Bab 18: Cantik

1024 Words
Bab 18 Di sisi lain, Darren. Lelaki itu hendak pergi ke kampus. Jarum jam masih menuju ke angka delapan pagi. Pria itu ingin mampir ke toko Aileen. Menggunakan motor miliknya dia melesat menelusuri jalanan. Lumayan padat dan juga hangat karena mentari sudah mulai menyinari. Namun, begitu tiba di toko dia harus menelan kekecewaan. Bahwa Aileen menutup tokonya. Darren berusaha untuk menelepon gadis itu. Namun tidak juga kunjung diangkat, Aileen tengah sibuk berebut bunga dengan pria yang sangat menyebalkan. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan pada gadis itu, kemudian menuju ke kampus. Dia ingin menemui Aileen malam nanti. Membuat janji bahwa dia akan kerumah gadis itu lagi. Berharap Aileen mau membaca dan membalas pesan singkat yang penuh pengharapan bagi Darren. * Di sekolah Ayana, semua murid sudah kembali. Tidak kecuali Ayana dan keluarga. Mereka kembali kerumah, dan setibanya di rumah, pekerjaan seakan tidak ada hentinya untuk para wanita itu. Mereka mulai memasak untuk makan malam nanti. Ayana membersihkan seluruh riasan, sementara Aileen membantu sang ibu untuk mengupas bawang, menumis beberapa bumbu yang sudah dihaluskan. Bahkan dia tidak sempat membuka ponselnya. Sampai ponsel itu berdering, ada seseorang yang meneleponnya. Gadis itu mengabaikannya karena tugas memasak dari ibunya tidak bisa ditinggal atau masakan akan gosong. "Tinggal saja, Ai. Siapa tahu itu telpon penting kan? Siapa tahu pesanan sepuluh loyang kue," kikih sang ibu. Dia mengambil alih pekerjaan Aileen, dan juga mengusir anak itu untuk pergi dari samping tungku kompor. "Bentar, Bu. Aamiin semoga aja." Aileen berlarian, dan mengambil ponselnya yang ada di tas. Dia meletakkannya di meja makan. Gadis itu mengerutkan dahi ketika mendapati nomor baru di sana. Dia menjawab panggilannya sebelum berakhir. "Selamat sore, Aileen di sini," sapanya dengan sopan dan juga hangat. Suaranya sangat terdengar lembut dan ceria. Seperti karakteristik dari bocah itu. Bocah dewasa itu. "Selamat sore. Maaf, nona Aileen. Apakah toko Anda tutup hari ini? Saya sempat kesana tetapi tidak buka," ucapnya. Aileen menjelaskan bahwa memang hari ini mereka tutup. Aileen juga meminta maaf akan hal itu. Si penelpon, seperti seorang ibu-ibu, mungkin seumuran Dewi. Terdengar dari suaranya yang telah matang. Sangat sopan dan juga santun. Dia seperti bicara pada orang yang lebih tua. Jarang sekali Aileen menemukan customer seperti itu. Wanita itu memesan dua loyang Lemon cake. Toko kue Aileen memang terkenal dengan lemon cakenya. Makanya tidak jarang dia selalu kehabisan stok, seberapa banyak pun dia membuatnya. Aileen tersenyum sumringah ketika mendengar kata dua puluh loyang. Bahkan dua kali lipat dari yang ibunya katakan. Gadis itu melompat kegirangan, dengan menahan suaranya, menutupnya dengan telapak tangan, agar tidak terdengar norak oleh orang diseberang. "Ba— baik, Bu. Besok sore Anda bisa mengambilnya. Semua pesanan Anda, akan siap tepat waktu. Sekali lagi terima kasih atas kepercayaan Anda. Semoga kami tidak akan mengecewakan Anda," terang Aileen dengan percaya diri. Setelah mendapat jawaban dari parang tersebut Aileen pun menghampiri ibunya dengan terburu-buru. Raut wajah kegembiraan tidak hilang dari mimik mukanya. "Bu! Astaga, Bu! Dua puluh loyang! Dua puluh!" Aileen menaikkan jarinya membentuk jari dua dan nol. Matanya terbelalak dengan sangat gembiranya dia memberitahukan hal itu pada sang ibu. "Apa, Ai? Dua puluh loyang?! Syukurlah, ibu tidak menyangka. Padahal ibu hanya bergurau saja tadi. Tapi, Tuhan sungguh baik. Bahkan mengabulkan dua kali lipat dari dugaan," ucapnya. Ia mematikan kompor dan memeluk sang anak. Mereka bergembira dan saling melompat layaknya anak kecil yang memenangkan permainan. Membuat Sastro dan juga Ayana pun penasaran. Mereka menghampirinya dan menanyakan ada apa gerangan sehingga membuat kedua wanita itu sangat heboh. Begitu mendengar penjelasan Aileen, mereka pun tertular rasa bahagia yang sama. Segera Sastro pergi ke toko untuk mengambil tepung. Lalu, semua bahan yang akan dibutuhkan oleh istri dan anaknya besok. Sementara Aileen, dia pergi ke pasar yang khusus buka di sore sampai pagi hari. Kala siang pasar itu akan tutup dan kembali beroperasi mulai dari jam tiga sore lagi. Dewi kembali melanjutkan memasak di bantu dengan Ayana. Aileen harus membeli lemon dan juga beberapa bahan yang tidak di jual di toko sang Ayah. Dia melupakan ponselnya dan tidak tahu bagaimana nasib pesan Darren. * Malam hari tiba, mereka berkumpul untuk makan malam, semua bahan yang mereka butuhkan untuk besok telah siap. Besok Aileen dan juga Dewi akan sangat sibuk. Beruntung Ayana libur, jadi dia bisa menjaga toko depan. Membantu membersihkan etalase dan sebagainya. Di tengah-tengah makan, bel pintu rumah Aileen berbunyi. Keempatnya saling bersitatap. Kemudian Ayana lah yang harus membuka pintu. Dia kesal karena selalu jadi pesuruh, meski begitu dia tetap menjalankannya. Toh, bukan hak berat kan membuka pintu. Seharian dia juga hanya gerak sedikit saja. Agar badannya tidak bertambah mengembang, dia harus banyak bergerak. "Eh— kak Darren, masuk, kak. Langsung ke ruang makan yuk, kita makan malam sekalian," ajak Ayana. Darren lah yang datang. Dia hanya khawatir karena Aileen, tidak menjawab panggilan atau pun pesan yang dia kirimkan. "Ah— maaf , ya aku ganggu. Sebaiknya aku tunggu di sini aja, Ay." Darren tidak enak hati karena telah menganggu makan malam mereka, dia terlalu cemas dengan Aileen, sahabatnya. "Tidak apa-apa, kak. Ayo!" Ayana menarik tangan, Darren dan membawanya menuju ruang makan yang ada di dekat dapur. Senyum canggung langsung tersimpul di wajahnya. "Eh— nak Darren. Sini-sini ikut makan sekalian. Ibu lagi bahagia banget ini, nak." Ayana mengambil kursi belajarnya untuk dirinya sementara tempatnya diberikan pada Darren. "Maafkan, Darren, Tante. Datang selalu tidak tepat waktu," sesalnya. "Ngomong apa kamu? Tidak apa-apa. Ibu senang kamu datang, sekarang makan yang banyak, ya. Karena anggap saja ini syukuran untuk pesanan ibu besok," terang Dewi. "Iya Darr, makan gih. Tumben banget kamu rajin kerumah." Aileen bertanya bak tidak ada dosa. Bahwa dialah yang membuat Darren harus datang ke rumah. "Iya, karena ponsel kamu tidak bisa dihubungi. Rusak? Atau pesanku tidak terbaca?" sungut Darren. Sembari tangannya menerima uluran piring dari Dewi. "Terima kasih, Tante." Dewi mengangguk, dan mempersilahkan pria itu untuk makan. Darren pun mengangguk pada Sastro yang lupa dia sapa. "Iya, nak. Makan yang banyak, biar kamu gendutan," kikih Sastro. "Bukan begitu, seharian aku sibuk. Maaf, ya." Darren acuh, tetapi dia mendengarkan semua ucapan Aileen. "Tadi toko tutup?" Aileen mengangguk. Kemudian meletakkan jari telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat untuk meminta Darren menahan semua pertanyaan sampai makan malam itu usai. * "Cantik—"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD