Karena kejadian tadi Pak Damar menghubungi Anggi karena yang beliau tahu memang paling dekat Kirana, alhasil perempuan itu jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada sahabatnya.
Masalahnya, Kirana tidak sampai hati membuat Anggi kepikiran kalau tahu dirinya sudah dua kali mengalami perundungan di kampus yang membuat fisik serta mentalnya terserang secara bersamaan. Namun, ketika Anggi terus diam seperti ini juga membuat Kirana semakin sedih. Karena tak punya pilihan lain juga, alhasil Kirana jujur apa adanya daripada membiarkan Anggi terus mendiaminya seperti ini.
“Anggi, maaf yo. Aku ndak bermaksud bohong ataupun menyembunyikan masalah dari kamu. Aku cuma ndak mau kalau kuliah kamu jadi terganggu gara-gara ikut memikirkan masalahku.”
“Ya ndak ikut kepikiran gimana to, Na?!” Anggi langsung mendebat tanpa bisa dicegah. “Ini tindak kriminal lhoh. Kalau kamu sampai gegar otak gara-gara benturan tadi bagaimana?”
Kirana hanya diam ketika dimarahi.
“Mikir to, Na. Aku ndak mau doa jelek, ya. Perumpamaan saja memang ndak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. Lhah nanti kalau tiba-tiba ada sesuatu sama kepalamu karena kejadian ini bagaimana? Hayo? Siapa yang tanggungjawab? Kita ndak pernah tau sama yang namanya penyakit, Na. Bisa datang saja tiba-tiba seperti tamu tidak diundang.”
“Yo kan tadi sudah diperiksa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nggi. Alhamdulillah hasilnya normal semua, kan?” Kirana menatap sahabat karibnya ini meyakinkan agar tidak perlu khawatir lagi akan kondisi kesehatannya. “Nanti kalau aku sakit, aku janji akan bilang sama kamu.”
Sayangnya, Anggi tetap saja memasang wajah masam karena terlanjur merasa kecewa sedari awal Kirana tidak bercerita apapun tentang ketidakadilan yang dialaminya. Kalau tahu, Anggi pasti sudah mendampingi Kirana setiap saat. Tidak akan membiarkan orang lain menyakiti sahabatnya.
Mereka di kota orang ini hanya punya satu sama lain. Dulu-dulu saja Anggi pernah sakit dan Kirana yang mengurusnya. Lalu sekarang Kirana susah, malah seperti sembunyi-sembunyi tidak ingin mengatakannya.
Anggi tahu kalau Kirana bukan perempuan alay yang akan mempertontonkan ataupun memamerkan rasa sakitnya agar orang-orang bersimpati. Hanya saja, mereka sudah bersahabat lama. Tetap saja Kirana merasa sungkan. Anggi kan merasa tidak dibutuhkan kalau Kirana seperti itu.
"Ya Allah, Nggi. Tolong lah maafkan aku." Kirana sampai harus mengulang berkali-kali perkataan maafnya agar Anggi berhenti merajuk.
"Kalau Ibuk tanya kamu baik-baik saja apa ndak, mosok aku harus bohong, Na?"
"Ya memang aku baik-baik saja kan, Nggi? Memangnya aku kenapa to? Lhah wong hasil pemeriksaannya normal. Kalau tadi dokternya bilang ada yang ndak beres, ndak papa kamu berlebihan kayak gini. Tapi kan tadi cuma benjol biasa. Ini nanti juga sembuh sendiri. Ini pegang kalau ndak percaya." Kirana mengusap-usap keningnya yang benjol. Rasanya memang nyeri saat ditekan. Namun tidak sesakit saat pertama kali menghantam dinding tadi.
Kalau boleh jujur, Kirana ya sedih karena harus seperti ini. Dia tidak ingin mencari musuh tapi tetap saja orang-orang memusuhinya tanpa sebab.
Dalam hidupnya ini, Kirana memang selalu mengabaikan omongan orang karena dia tahu kalau tidak semua orang akan menyukainya. Makanya dia akan menjadi dirinya sendiri entah itu caranya berbicara, caranya berpakaian, semua yang ada pada dirinya.
Kalau boleh memilih, Kirana ingin mengadu dan menangis dalam pangkuan ibunya, mengatakan semua kelelahannya selama ini. Hanya saja dia tidak mungkin melakukan itu semua karena tanpa ditambahkan dengan kesedihannya pun, ibunya juga sudah susah sendiri.
"Ya sudah, lain kali jangan diam saja yo? Kalau ada apa-apa, bilang sama aku. Aku ndak ridho temanku didzolimi orang yang jail."
Kirana mengangguk antusias saat Anggi sudah tidak marah lagi padanya. "Doakan saja yang sudah jahat dengan kita, Nggi. Siapa tahu Allah bukakan pintu hatinya dan kita bisa berteman baik. Jadi jangan membenci mereka yang jahat."
"Iya Ustazah iya." Anggi tergelak yang membuat Kirana tergelak juga, setelah itu kembali mengingat sesuatu.
"Nggi, kamu tahu laptopnya Pak Damar, ndak?"
Anggi yang ditanyai langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. "Mana?" tanyanya.
"Aku to ndak ingat nasib laptopnya seperti apa. Kalau terbelah jadi dua, tolong bantu aku bilang ke Pak Damar, ya?"
"Pak Damar itu waldos mu kan, Na?"
"Iya." Kirana membenarkan.
"Tampan ya, masih lajang."
"Jangan membicarakan hal seperti itu, Nggi. Kita perempuan, beliau laki-laki." Kirana menggeleng tidak membenarkan.
"Kalau hanya mengagumi kan tidak apa-apa, Na. Lagipula, memangnya kenapa? Kamu suka ya sama Pak Damar?"
Kirana makin menggeleng lah mendengar pertanyaan seperti itu. Sepertinya mereka tadi tidak bicara yang aneh-aneh, kenapa juga pembahasannya sampai jauh seperti ini. "Ya ndak lah. Orang Pak Damar itu wali dosenku. Sadar diri aku Nggi, Beliau siapa. Seperti langit dan bumi."
Anggi tertawa mendengar Kirana berbicara demikian. Bukan tawa yang mengejek hanya memang tawa tulus yang lantas keluar begitu saja karena pembicaraan random mereka. "Ya ndak papa to. Namanya takdir ndak ada yang tau. Kalau kamu ndak mau mah, sama aku saja wes kalau begitu."
"Ya monggo, Nggi. Aku mau sekolah dulu."
"Halah, sekolah terus alasannya. Aku tuh liat temen-temenku yang udah pada nikah kadang suka pengen ikut juga, tapi ndak ada calonnya. Hahaha." Anggi malah salah tingkah, menertawakan dirinya sendiri. Kirana apalagi, dia hanya meringis geli karena belum terlintas sama sekali pemikiran untuk berumah tangga. Pikirannya hanya pulang bersama Ibuk di rumah terus, tidak ada yang lain. Makanya kalau ada yang membahas ada yang ingin melamarnya, Kirana suka tidak nyaman dan ingin kabur saja.
"Kita tadi bahas laptop lhoh Nggi, malah sampai kemana-mana. Itu merek laptopnya sama kayak laptop kamu. Puluhan juga, bisa ndak makan bertahun-tahun aku kalau betulan terbelah menjadi dua."
"Kamu ini." Anggi menepuk paha Kirana agak tidak sabaran. "Ya aku pun kalau diminta ganti rugi juga ndak makan, Na. Ya sudah ayo ndak makan sama-sama."
"Aku serius lhoh ini, Nggi. Ndak lagi bercanda."
"Aku ya juga serius ini. Bisa dipenggal kepalaku Na kalau suka minta aneh-aneh meskipun orang tuaku berada sekalipun. Kalau semisal rusak, diganti punyaku dulu bagaimana, bisa to?"
"Kalian sedang membicarakan apa?" Pak Damar yang menahan senyum masuk ke dalam ruang untuk istirahat di dalam rumah sakit itu karena Kirana langsung dipindahkan ke dalam sana begitu pemeriksaannya selesai. Dan selama itu pun, Pak Damar mendengar semua pembicaraan antara Kirana dan Anggi yang ada unsur membicarakan dirinya juga.
Jangan salah paham dulu. Pak Damar bukannya menguping. Tapi sedari tadi Pak Damar duduk diam di sisi ruang lain yang masih satu tempat. Jadi semua yang mereka katakan tadi, terekam jelas dalam kepalanya.
Pak Damar memang orang kaya, sudah bisa dibilang berhasil pula. Namun hanya saja, beliau memang belum berkeluarga. Bukan karena terlalu pemilih jadi laki-laki. Memang belum ada yang cocok meskipun ada beberapa perempuan yang dekat dengannya.
Anggi yang sadar pertama kali karena Kirana mendadak cosplay menjadi patung saat Pak Damar datang. "Bapak dari tadi di sini?"
"Saya di sebelah. Mendengar semua pembicaraan kalian."
Kirana tanpa sadar meringis. Kemudian melihat dengan kepala menunduk ke arah Pak Damar. "Laptopnya Pak Damar apa kabar ya, Pak."
"Alhamdulillah, baik." Jawab Pak Damar yang membuat Kirana tidak enak hati karena merasa pernyataannya aneh sekali. Masak laptop ditanyakan kabarnya. Kirana memang bingung betulan soal laptop itu. Tidak bisa membayangkan kalau diminta ganti rugi meskipun wajah Pak Damar tidak ada tampang-tampang suka memeras orang.
Beliau yang dasarnya memang menggendong tas punggung diturunkan sebentar, kemudian mengeluarkan tas laptop dari dalam sana, membukanya di hadapan Kirana. Jelas saja yang tadinya bewarna silver sekarang berubah gold membuat Kirana ingin menangis sekencang-kencangnya saja. "Laptopnya betulan rusak ya, Pak? Saya ganti ya, Pak. Tapi nyicil tidak apa-apa ya, Pak. Saya belum bekerja. Tidak ada penghasilan."
Pak Damar benar tidak bisa menahan tawanya lagi. "Kamu bicara apa? Tidak perlu. Laptopnya memang sudah lama itu, tidak perlu kamu risaukan. Memang sudah waktunya ganti yang baru."
"Tapi masih bagus. Bapak jangan begitu, Pak. Ini merugikan sekali saya. Belum membantu tapi sudah merepotkan." Kirana dorong laptop bagus itu, seakan trauma kalau sampai menyentuhnya. "Saya memakai laptop saya sendiri saja, Pak. Pasti bisa walaupun alakadarnya."
Beliau tetap tidak setuju. "Sebelumnya saya minta maaf Kirana kalau ada kata-kata saya yang tidak sengaja menyinggung kamu. Tapi, untuk yang satu bulan ke depan, anggap saja kamu bekerja dengan saya. Dan cukuplah bayarannya satu laptop yang rusak itu."
Kirana menggeleng malah ingin menangis. Kenapa malah jadi seperti ini. "Saya ikhlas membantu, Pak. Dan ilmu yang Bapak berikan tidak bisa dibeli sebesar apapun nominalnya dengan uang."
Kirana yang begitu mencintai ilmu. Akhlaknya juga yang baik. Kalau orang tidak memandang status sosial, pastilah sejak dulu Kirana sudah menjadi rebutan orang meskipun Kirana memang sudah menjadi rebutan orang di desanya.
"Saya paham Kirana. Hanya saja, mengertilah bahwa kamu juga membutuhkan uang itu sendiri. Tidak apa-apa. Anggap saja latihan pra-kerja. Dan itu gaji kamu untuk menebus laptop yang rusak itu jika kamu tetap bersikeras untuk ganti rugi."
Anggi yang paham benar dengan perasaan Kirana dan maksud baik Pak Damar langsung mengusap punggung sahabat karibnya ini pelan. "Pak Damar benar, Na. Kita tidak mungkin patungan dan tidak makan. Bukannya bisa membayar hutang, malah dikubur tanah gara-gara tak kunjung terkumpul uang untuk membayar hutangnya."
"Tapi itu tidak bertanggungjawab, Anggi. Aku yang salah karena ceroboh."
"Tidak." Pak Damar menggeleng. "Tidak sama sekali. Itu bukan kecerobohan, tapi musibah. Sudah tidak apa-apa Kirana. Kalau menurut sudut pandang saya sendiri, justru saya yang menyusahkan kamu karena harus merepotkan segala macam akibat tugas saya."
Anggi jadi tidak paham ketika semua orang jadi melempar kesalahan ke dirinya masing-masing. Namun dia menghormati sekali Pak Damar yang tidak menyalahkan sahabatnya sedikitpun. Anggi jelas tahu se-fantastis apa harga laptop yang mungkin memang benar terbelah dua itu. Dia menabung bertahun-tahun saja tidak sampai-sampai jika digunakan untuk membeli laptop Pak Damar yang rusak ya walaupun tetap bisa diperbaiki. Namun perbaikan juga tetap butuh biaya. Apalagi kalau ada komponennya yang rusak karena benturan, pastilah harus membayar mahal jika garansinya sudah habis.
"Terima saja, Na." Anggi menyenggol lengan Kirana, memberikan saran terbaiknya. "Bapaknya jangan dipersulit. Beliau juga pasti ada urusan, ndak di sini terus untuk bicara dengan kita."
Kirana menghela napas berat. Pada akhirnya dia mengangguk saja. "Terima kasih banyak ya, Pak."
"Sama-sama. Tolong laptopnya diambil."
Meksipun dengan berat hati, Kirana kembali menerima laptop untuk yang kedua kalinya dari Pak Damar. Semoga saja tidak ada hal aneh-aneh lagi yang terjadi padanya. Kalau laptop yang tengah didekapnya di d**a ini sampai kenapa-kenapa lagi. Sungguh Kirana akan menggantikannya dengan uang apapun yang terjadi. Ibunya tidak pernah mengajarkan dirinya mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain. Selain itu, Kirana juga diajarkan untuk tidak memanfaatkan kebaikan orang lain. Dia akan berusaha sebaik mungkin menjadi perantara di kelasnya. Semoga ilmu yang disampaikan oleh Pak Damar kepada dirinya, tersampaikan dengan baik kepada teman-temannya yang lain.
Karena tujuan Pak Damar memang menyerahkan laptop lagi kepada Kirana, beliau lantas pamit undur diri saat sudah menyelesaikan apa yang memang seharusnya beliau lakukan.
Sementara kedua perempuan itu yang sudah ditinggal pergi oleh Pak Damar sama-sama diamnya. Kirana menunduk sedih sementara Anggi tersenyum takjub.
"Fix, aku mau menikah saja dengan lelaki seperti Pak Damar." Katanya.
"Ajak menikah saja." Balas Kirana tidak semangat. Bukan karena cemburu atau apa, tapi karena memang masih tidak enak hati. Kalau Kirana cerita dengan ibunya dan meminta solusi yang terbaik, maka ibunya pasti menyuruhnya untuk ganti rugi saja.
Mereka yang orang hidup pas-pasan sudah terbiasa diremehkan dan direndahkan oleh orang lain. Namun, mereka yang pas-pasan ini selalu berupaya tidak berhutang dengan orang lain karena bayarannya pasti besar sekali.
Kirana percaya kalau Pak Damar adalah orang baik yang tidak akan mengungkit-ungkit keikhlasannya masalah laptop ini. Hanya saja, Kirana tetap tidak enak hati mau Pak Damar mengatakan apapun.
Anggi yang sudah ketawa-ketawa jadi ikut merasa tidak enak melihat tatapan Kirana yang begitu nanar meratapi laptop dalam dekapannya.
"Na, sudah tidak apa-apa. Jangan dipikirkan terus."
"Kapan ya Nggi orang-orang ndak pandang sebelah mata orang kurang mampu seperti aku ini." Tatapan nanar yang Kirana gunakan untuk menatap titik kosong di udara membuat Anggi tersentil hatinya. "Kalau aku ndak punya Bapak diolok-olok, kenapa ndak punya cukup banyak uang masih saja diolok-olok."
"Na, mbok jangan bicara seperti itu."
Kirana menghalau air matanya yang ingin jatuh. "Aku kangen banget sama Ibuk, Nggi. Pengen pulang."
Anggi yang ikut mewek hanya berupaya menenangkan dengan mengusap-usap punggung Kirana. Karena kalau Anggi ikut bicara, perempuan itu tahu pasti ujung-ujungnya menangis. Anggi tidak mau membuat Kirana kian susah karena menambah-nambahi masalahnya.
"Aku minta maaf kalau ikut menyusahkan kamu karena masalah ini." Kirana menoleh ke arah Anggi.
Anggi pun langsung menggeleng. Dia merasa tidak direpotkan sama sekali. "Ndak, Na. Aku ndak merasa direpotkan. Justru aku senang sekali bisa bantu kamu. Tetap semangat ya. Ndak papa cuma punya satu teman. Teman terbaikku juga cuma kamu, ndak ada yang lain. Yang lain hanya melihat karena aku anak orang kaya, bukan karena aku Anggi yang apa adanya."
Kirana memeluk Anggi penuh haru. Dia berdoa agar persahabatan mereka tidak hanya di dunia saja, tapi sampai di akhirat dengan menebar kebaikan selama hidup di dunia.