerah dan mengatakan dengan jujur bahwa tidak ada pria yang mau ia nikahi. Tidak...tidak, Arabella tidak boleh menyerah. Menikah dengan pria pilihan Papanya lebih menakutkan. Contohnya seperti Brian, manusia yang memiliki perilaku seperti sampah. Menyebarkan rumor yang menjijikan. Mamanya hampir jantungan karena ulah pria sampah tersebut.
Nanti akan ada pria sampah lainnya. Arabella tidak ingin kehidupan yang ia jalani menjadi rusak karena menikah dengan pria yang salah.
Arabella tidak boleh menyerah. Dia duduk sambil melihat banyak mahasiswa yang berlalu lalang. Tiba-tiba pikiran gila muncul dalam otaknya. Tapi secepat kilat ia menghilangkan pikiran gila tersebut. Bisa-bisanya Arabella berpikir untuk mencari mahasiswa dijadikan suami.
Arabella tertawa karena pikiran gila yang tiba-tiba timbul dalam kepalanya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan dia merupakan asisten dari profesor yang paling dihormati dan ditakuti di kampus ini. Kalau dia menikah dengan salah satu mahasiswa di kampus ini, maka hidupnya benar-benar sudah gila.
Arabella mencoba untuk meminta tolong kepada kenalan-kenalannya di negara ini. Kali saja ada sosok pria polos dan sederhana yang mau menikah dengan dirinya. Pokoknya Arabella tidak ingin menyerah sampai batas waktu habis.
***
"Apa semua ini, Mas?" tanya Leni (Mama Arabella) sambil melihat beberapa lembar kertas di meja kerja suaminya.
"Jangan ikut campur!" Wisnu mengatakan dengan suara yang cukup berat.
"Apa kamu masih ingin menjodohkan Ara?"
"Tentu saja. Dia sudah membuat malu keluarga."
Leni tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya sendiri. Dia memang sudah lelah menghadapi Wisnu. Saking lelahnya, Leni sampai tidak ingin tahu apapun yang dilakukan Wisnu diluar sana.
"Jangan gila, Mas!"
Wisnu memijat pangkal hidung. "Apa kamu tau yang terjadi dengan perusahaan akhir-akhir ini"
Leni terdiam. Dia memang tidak ingin ikut campur dengan perusahaan.
"Tidak ada yang mau berinvestasi."
"Itu bukan kesalahan Ara." Leni membela anak sulungnya. Bagaimanapun, apa yang terjadi dengan perusahaan memang bukan kesalahan Arabella.
"Rumor dia menyukai perempuan sangat menjijikan."
"Anak kita normal!"
"Sudahlah, aku malas berdebat." Wisnu tampak sangat lelah.
"Apa kamu tidak belajar dari kesalahan pertama, Mas?"
"Setiap orang bisa berubah." Wisnu mengatakan dengan mudah.
"Berubah?" Rasanya Leni ingin tertawa.
"Iya."
"Kamu tidak pernah memikirkan anak-anak, isi otak kamu hanya tentang perusahaan saja." Entah sudah berapa kali Leni merasa kecewa dengan tingkah Wisnu.
"Kamu kira anak-anak sampai sebesar sekarang karena apa? Mereka hidup dirumah yang cukup besar, mendapatkan pendidikan tinggi, bisa membeli barang-barang yang diinginkan. Itu semua hasil kerja keras aku dalam mengelola perusahaan."
"Aku tau, tapi jangan korbannya anak kita." Leni sudah sangat lelah.
Wisnu mendekati sang istri. Dia langsung memegang kedua pundak Leni. "Duduk dulu," ujar Wisnu.
Leni mengikuti keinginan sang suami. Ia duduk di sofa.
"Kamu tenang saja. Aku akan mencari pria yang baik dan bertanggung jawab. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Tolong, Mas. Berhenti!" Leni menutup kedua telinganya dengan tangan. Lama-lama ia stress karena tindakan Wisnu yang sudah kelewatan.
"Sayang... perusahaan sedang kacau." Wisnu menatap sang istri. Dia berharap sang istri mengerti posisinya sekarang.
"Lebih baik aku hidup serba kekurangan daripada mengorbankan kebahagian Ara." Leni tidak akan membiarkan anak-anaknya menderita karena keputusan sepihak dari Wisnu.
"Kamu lihat dulu. Identitas pria-pria ini baik. Mereka juga dari keluarga yang baik." Wisnu memberikan lembaran yang berisi identitas seseorang.
"Tidak!" Leni menolak.
"Sayang... tolong mengerti tentang keadaan aku."
Mata Leni berkaca-kaca. "Apa kamu tidak merasa bersalah setelah membuat anak kedua kita hancur?"
"Aku memang salah. Aku tidak mencari informasi dengan baik. Tapi kali ini hal seperti itu tidak akan terjadi lagi."
"Maaf, Mas. Kalau kamu tetap kekeh menjodohkan Arabella maka aku akan pergi dari rumah ini." Leni akan menggunakan cara apapun agar tidak merusak kehidupan anak-anaknya lagi. Cukup anak keduanya yang hancur. Anak-anaknya yang lain tidak boleh. Dulu Leni terlalu percaya kepada Wisnu bahwa pria yang dijodohkan dengan anak keduanya adalah pria baik. Tapi pada kenyataannya, pria itu berkali-kali selingkuh.
Wisnu terkejut. "Apa yang kamu katakan, Sayang?"
"Kamu pasti bercanda," ujar Wisnu lagi.
Ekspresi wajah Leni sangat serius. Dia juga tidak sedang bercanda. "Aku serius. Aku akan membawa anak-anak keluar dari rumah ini."
"Jangan seperti ini." Wisnu memegang tangan sang istri.
"Kamu bukan ayah yang baik. Seharusnya kamu tidak merusak hidup anak-anak." Leni sudah sangat lelah. Biasanya ia selalu bersabar dengan tingkah Wisnu. Tapi sekarang tidak lagi.
Wisnu menunduk. "Aku tau, tapi aku tidak punya pilihan lain."
Leni ingin tertawa. "Kenapa kamu tidak sekalian menjual aku? Kali saja ada rekan bisnis yang mau."
"Leni!" Bentak Wisnu langsung. Bahkan urat lehernya terlihat dengan jelas. Wisnu marah dan Leni tidak merasa takut seperti sebelumnya.
Leni berdiri dari sofa. "Kalau kamu masih berniat ingin menjodohkan Ara, maka jangan harap aku akan berada dirumah ini lagi."
Setelah mengatakan itu, Leni keluar dari ruang kerja sang suami. Tubuhnya terasa lemas. Bukan kehidupan seperti ini yang Leni harapkan. Ia ingin kehidupan yang baik dengan anak-anak yang bahagia.
Tapi satu hidup anaknya sudah rusak. Memang Lea tidak melihatkan secara langsung. Tapi Leni tahu bahwa anaknya itu masih sedih dan trauma.
Leni menghubungi Arabella. Dia harus menghentikan anaknya untuk asal mencari pria untuk dinikahi. Apalagi selama ini Arabella sibuk bekerja, pasti dia tidak dekat dengan pria manapun kecuali dalam hubungan kerja.
Panggilan langsung terhubung.
[Kenapa, Ma?]
Seakan memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, Arabella langsung bertanya ada apa.
Leni terdiam sejenak. Dia menarik nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskan secara perlahan.
"Tidak apa-apa. Gimana kabar kamu disana?"
[Baik, Ma. Kalau Mama bagaimana?]
"Syukurlah. Mama juga baik."
[Iya, Ma.]
"Nak... Tidak perlu terburu-buru menikah."
[Mama dan Papa habis bertengkar ya?]
"Nggak kok. Mama dan Papa baik-baik saja." Leni tidak ingin membuat anaknya khawatir.
"Pokoknya kamu tidak perlu terburu-buru menikah. Lalu, menikahlah dengan orang yang memang kamu cintai," lanjut Leni lagi.
[Mama tenang saja. Aku akan segera mengenalkan seorang pria.]
"Sudah, Nak. Jangan dengar apapun kata Papa. Jalani kehidupan seperti yang kamu inginkan. Mama akan selalu mendukung." Leni tidak ingin Arabella salah pilih karena terlalu terburu-buru.
[Terima kasih, Ma. Pokoknya Mama tidak perlu khawatir.]