Bab 15:
Setelah menerima pesanan sang ibu. Agam pun memanggil sang ibu. Mendorong kembali kursi roda itu dan membawa ibu tercinta untuk memakan apa yang sudah dia tunggu sejak sore tadi.
“Jadi, kue Mama, sudah tiba, Nak? Ke mana orang yang mengantarnya? Apa dia sudah pergi?” Alma, menatap anaknya, ia menoleh ke belakang untuk melihat wajah sang anak.
“Sudah pergi, Ma. Makanya jangan beli di sana lagi. Agam sudah bilang kan dulu, kalau orangnya sangat tidak ramah. Bahkan pesanan ini saja, Ujang yang bawa masuk,” tuturnya. Dengan kebohongan yang luar biasa.
Apakah lelaki itu mulai bisa berbohong saat ini? Atau dia hanya dendam dengan Aileen, hanya karena lensanya?
“Yakin seperti itu? Aku dengar, nada bicara kamu bergetar lho, Gam. Yakin, ini toko itu tidak ramah? Tapi, kemarin, aku lihat yang jaga gadis itu manis sekali, Gam.”
Sang ibu tidak mau kalah, dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh anaknya. Namun, Alma tidak yakin apa itu.
“Kalau mama nggak percaya, sih , ya aku tidak bingung. Karena, cake-nya kan yang makan juga mama, bukan Agam, aku yakin itu rasanya tidak enak. Tempatnya saja, kecil, lalu orangnya aneh. Pecicilan dan sangat-sangat pendek!” ungkapnya.
Alma tersenyum, “Kamu itu bicarakan siapa sih? Gadis remaja itu? Ya, wajah dong dia pendek, dia kan masih remaja. Mama yakin kalau sudah besar dia akan tinggi kok. Terus lagi, bagian mana yang pecicilan, dia itu ramah, kok. Kamu, kali yang kurang bergaul. Makanya cari teman yang banyak, tidak hanya laki-laki tapi juga wanita.”
Alma mengelus tangan Agam yang berada dipundak sang ibu. “Sudah jangan basa lagi, Mama makan, gih, biar pelayan yang temenin. Agam mau benerin sesuatu di kamar,” pamitnya.
Sebelum meninggalkan sang ibu, kecupan di kening dan pucuk kepala selalu tidak ia lewatkan. Alma hanya menatap anaknya, dia tersenyum keki sembari bergeleng.
Kemudian memanggil semua penghuni rumah, Murti, Ujang dan lainnya untuk menikmati kue yang telah dia psan. Rasanya sangat legit, asam manis yang luar bisa, bahkan aroma lemonnya sangat kuat. Alma sangat menyukainya.
Tidak hanya Alma, tetapi semua orang di rumah itu sangat menyukainya. Mereka jarang sekali memakan kue enak seperti itu. Lain dari pada yang lain. Kuenya empuk dan tidak bikin tersendat di tenggorokan.
Sementara Agam, lelaki itu telah membeli lensa kamera yang baru, ia memasangnya pada bagian yang pecah. Lalu mencoba untuk memotret apa yang ada di hadapannya. Tidak puas dengan kontras dalam ruangan, ia pun keluar menuju balkon. Pusat kota terlihat gemerlapan malam ini.
Ia memotret ujung kota, ada gunung tinggi yang terlihat hingga puncaknya. Dengan menambah eangle pencahayaan ia pun tersenyum melihat hasil dari jepretannya.
“Ok, siap untuk berburu,” gumamnya. Namun, entah angin mana yang membawa pikirannya tiba-tiba dia teringat kembali dengan gadis toko kue itu.
Saat dirinya baru pertama kali memasuki ruangan yang tidak terlalu besar itu. Melihat matanya dan juga, rambutnya yang bergelombang, keriting gantung jika kebanyakan orang menamainya.
Akan tetapi, lamunannya kembali buyar saat mengingat kejadian malam kemarin. Agam kembali kesal dan dingin seperti sedia kala. Dia melompat ke atas sofa dan menelungkupkan tubuhnya. Memejamkan matanya agar melupakan kejadian yang menyebalkan.
Malam yang panjang siap memeluk pria itu. Dia bahkan melupakan sang ibu yang harus dia pantau kondisinya, minum obat dan juga selimut yang harus dipastikan menutup tubuhnya dengan benar. Sebenarnya itu sangat tidak perlu. Karena Murti selalu membantu majikannya jika Agam terlambat pulang. Namun, bakti pria itu sangat luar biasa, mungkin itulah yang dinamakan dengan anak yang berbakti pada orang tua.
Andai saja, sang ayah dulu tidak melakukan hal gila dan meninggalkan keduanya. Mungkin Agam tidak akan menjadi lelaki yang dingin. Atau mungkin saja semakin dingin jika tetap melihat kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah pada ibunya.
*
“Apa yang kamu katakan? Kamu cemburu buta. Kamu tahu aku di kantor bersama dengan banyak orang, tidak hanya lelaki itu, Mas.” Suara Alma yang lembut, seakan dia tidak pernah bisa marah atau meninggikan nada bicaranya sekalipun dalam keadaan yang mendesak dan terpojokkan.
“Alasanmu saja! Kamu kira aku tidak tahu, kebusukanmu! Dasar w************n!” Indra mendorong tubuh Alma, hingga kepala wanita itu membentur pegangan tangga. Darah mengalir begitu saja dari kening sang ibu.
Agam menutup mulutnya di bawah tangga. Dia hanya bisa mengintip dan terisak. Tidak banyak yang bisa dia lakukan. Bahkan tidak hanya itu. Indra terus menarik rambut Alma dan mengulanginya untuk menyiksa istrinya.
Agam tidak tahan mendengar suara tangisan sang ibu. Dia keluar dan memegangi lengan sang ayah agar tidak meneruskan kelakuannya. Bahkan bocah itu tidak luput dari serangan sang ayah. Kini Alma yang berusaha menahan kaki suaminya.
“Cukup, Mas. Cukup, sakiti aku saja, jangan anak kita. Dia masih kecil.” Ai mata Alma lelah.
“Anak kita?! Aku tidak yakin!” Indra mengempaskan tubuh Alma lagi, melepaskan cengkraman mereka berdua dan meninggalkan mereka. Keluar dalan hujan lebat yang mengguyur kota saat malam itu.
Alma mendekati Agam dan memeluknya. Tangan mungil Agam menghapus lelahan air mata sang ibu. Tangan yang benar-benar selalu ada untuk Alma. Wanita itu menciumnya berulang kali.
Dia tidak peduli dengan luka yang ada di dahinya. Fitnah yang dia dapatkan jauh lebih menyakitkan. Apa lagi, melihat anaknya dikasari oleh ayahnya sendiri.
Alma berharap, anaknya tidak mendengar ucapan sang ayah yang terakhir kalinya, bahwa dia meragukan anaknya sendiri.
“Sayang, masuk kamar ya, kunci pintu. Mama akan masuk sebentar lagi.” Agam bergeleng.
“Agam akan bersihkan luka, mama dulu,” ucapnya dengan isakan tangis. Kaki kecilnya melangkah, berlarian menarik kursi dan mengambil kotak obat.
Seperti yang dilakukan Alma ketika anaknya terluka, bahwa dia tidak akan pergi ketika belum memastikan anaknya baik-baik saja. Kini Agam kecil akan melakukan hal itu. Sampai saat ini dia telah tumbuh dengan dewasa. Alma kehilangan masa anak-anak Agam. Dia sibuk menghidupi kebutuhan mereka. Sejak hari itu, bahkan Indra tidak pernah kembali ke rumah.
Surat pengadilan agama lah yang datang. Agam juga tidak pernah menanyakan di mana sang ayah. Agam tahu, sekalipun ibunya lelah bekerja, tetapi dia senang karena sang ibu tidak lagi harus mendapatkan luka pukulan, bogem atau benturan dikepalanya.
Masa lalu yang sangat buruk. Kebencian itu hadir sampai saat ini. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-keli agam melihat ibunya diperlakukan dengan tidak baik, bukan layaknya manusia.
Akan tetapi layaknya hewan piaraan.
Beruntung, Alma adalah wanita karier, bahkan sebelum mereka menikah, meskipun dia tertatih di awal, tetapi setidaknya, dia tidak terlalu kesusahan untuk menghidupi biaya sekolah dan hari-hari untuk anaknya.
Kini semua itu ia berikan pada anaknya, tetapi Agam tidak mau memindahkan atau mengganti nama di semua asetnya, semuanya tetap memakai nama sang ibu. Lelaki itu, hanya menjalankan tugasnya sebagai anak, bukan untuk merebut hak dari ibunya. Sekalipun dengan kata lain adalah diberikan.
Namun, Agam tetap tidak mau.
Lelaki kasar si penyayang sang ibu. Andai kata dulu Alma memilih untuk meninggalkan anaknya setelah bercerai dengan suaminya, tentu dia akan sangat rugi besar. Dia menyayangi Agam, karena dia darah dagingnya, dia anaknya bersama lelaki yang dia cintai, sekalipun cintanya dikhianati.
*
“Kamu!”