Bab 14: Pilih Kamu

1254 Words
Bab 14: Aileen menghabiskan minuman yang ada dalam genggamannya, tetapi Darren, lelaki itu justru menatap lekat leher gadis itu. Leher yang bergerak naik turun sangat beraturan. Begitu Aileen sadar karena diperhatikan, ia pun menoleh pada sahabatnya. “Apa liatin begitu?! Dasar tengil,” sungut Aileen. “Apa sih, Kucrut. Dengar ya, walaupun di dunia ini yang tersisa satu wanita, yaitu kamu dan kunti, lebih baik aku pilih—“ “Apa?! Pilih kunti?!” sergah Aileen, lagi. “Ya! Enggak lah, pilih kamu, gila saja aku milih kunti.” Tawa mereka pun pecah, Dewi yang mendengar dari dalam hanya bergeleng. Tingkah anak-anak memang selalu ada saja. “Oh— ya, Darren, dengar. Sebenarnya malam ini— ya! Emang, sih. Aku sudah janji bakal ada waktu malam ini. Tapi, tiba-tiba ada pesanan. Jadi—“ Darren mengangguk paham. Melihat wajah Aileen yang berubah menjadi tidak enak hati. “Kamu mau antar pesanan kan?” Aileen mengangguk lemah. “Maaf, ya. bukan bermaksud buat ingkar janji. Tapi, kamu tahu kan? Ibu tidak terlalu bisa bawa motor. Ayah belum balik, Ayana apa lagi, tubuhnya pendek mana mungkin bisa naik motor,” cercanya. “Aku dengar!” teriak Ayana dari meja belajarnya. Aileen menoleh dan meringis. “Memang kamu tinggi?” canda Darren. Dia tertawa puas, kembali bisa menggoda wanita itu. Tidak henti-hentinya, ia membuka mulutnya. Aileen melemparnya dengan bantal yang ada di belakang punggungnya. “Dasar, Chasel tengil! Pulang sana!” Aileen kesal, tetapi itu cara mereka bercanda. “Ya elah, begitu doang marah. Aku bicara tentang fakta dan kenyataan. Realita yang ada, bahwa Aileen kucrut itu setara dengan anak SMP.” Kembali pria itu tertawa, Aileen mendekatinya dan menyumpal mulutnya dengan keripik singkong yang ada di meja. Hingga membuat Darren, tersedak. “Sukurin, makanya jangan macam-macam. Jadi, kamu mau ikut atau pulang?” Suasana kembali ke mode serius. Darren meminum sisa airnya untuk bisa kembali berbicara dan mengambil napas dengan benar. “Ok, aku antar kamu. Takutnya bocil nabrak orang,” terang Darren. Aileen melemparkan kunci motor pada lelaki tersebut. Dengan refleks yang baik, pria itu bisa menangkapnya tapnpa menimpa wajahnya. Aileen terdiam, tetapi bisa tersenyum. Dalam hatinya dia teringat kejadian malam kemarin, dia mana dia menabrak orang lain, bahkan memecahkan Lensa kamera miliknya. Darren membawa tiga box, sementara Aileen dua box yang lain. Setelah berpamitan pada sang ibu, mereka pun berangkat. Menghampiri satu rumah ke rumah lain hingga terakhir dua box milik Alma. Mereka memutari kompleks, hingga jarum jam, sudah menuju diangka delapan malam. Namun, rumahnya bahkan belum mereka temukan. “Ai, bener kan alamatnya? Jangan-jangan kita tersesat,” gumam Darren. “Benar lah, di sini betul kok alamatnya. Kita hanya perlu cari nomor rumahnya saja,” gerutu Aileen. Wanita itu bertolah-toleh untuk mencari nomor rumah yang tertera di buku catatan. “Ai, aku kebelet. Sialan! Kita berhenti dulu, ya.” Darren menghentikan laju motornya di samping pepohonan. “Sialan, lu. Sudah kek wanita, tahu nggak. Di tahan kenapa sih? Bisa-bisanya di saat seperti ini mikirin kebelet. Emang kamu mau, pipis di balik pohon? Kek anjing!” umpat Aileen. “Namanya juga mendesak. Siapa yang minta juga, sih. Tunggu sudah.” Tanpa banyak kata lagi, lelaki itu berlari di balik pintu. Sementara Aileen, ia menunggu di atas motor. Ia, mencoba menghubungi pemilik nomor telepon yang ada di sana. Tidak butuh waktu lama, seseorang menjawab panggilannya. Kenapa tidak dari tadi aku coba telepon, ya? dasar, bego! Batin Aileen. “Hallo— iseng banget!” orang itu hendak menutup ponselnya, tetapi Aileen segera tersadar. “Tunggu! Tunggu— gini, saya mengantar kue yang di pesan Nyonya— ehm— nyonya Alma. Tapi—“ Aileen mengeja nama yang terlihat gelap dicahaya yang remang. Hanya sada lampu-lampu jalan yang berependar. Lelaki yang tidak lain adalah Agam, ia segera memotong pembicaraannya. “Di mana sekarang? Biar aku share lok.” Suara yang selalu terdengar dingin dan seakan enggan berbicara dengan orang lain. Belum juga, Aileen menjawabnya, panggilan itu justru telah dimatikan. Mungkin Agam berpikir bahwa gadis ini sangat lelet dalam segala hal. “Ish! Di matikan, sih.” Cling! Suara ponsel Aileen, ada pesan yang masuk di benda kota kecil itu. Aileen membukanya dan melihat tidak terlalu jauh dari lokasi di mana dia berada. Aileen lupa jika ia bersama dengan Dareen, ia pin segera menghidupkan motornya dan meninggalkan tempat tersebut. Menelusuri map sesuai yang ada di layar ponselnya. Beberapa menit berlalu dia pun berhasil menemukan rumahnya. “Pantas, susah. Rumahnya di ujung,” lirih Aileen. Ia pun turun dari motor dan membawa kue tersebut memasuki gerbang yang di jaga oleh satpam. “Cari siapa, neng?” tanyanya dengan suara khas orang sunda. “Ini, pak. Saya mengantar kue pesanan ibu Alma.” Satpam itu membuka pagar sebesar tubuh Aileen. Akan tetapi tidak mengizinkan Aileen untuk masuk. “Dari toko lemon Cake kan? Biar saya yang bawa masuk, neng. Tadi Tuan Muda juga sudah berpesan, tapi, maaf. Neng tidak bisa masuk.” Aileen mengerutkan dahinya, baru kali ini dia mendapatkan customer yang aneh. Aileen bahkan belum tahu bahwa yang memesan adalah mama dari lelaki yang hampir saja ia celakai. “Oh— begitu. Baik, pak. Saya titip, ya. Sama tolong bilang terima kasih pada Nyonya Alma. Kalau begitu saya permisi. Di sampaikan, ya, Pak.” Aileen tersenyum ramah. Begitu satpam itu menjawabnya dia pun pergi, pagar kembali tertutup, siapa yang mengira bahwa Agam mengintip dari balik jendela kamarnya. Ruangan lantai dua yang bisa melihat berbagai aktivitas di dalam dan di luar pagar. Ia pun turun setelah wanita itu menjauh dari rumahnya. Membuka pintu dan menerima box kuenya, kemudian menutupnya kembali tanpa mengatakan apapun. “Tu— hais, bisa sih orang jarang bicara begitu.” Lelaki tua itu, bergeleng, dia belum menyampaikan pesan dari Aileen. Namun, pintunya sudah tertutup dengan rapat. Sementara itu Aileen baru teringat akan temannya yang dia tinggalkan. “Oh— astaga! Astaga! Darren?!” dia memutar kembali motornya dan mencari temannya itu. Dari kejauhan nampak lelaki itu berkacak pinggang dan dengan mulut yang berkomat-kamit. “Sialan, lu, Ai! Bagaimana kalau kinti menculikku?! Dasar kucrut, sialan, lu,” umpatnya tanpa henti. Aileen meringis dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Namun, jematinya masih menyisakan rongga-rongga yang besar, dia masih bisa melihat lelaki itu. “Mundur! Dasar cewek, gila,” kesalnya. “Maaf, Ngil. Tadi itu aku berhasil menghubungi si pemesan. Ya, sudah aku—“ Darren memotong ucapannya. “Tunggu, kamu emang, nggak meneleponnya kan sejak tadi?” Aileen menggeleng, dia memang lupa sejak awal. Entah ke mana fokusnya sejak tadi. “Dasar gelo! Aileen kamu gila! Tidak waras, bego!” teriak Darren. Sudah sangat wajar mereka saling mengumpat seperti itu. Sejak dulu sampai saat ini memang keduanya tidak pernah berubah layaknya minyak dan air yang tidak bisa menyatu tetapi tetap sama, yaitu air. “Ya, maaf. Aku kan lupa,” lirih Aileen, membela dirinya. “Lupa kamu bilang?! Lalu, selama ini kamu mengantar pesanan bagaimana? Bukankah kamu selalu menelepon mereka ada atau tidak di rumah, alasan tidak tepat! Udah, ya. Emang kamu itu tidak bakat buat cari alasan,” cerca Dareen. Aileen diam, dia tidak menjawab, karena dia juga heran bagaimana bisa dia lupa, kenapa malam ini dia sangat bodoh seperti ini. Mereka melanjutkan perjalanan sampai tiba kembali di rumah Aileen. Keduanya turun dengan wajah lesu, kusut dan juga lusuh. Sampai di dalam, mereka pun mengempaskan tubuh ke sofa. Sang ayah menyambutnya dengan penuh tanya. “Kalian kenapa? Sudah ketemu kan rumah customernya?” lelaki ini duduk di samping Darren. “Sudah, Yah. Tapi kami sangat lama, mencarinya. “Lha kok, bisa?” “Karena—“
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD