Sungguh Kirana ingin pulang dan memeluk ibunya seerat yang dia bisa. Dan kalau bisa, Kirana ingin lari sejauh-jauhnya dari semua teman-teman yang bahkan tidak pernah sekalipun menganggapnya sebagai teman. Ah atau mungkin, Kirana tidak pernah dianggap manusia oleh mereka karena tidak selevel dalam tingkatan kekayaannya.
Yang kemarin saja Pak Damar masih agak-agak tidak menyangka dan bisa-bisanya masih ada tindakan tercela yang terulang seperti ini lagi. Mana laptopnya juga ikut jadi korban. Padahal jelas Kirana tidak melakukan suatu kesalahan apapun.
Untung kejadiannya banyak disaksikan oleh orang-orang, jadi Kirana bisa mendapat bantuan lebih cepat. Isi kepalanya Pak Damar benar-benar penuh sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang siap dia tujukan kepada anak kelas sebelah tersebut. Duh, namanya saja Pak Damar tidak ingat siapa. Yang pasti, perempuan itu anaknya Bu Astuti. Maksudnya wali dosen dari perempuan yang menyakiti Kirana adalah Bu Astuti. Pak Damar akan berbicara kepada beliau setelah selesai mengurus Kirana.
Perjalanan yang cepat langsung membuat Kirana sampai tujuan. Dia kembali dituntun oleh teman-temannya padahal Kirana yang merasa baik-baik saja sudah meminta dilepaskan saja, dia bisa berjalan sendiri daripada merepotkan orang lain.
"Mbak, saya baik-baik saja sungguh. Mimisannya juga sudah berhenti." Kirana berhenti di jalan, menatap perempuan berjumlah tiga orang di sekelilingnya yang ingin membantunya sampai tuntas. Sementara Pak Damar sampai mengambilkan kursi roda yang makin membuat Kirana merasa tidak enak hati.
"Kirana, duduk di sini."
"Pak, saya baik-baik saja. Tidak perlu dibawa ke rumah sakit." Kirana malah ingin menangis kalau diperhatikan secara demikian. Kalau tahu begini, dia ingin memanggil Nisa, Simi dan Anggi saja. Rasanya tidak nyaman sama sekali. Kirana malah takut.
"Kamu harus diperiksa. Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bisa segera diobati. Ayo."
"Tapi saya baik-baik saja, Pak. Saya sudah tidak mimisan lagi. Kepala saya juga sudah tidak sesakit tadi. Tadi tidak sengaja terdorong menghantam dinding, ini hanya benjol biasa, Pak. Lama-kelamaan juga hilang sendiri. Tidak apa-apa." Kata Kirana panjang lebar. Masalahnya, kalau memang terjadi sesuatu yang buruk, jelas saja kalau Kirana akan semakin takut. Jadi Kirana merasa lebih baik tidak tahu saja daripada tahu malah membuatnya terbebani. Ini dari pemikiran Kirana sendiri.
Ketiga orang yang membantu Kirana tadi masih setia menunggu dan tetap berusaha untuk membuat Kirana menurut, hanya pemeriksaan. Kalau memang tidak ada apa-apa, akan lebin tenang jadinya. Kalau memang ada apa-apa pun, jadi segera bisa diatasi. Maksudnya Pak Damar begitu. Selama beberapa tahun menjadi dosen, baru kali ini ada kasus seperti ini. Benar-benar akhir zaman.
"Diperiksa sebentar mau, ya? Sudah ditunggu. Ini hak kamu mendapatkan keamanan di sini. Jadi tidak apa-apa, ayo. Kita semua temani."
Kirana tetap saja tidak tenang. Tanpa sadar tangannya malah meremas tangan salah satu perempuan yang membantunya sedari tadi. Kemudian bibirnya tanpa sadar mengucapakan kata Anggi.
Pak Damar yang sudah tahu siapa itu Anggi dan kemarin juga sudah mendapatkan nomornya yang dapat dihubungi, tanpa meminta izin kepada Kirana terlebih dahulu, beliau langsung menghubungi Anggi. Harapannya saja Anggi bisa menjawab. Dan benar saja, tak selang lama panggilannya langsung terhubung dengan orang di seberang sana. Pak Damar tidak basa-basi, dia mengatakan kalau Kirana mendapat musibah dan meminta Anggi untuk datang. Kebetulan memang gedungnya Anggi berada dekat dengan rumah sakit, jadi langsung meluncur saja ke tempat yang Pak Damar sebutkan tadi.
Mereka semua menunggumu di depan rumah sakit ketika Pak Damar memberikan kode kepada ketiga perempuan itu untuk menunggu dulu. Dan tak selang lama, Anggi yang panik sejak mendengar Kirana mendapat musibah dan yang menelfonnya Pak Damar, dosen Kirana langsung. Jelas Anggi kaget. Untung mata kuliahnya ada lagi nanti sore karena itu dia bisa menghampiri Kirana sekarang.
"Na? Eh, kenapa lagi?" Anggi mengabaikan semua orang, hanya fokus pada Kirana yang duduk di kursi roda karena dipaksa sedari tadi.
"Tolong minta teman kamu setuju untuk diperiksa. Kalau memang tidak terjadi apa-apa, dia boleh istirahat di kost." Pak Damar langsung berkata demikian biar tidak terlalu membuang-buang waktu.
Anggi jujur masih kurang mengerti. Karena itu menurut saja dengan yang dikatakan oleh Pak Damar yang berdiri tenang di sampingnya sedari tadi. "Na, nurut aja, yo. Diperiksa dulu ndak papa, aku temani.'
Kirana hanya pasrah karena kalau dia mendebat pun, tidak ada gunanya sama sekali. Dia akan tetap dipaksa untuk periksa. Karena itu, Kirana mengangguk saja ketika disuruh untuk pemeriksaan. Padahal Kirana tidak berbohong, kepalanya bahkan tidak berdenyut menyakitkan. Hanya saat tersentuh saja rasanya begitu menyakitkan. Dan Kirana sendiri sebagai pemilik badan merasa kalau dirinya tidak apa-apa. Dia mau diperiksa karena tidak mau menyulitkan urusan mereka semua. Karena semakin Kirana menolak maka waktu mereka terbuang sia-sia padahal jelas-jelas semua orang pasti memiliki urusan sendiri-sendiri.
"Nanti kalo ndak papa, aku langsung pulang yo. Jangan ditahan-tahan lagi." Kata Kirana membuat persetujuan di awal. Kalau tidak, dia bisa ditahan lagi dan ada saja alasannya yang tidak bisa Kirana tolak kembali karena tidak enak hati.
Tentu saja yang lain langsung mengiyakan permintaan Kirana daripada makin ribet urusannya. Karena itu mereka semua berjalan mengikuti Kirana yang didorong seorang diri oleh Anggi menuju ruangannya yang Pak Damar instruksikan. Saat dibawa ke ruang untuk CT-Scan, Anggi yang paling bingung diantara semua orang karena dia memang tidak tahu-menahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Pak, kok Kirana sampai di CT-scan, memangnya tadi Kirana kenapa ya, Pak?" tatapan nanar, campur aduk, khawatir, semuanya menjadi satu ketika Kirana sudah digantikan baju khusus dan siap dilakukan CT-Scan.
"Terbentur dinding." Jawab Pak Damar kalem seperti biasa, tapi tatapan matanya lurus ke arah anak didiknya itu. Semoga saja memang benar seperti yang dikatakan oleh perempuan itu sendiri bahwa dia memang baik-baik saja sehingga semua orang tidak perlu khawatir.
Padahal, besok Pak Damar sudah harus pergi. Namun ada saja yang menahannya agar tidak pergi. Kalau yang dirinya tunjuk dan dia berikan tanggungjawab untuk membantunya mengajar malah ditimpa musibah seperti ini, Pak Damar juga bingung. Mana lagi ini musibahnya terkesan disengaja. Kirana tidak akan kenapa-kenapa kalau tidak dikasar tadi.
Saking riuh dengan apa yang ada do dalam kepalanya, Pak Damar sampai tidak sadar sampai akhirnya petugas dan dokter yang selesai memeriksa memberikannya hasil rekam bagian kepala atau tengkoraknya. Dan di sini, hanya Pak Damar dan Anggi yang dijelaskan permasalahannya dimana.
Ketika dokter menunjukkan sesuatu di layar yang menampilkan bagian kepala Kirana, terlihat jika memang terjadi benjol atau memar karena efek menghantam dinding tadi. Tapi setelahnya tidak ada yang lain, semuanya normal. Dan benjolan itu terhitung sebagai memar yang akan sembuh dengan sendiri dalam beberapa hari.
"Tidak perlu khawatir."
"Tapi tadi sempat mimisan banyak sekali, Dok." Pak Damar menatap dokter laki-laki yang berkacamata itu kelewat serius.
"Itu dikarenakan selaput hidung Kirana tipis, jadi mudah mimisan. Orang dengan selaput hidung tipis, mereka mudah mengalami perdarahan hidung. Bahkan ketika flu kemudian diusap, dia bisa langsung perdarahan. Ketika pasien jatuh menghantam tadi, bisa jadi hidungnya terkena juga."
"Tadi memang bagian depannya yang menghantam dinding, Dok."
Dokter itu mengangguk mengerti dan berupaya menenangkan lagi. "Pasien tidak apa-apa."
Anggi yang mendengar jadi lega sendiri. Hanya saja, dia masih bingung kenapa Kirana bisa sakit lagi. Yang kemarin-kemarin saja Kirana sesak nafas, Anggi belum tahu apa-apa. Sekarang sampai harus CT-Scan. Entah apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Pasti ada yang tidak beres. Anggi akan bertanya pelan-pelan banyi.
Pada dasarnya, Kirana dan Anggi sudah bersahabat sedari kecil. Mungkin karena itu Anggi juga bisa merasakan kalau ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Arti sahabat yang sesungguhnya.
Setelah selesai, Kirana kembali berganti baju, kemudian tersenyum menghampiri semua orang. "Aku baik-baik saja." Katanya menenangkan.
Bukannya tersenyum, Anggi hanya menatap Kirana masam. "Kamu sebenarnya kenapa, to? Kemarin sesak nafas, sekarang kepalanya benjol. Ada yang ganggu kamu?" tanyanya begitu saja.
Senyum di wajah Kirana perlahan-lahan pudar, dia tidak sengaja melihat ke arah Pak Damar kemudian menunduk. Dan beberapa waktu kemudian, Kirana mengingat sesuatu.
"Laptop Bapak?" Kirana memekik mengingat nasib laptop yang dirinya bawa tadi. Terbelah jadi dua kah? Ya Allah, membayangkan saja Kirana meringis tak kuasa.
"Tidak apa-apa," kata Pak Damar. "Nanti biar Faisal yang mengantarkan sesuatu kepada kamu."
Kirana mengernyit bingung, tidak mengerti dengan maksud perkataan Pak Damar barusan. "Laptopnya tidak terbelah menjadi dua kan, Pak?"
Pak Damar malah tersenyum mendengar perkataan Kirana yang polos sekali. "Tentu saja tidak. Tidak perlu khawatir."
Tanpa sadar Kirana menghela nafas lega. Setidaknya kalau mau ganti rugi, masih bisa dibicarakan baik-baik. Apalagi mendengar suara Pak Damar yang begitu santai, Kirana sudah percaya diri kalau laptopnya tidak kenapa-kenapa. Dia juga lupa jika diminta mengingat-ingat apa yang terjadi dengan laptopnya tadi. Semoga saja Pak Damar tidak berbohong demi membuatnya tidak merasa bersalah. Karena kalau itu sampai terjadi, justru dia akan lebih merasa bersalah.
"Na, tadi aku tanya lhoh, kamu diganggu?" Anggi kembali bertanya dengan nada lebih serius. "Kamu jangan mengalihkan pembicaraan."
Semula Kirana sudah merasa lega, sekarang merasa terpojok lagi.
Anggi ini tipe sahabat yang sangat penyayang sekali. Kalau sahabatnya salah, dia tidak akan segan menegur, kalau sahabatnya benar dan disalahkan, pasti akan Anggi bela mati-matian. Masalahnya dia sudah curiga ada yang tidak bersalah sejak mendapat kabar Kirana panik. Kan Anggi sudah bersama dengan Kirana sejak dulu. Dia jelas tahu kalau Kirana sampai panik, itu pasti ada penyebabnya yang tidak main-main.
"Kamu jangan pernah bohong sama aku ya, Na?"
Kirana hanya bisa menatap Anggi nanar. Masalahnya kalau Kirana bicara, bisa berantakan semuanya. Bisa-bisa, Anggi mendatangkan papa dan kakaknya untuk mengurus yang sudah melakukan tindakan tercela yang dilakukan teman-temannya kepada Kirana.
Kalau orang-orang berpikir Kirana miskin dan tidak memilki tameng yang akan melindunginya. Maka semua orang salah. Kirana punya Bu Ghina yang akan menjadi tamengnya. Selain itu, Kirana memilki keluarganya juga yang sudah seperti keluarga sendiri. Jadi berani berurusan dengan Kirana, berurusan juga dengan keluarga Anggi. Ibuknya yang seorang guru SMA dan sang papa adalah TNI. Ada juga kakak laki-laki Anggi, dia juga mengikuti jejak sang papa untuk menjadi seorang abdi negara, yang pernah Anggi katakan kalau kakaknya ini menyukai Kirana.
Siap-siap saja kalau sampai keluarga mereka tahu putrinya Kirana diganggu.