Bab 19: Tapi— Sayang

1196 Words
Bab 19: "Ma, udah dong. Jangan itu terus yang diomongin. Agam, bosan. Agam masih muda. Umur juga belum genap tiga puluh tahun kan? Toh, meskipun sudah lebih dari tiga puluh tahun, aku yakin, aku masih tampan," ucapnya. Seharusnya orang yang narsis seperti itu dibarengi dengan senyuman. Akan tetapi, Agam tidak. Wajahnya biasa saja bahwa tetap kaku, layaknya kanebo kering. "Ih— dasar, anak Mama, narsis. Gam, senyum dong. Kenapa sih, susah banget kamu senyum?" Laki-laki itu kicep, dia tidak bisa menjawab apapun. Karena bukan dia yang minta untuk tidak bisa tersenyum. Bahkan dia ingin tahu, apa yang bisa membuat dirinya tersenyum. Merasakan sensasi bagaimana menarik bibir yang membuat semua orang nampak jauh lebih baik. Tidak seperti dirinya yang hidup dalam kesunyian juga dendam pada seseorang yang darahnya masih mengalir di tubuhnya. "Sudah, lebih baik sekarang Mama istirahat. Nanti Agam antar terapi lalu Agam harus berangkat ke kantor kan?" Alma mengangguk. Dia pun bersiap membersihkan diri. Sementara Alma, pelayan yang akan menemaninya untuk berpakaian. Usai itu, selebihnya Agam lah yang mengurus, mulai mengangkat wanita itu masuk, keluar mobil dan seterusnya. Hingga tiba di rumah sakit. Dia terus memperhatikan sang ibu yang berusaha untuk berdiri. Akan tetapi, tulang di kakinya seakan sangat lunak dan tidak bisa menopang tubuh Alma yang sangat kurus. Terkadang Agam terus berpikir kenapa ibunya menjadi seperti itu. Dulu sang ibu sangat segar, bugar dan selalu tersenyum. Dia juga selalu berbuat baik pada semua orang. Namun, kenapa karma yang dia terima seakan jauh dari apa yang dia perbuat. Mereka hanya bisa berusaha untuk kesembuhan wanita itu. Selebihnya hanya Tuhan yang tahu kapan Alma akan bisa kembali berjalan, atau dia akan selamanya berada di atas kursi roda tanpa bisa bergerak dengan bebas. Kecelakaan, sepuluh tahun yang lalu. Tidak seorang pun bisa membayangkannya. Bahkan betapa satu dan remuknya hati Alma saat itu, tidak ada yang tahu. Sekalipun itu Agam, anaknya sendiri. "Hari ini, lumayan ada kemajuan. Kaki Nyonya bisa bergerak sedikit demi sedikit. Mungkin perlu berlatih di rumah, melatih otot motorik, agar kuat dan bisa merasakan hal yang lebih besar," tutur sang dokter. "Terima kasih, dokter. Saya senang, mendengarnya." Dokter itu tersenyum dan menuliskan lagi resep yang sama. Sepuluh tahun berlalu dengan obat-obatan yang membosankan. Namun, Alma tidak ada pilihan lain. Jika, dia ingin sembuh maka, dia harus meminumnya dan memupuk semangat yang luar biasa agar bisa segera berjalan kembali. Setelah itu, mereka kembali ke rumah. Agam langsung menuju kantornya. Dia akan launching produk baru hari ini. Setelah memastikan sang ibu aman bersama pelayannya di rumah. Dia pun tidak menyempatkan diri untuk masuk ke dalam. "Hati-hati, nak," ucap sang ibu, setelah turun dari mobil. Murti sudah menunggu majikannya dan berdiri di belakang kursi rodanya. Agam hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu dia pun pergi. Melanjutkan perjalanan sembari menelepon Ashraf. Untuk segera menyiapkan segala sesuatunya. Sebuah gedung bertingkat, yang telah disepakati sebagai pembuatan iklan milik Agam. Dengan beberapa model ternama, siap memamerkan produk ponsel keluaran terbaru dari brand milik Alma sendiri. Begitu tiba, mereka memulai siaran televisi langsung yang akan memberikan banyak door prize untuk pecinta brand milik Alma tersebut. Acara yang sangat meriah dengan dihadiri para petinggi dari perusahaan lain yang ikut berpartisipasi dalam hal tersebut. Suara tepuk tangan yang sangat meriah itu ditujukan untuk Agam. Namun, lelaki itu hanya bersembunyi di balik tubuh Ashraf. Lelaki itu yang berbicara di depan layar, menyambut dan menjelaskan kelebihan dari produk barunya. Agam senang, dia sangat bangga dengan pencapaiannya. Namun, untuk tampil di khalayak ramai, itu bukan dirinya sama sekali. Misinya harus selesai sebelum semua orang mengenal sosoknya yang sebenarnya. Agam hanya ingin membalaskan dendam sakit hati sang ibu sebelum dia mempublikasikan dirinya sebagai anak dari Alma. Hanya orang-orang kantor yang tahu dia adalah wakil direktur. Namun, tidak dengan berbagai media dan yang lain, mereka tahunya adalah, Ashraf lah wakilnya. Acara yang berlangsung selama satu jam itu sukses mendatangkan pesanan yang bejibun. Alma yang menyaksikan pun ikut senang. Bahwa anaknya benar-benar berhasil membuktikan bahwa dia memang layak menjadi orang sukses dan besar. Sementara itu, Agam kembali ke kantor. Seakan dia bukan orang yang penting. Sedangkan Ashraf, sibuk menyalami orang-orang yang terus mengucapkan selamat. Lirikan matanya terus mengikuti kemana sang bisa pergi. Ada rasa tidak enak hati. Akan tetapi itu sudah menjadi perjanjian yang dia dan juga Agam sepakati. Ponselnya berdering begitu ia, masuk ke dalam mobilnya. Dia menjawabnya dengan cepat. Alma lah yang menghubunginya. "Iya, Ma," jawabnya. Sembari mengemudikan mobilnya, meninggalkan gedung tersebut. "Sayang, kenapa Ashraf lagi yang keluar? Kamu kenapa sih, nak?" Suara dan pertanyaan yang selalu hadir ketika ada acara besar seperti tadi. Agam sampai bosan harus menjawab dan menjelaskannya. Pasti nanti ujung-ujungnya mereka akan selalu berseteru. "Ma, jangan bahas ini lagi. Mama tahu betul apa tujuanku. Aku mengemudi, Ma. Mama cepat makan, minum obat dan tidur. Kita ketemu malam nanti, ya." Pria itu mematikan ponselnya dan mengembuskan napasnya. Mengusap wajahnya dengan lesu. Dia tidak akan mundur, dia akan tetap mencari anak Indra dan akan membalas semua perbuatannya. Jika dia saja ditelantarkan, lalu kenapa anak dan istri barunya harus mendapatkan dirinya? Jika, bisa dia akan membunuh pria itu. * Malam ini, sesuai janjinya. Dia kembali pulang dan sang ibu sudah menunggunya di ruang tengah, di temani Murti. Beberapa yang lain sibuk memasak. Murti terlihat mengupas buah untuk sang ibu. Mangga adalah buah yang paling disukai oleh sang ibu. Agam menghampirinya dan mencium kening Alma. Wanita itu membalasnya dengan memeluk tubuh pria jangkung, dan sangat tinggi besar. "Mandi, gih. Mama sudah sangat lapar," keluh sang ibu. "Kenapa tidak makan dulu saja, Ma? Selalu seperti itu, ayo Agam temani. Mau aku suapi?" Alma mengangguk. "Biar saya ambilkan, Tuan," ucap Murti. Dia hendak pergi, tetapi Agam mencegahnya. "Tidak, perlu. Biar aku saja," jawabnya dengan datar. Ia pun beranjak, setelah melepaskan jas dan juga meletakkan kuncinya di tempat biasa. Agam mencuci tangannya lalu meracik makanan untuk sang ibu. Satu piring nasi lauk pauk dan juga satu gelas air siap ditangannya. Ia kembali ke tempat di mana sang ibu berada. Menyuapinya dengan banyak perhatian, telaten dan lembut. Sampai piring itu kosong. Semua makanan berpindah di perut ibunya. "Terima kasih, nak. Maaf, ya, Mama tidak biarkan kamu mandi dulu," lirihnya. "Tidak apa-apa, Ma. Lain kali, jika sudah lapar, jangan nunggu Agam pulang." Lelaki itu kembali mencium kening sang ibu sebelum pergi lagi. "Sekarang Mama minum obat dan istirahat, ya. Murti temani, Mama. Aku mau ke kamar, ada satu tugas yang belum aku selesaikan," tukasnya. "Baik, Tuan." "Foto?" Tanya Alma. Agam mengangguk dengan memiringkan kepalanya, berjalan mundur dan menaiki tangga secara perlahan. Alma hanya bergeleng lemah. Dalam hatinya heran dengan sang anak yang banyak kegiatan. Seperti tidak ada lelahnya. Mungkin satu perkejaan di kantor tidak cukup membuat dirinya sibuk dan kelelahan. Agam mengambil kameranya, bahkan dia belum mengganti baju ataupun mandi, dia ingin melihat hasil jepretannya semalam. Satu demi satu foto ia geser, ada lebih dari lima puluh foto dan gambar terakhir adalah milik gadis itu. Agam menatapnya dengan cukup lama. Menatap matanya yang sangat indah dengan bulu mata yang tebal dan lentik. Dalam hatinya, apakah dia menanam bulu matanya, sehingga tampak tebal dan indah? "Cantik, tapi sayang— menyebalkan, pendek dan—" Agam mencebik tidak tahu apa yang akan dia katakan untuk kata buruk lainnya. Dia mengirimkannya pada ponselnya dan berniat untuk—
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD