Bab 17: Kejutan

1292 Words
Bab 17 Seberapa waktu lalu. Agam terbangun tepat pukul satu dini hati. Dia lupa bahwa dirinya tertidur di sofa di ruangan pribadinya. Pria itu kesakitan, kepalanya pun Teleng, tetapi itu sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk pemburuan malam ini. Hobi, bisa mengalahkan segalanya. Pria itu pun, bergegas mencuci mukanya, meraih jaket kulit tebal yang bisa menghangatkan tubuhnya dan mengendarai motor sport merahnya. Lensa siap di lehernya dan ia masukkan ke dalam resleting jaket. Agam menyambar kunci motor yang tertata rapi di gantungan, kemudian ia pergi tanpa melupakan mencium kening sang ibu. Selalu memantau sebelum dan sesudah dia meninggalkan rumah. Menarik selimut agar sang ibu jauh lebih hangat. Mematikan AC agar tidak terlalu dingin. Dini hari adalah, di mana suhu di dunia seakan meningkat drastis. Jauh lebih dingin dari pada AC. Usai itu, lelaki itu siap untuk berkendara di jalanan yang sepi, dan di bahwa hamparan langit malam yang berbintang. Seperti taburan berlian yang tumpah dari tempatnya. Tujuannya adalah hutan. Dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan malam ini. Ular, kelelawar, atau hewan pemburu lain yang bisa dia ambil gambarnya. Lalu dia akan meng-upload-nya ke akun misterius miliknya. Menjadi fotografer yang tidak diketahui siapa pembidiknya. Agam akan tetap memiliki fans, pengikut dengan jumlah yang tidak kalah fantastis dengan para pemotret handal lain. Ia memiliki bakat, tetapi dia tidak mau menunjukkan pada dunia. Kesibukannya di kantor sudah sangat menyita hobi yang selama ini digandrungi. Dia merelakan segala hal untuk sang ibu. Membuat sang ibu bahagia dan bisa melupakan masa kelamnya bersama dengan Indra yang tidak tahu malu. Sampai di hutan, dia mulai mematikan motornya. Ia tidak membawa apapun kecuali kamera, senter yang redup yang ada di kepalanya. Harus redup atau remang agar, hewan itu tidak ketakutan. Dia memotret dengan menggunakan inframerah, agar gambarnya tetap jelas dan ia pun bisa bersembunyi untuk mengamati gerak gerik mereka. Berjalan menapaki jalan sempit bersemak. Agam harus ekstra hati-hati, karena bisa saja ada perangkap hewan yang dipasang oleh pemburu. Bukankah tidak lucu jika dia ingin berburu akan tetapi dia harus terperangkap. Batu beberapa meter dari motornya, ia sudah melihat seekor ular yang merayap pelan. Berusaha melepaskan kulitnya yang lama dan berganti kulit dengan yang lebih muda. Kamera redam, tanpa flash, tanpa suara terus mendapatkan hasil yang diinginkan oleh Tuannya. Beberapa menit berlalu dengan tegang. Ular itu sangat berhati-hati dan bisa dibilang lamban. Terlebih saat di bagian tengah tubuhnya. Namun, beberapa saat kemudian dia berhasil dan meninggalkan kulot putih kering miliknya. Ular itu telah melesak semakin jauh ke dalam hutan. Setelah dia berhasil, dia akan beristirahat barang sejenak, di tempat yang mereka anggap aman, atau memakan buruannya kembali. Selanjutnya, pria ini. Ia terus berjalan dan berjalan, banyak hewan melata lain. Berharap ada singa yang memakan mangsanya. Akan tetapi itu sangat mustahil Hutan yang dia datangi lumayan dekat dengan pemukimannya. Jika sampai makanannya habis bukan tidak mungkin bahwa mereka akan menyerang perkampungan. Kini, Agam lebih memilih memotret buruh malam. Biasa orang menyebutnya dengan burung hantu si kepala kotak. Oh— tidak si kepala berbentuk hati, mungkin— Satu dua tiga, sampai lima gambar dia dapatkan. Tidak hanya itu, dia juga mendapatkan gambar yang tidak terduga. Seekor kera yang akan melahirkan. Induk kera itu, menarik bayinya. Dan melumurinya dengan air liurnya, agar bayi kera bersih. Agam bergidik, juga sakit dengan seekor hewan yang menyayangi anaknya. Seketika dia pun mengingat bahwa ayahnya tidak lah seperti itu. Dia hanya percaya bahwa kasih ibu itu sepanjang masa dan tidak terhingga. Hanya ibu yang patut mendapat balasan kasih sayang yang melimpah, tidak dengan ayah. Terlebih ayah yang layaknya Indra, menelantarkan keduanya, sehingga hidup atau mati mereka akan tetap hanya berdua saja. "Sial! Matilah kau, pengecut," gumamnya. Dia murka dan kembali melanjutkan perjalanan. Tanpa dia sadari bahwa hati sudah mulai fajar. Ia menggunakan waktu ini untuk beristirahat. Meminum air yang tergenang di daun talas. Hanya sekadar untuk membasahi tenggorokan. Mengambil beberapa buah yang bisa dia raih. Untuk mengisi perutnya sejenak. Hingga dia bisa melihat sinar menguning yang menandakan matahari akan terbit. Dia berada di tempat yang biasa saja. Namun, Agam bisa mendapatkan bidikan sempurna. Memperlihatkan langit pagi dengan awan putih yang terputus-putus, absurd tetapi sangat indah. Damai, tenang, dan sunyi. Pagi hari yang sangat menyenangkan. Setelah lelah, ia pun kembali. Jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh. Dia akan kembali ke tempat di mana dia memarkirkan motor. Biasanya jam-jam seperti ini, akan ada pemburu yang mengecek perangkapnya, ada yang tertangkap atau semuanya lusut. Jalanan sudah mulai sedikit berpenghuni, tidak seperti petang tadi. Dia melewati toko bunga, ada bunga kesukaan sang ibu. Namun, sialnya dia harus melihat gadis toko kue itu lagi. Pikirannya sudah tidak nyaman, karena sorot mata gadis itu juga melirik apa yang dia minati. Pikirannya sedikit terganggu. Melihat gadis itu berpenampilan jauh dari kedua pertemuan merek. Jantungnya seakan melakukan senam. Melompat-lompat tidak menentu sampai membuat dirinya kesakitan. Apakah Agam akan terkena serangan jantung di sini? Namun, egonya yang besar seakan dengan mudah menutupi apa yang dia rasakan. "Tidak akan aku biarkan," lirihnya. Ia pun turun dengan cepat dan meraihnya. Bersamaan dengan itulah tangan Aileen menangkapnya. Mereka bertengkar, tetapi Agam adalah pemenangnya. Dia tidak tersenyum dengan ramah, tetapi senyuman devils yang membuat Aileen terbelalak. Entah apa yang dia rasakan tetapi raut wajahnya sangat kesal. Agam membayar dan menyempatkan untuk menurunkan resleting dan— Cekrek! Ya! Dia mengambil gambar Aileen kemudian pergi meninggalkan gadis itu, dengan semua ocehannya. * Sesampainya Agam di rumah. Sang ibu sudah keluar dari kamar. Dia tidak menemukan wanita paling cantik di dunia itu. Berjalan menyusuri ruang demi ruang Di dapur, di kamar lainnya juga tidak ada. Agam menuju satu tempat yang di sukai sang ibu ketika pagi. Taman samping rumahnya. Dia akan melihat capung, kupu-kupu dan serangga indah lain yang berterbangan. "Ma?" Panggilnya. Pria itu sudah meletakkan jaket dan juga lensanya. Sehingga yang ada ditangan hanyalah bunga yang indah dan wangi tersebut. "Untuk, Mamaku yang tercantik di seluruh jagat raya," gombalnya. Namun, Alma tidak menemukan ekspresi yang pas. Wajahnya tetap saja kaku. Di justru tertawa karena anaknya tida pandai merayu. "Terima kasih, sayang. Berikan Mama, senyuman terbaikmu," pinta Alma. Dia meraih tangan anaknya dan menepuk pelan tangan itu. Agam hanya menarik kedua sudut bibirnya dengan terpaksa. Haruskah tersenyum hanya perlu latihan atau terapi? "Nak, nanti kamu ke kantor saja. Launching barang barunya hari ini kan? Mama akan pergi ke terapi bersama Bu Murti saja." Agam bergeleng. "Tidak, Mama tetap sama Agam. Aku akan mengantarkan Mama di mana pun, mama mau pergi. Aku tidak mau, di datang dan tiba-tiba membuat hatimu sakit lagi. Jangan membantah ucapan Agam. Kesehatan Mama, kesembuhan Mama, adalah hal utama untuk Agam," tuturnya. Alma tidak bisa lagi melarangnya. Agam keras kepala. Namun, jika orang tidak mengenalnya dia akan dicap sebagai lelaki yang dingin, egois, kemamaan atau manja atau lain sebagainya. Mereka selalu beranggapan apa yang dilihat saja. Rasanya, Alma begitu sedih, seharusnya anaknya bisa pergi ke mana pun dia mau. Bukannya harus mengantar dan menemani dirinya yang selalu menjadi beban untuk lelaki sebaik Agam. Air matanya yang menetes membuat Agam, bersimpuh dan mengusap butiran bening itu untuk enyah dari wajah sang ibu. "Tidak ada lagi menangis. Mama itu berhak bahagia, jangan berpikir apapun tentang Agam. Percayalah bahwa jika Mama bahagia, aku jauh lebih bahagia, Ma. Semangat sembuh, ya. Agam kan sudah janji kalau nanti Mama, sembuh kita keliling Eropa. Seperti mimpi Mama," jelasnya. Agam berusaha untu mendongkrak kembali semangat, agar sang ibu segera pulih. Dokter bilang bahwa kelumpuhan itu bukan permanen. Alma hanya mengalami trauma yang membuat banyak hal dalam dirinya berubah. Jatuh yang dia alami memang menyukai luka, tetapi luka batinnya jauh lebih menyakitkan. Bahkan dokter tidak bisa menyembuhkan luka itu. Alma tersenyum dan mengangguk. Menarik bahu anaknya untuk memeluk dirinya. "Mama berdoa, agar jodohmu segera datang. Agar ada yang bisa merawat kamu, nak. Mama akan sangat senang, siapapun itu pilihanmu," rintihnya di dalam dekapan Agam. "Ma—"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD