1. Hiruk Pikuk
Lima menit lalu, matahari masih berdiri tegak di atas kepala. Panas yang begitu menyengat membuat orang-orang membasahi tanah depan rumahnya agar udara panas di sekitar berkurang. Dan Kirana, gadis yang tengah duduk di bangku reot depan rumah itu tersenyum senang mencium bau tanah yang menguar di pelataran rumahnya yang masih berupa tanah. Pikirannya mendadak damai mencium bau tanah panas yang dihujani oleh air. Sama halnya saat matanya yang lelah tiba-tiba menangkap sosok yang menjadi penyemangatnya selama ini.
Dia Ibu. Ibu yang sangat ia cintai. Ibu yang tak pernah lelah berjuang untuk menghidupinya. ibu yang jasanya tidak akan pernah bisa terbalasan meski apapun yang dilakukan oleh anaknya. Dan Kirana, dia sangat menyayangi ibunya. Dia sangat bersyukur bisa memiliki ibu seperti ibunya itu. Hanya ibu yang dia miliki di dunia ini. Ayahnya pergi meninggalkan mereka saat dirinya masih berumur dua tahun. Kirana bahkan tidak tahu rupa ayahnya seperti apa dan sekarang sedang dimana. Apakah masih bernapas ataukah sudah tiada. Dia tidak pernah tahu. Dan sampai sekarang, dia tidak mau tahu.
Namun apapun yang terjadi, Kirana sangat bersyukur. Tuhan menganugerahkan dirinya seorang ibu yang sangat menyanyanginya. Selain menjadi seorang ibu, beliau juga merangkap sebagai seorang ayah. Kalau boleh mengatakan, dia akan berteriak dengan lantang jika dirinya tidak membutuhkan seorang ayah. Karena bagi Kirana, ibunya sudah lebih dari cukup meski kadang dalam hati bertanya-tanya, siapa ayahnya dan dimana kah gerangan beliau berada sampai tega meninggalkan dirinya dan ibunya seperti ini.
Sedari kecil, Kirana sudah terbiasa diejek orang dengan sebutan si culun yang tidak memiliki ayah. Tidak anak kecil, teman-temannya, bahkan sampai orang tua sekalipun tak segan mengatakan hal menyakitkan itu. Dan karena hal itu pula, otaknya seolah memproses jika dirinya tidak membutuhkan orang lain karena kebanyakan dari mereka hanya menyakiti. Hanya satu yang tidak, yaitu Anggi. Sahabat dekatnya sedari SD. Meski Anggi anak orang kaya, gadis itu tidak sombong, tidak pernah membeda-bedakan temannya, karena itu pula dia memiliki banyak teman. Dan dari semua temannya, Anggi paling dekat dengan Kirana, begitupun sebaliknya.
Dan lebih dari apapun itu, Kirana memiliki ibu yang jadi dunianya, yang jadi penyemangat hidupnya, yang menjadi segala-segalanya baginya. Karena itu, Kirana sampai berdiri dan berjalan tergesa untuk menghampiri sang ibu yang jalannya mulai kesusahan, tidak lagi setegak dan setegar dulu. Sudah terlalu banyak beban yang beliau pikul seorang diri selama ini. Dan Kirana sering merasa sedih jika mengingat ibunya yang sendirian saat dirinya berada di kota.
“Assalamualaikum, Buk.” Kirana berjalan satu langkah lagi, menarik tangan sang ibu dan menciumnya penuh haru, tak peduli meski tangan ibunya kotor terkena pewarna pakaian yang digunakan untuk mewarnai kain batik.
Kirana Bersyukur sekali masih diberi kesempatan untuk melepas rindu bersama orang yang sangat dikasihinya. Ibunya, cintanya, dunianya, surganya. Karena bagi Kirana, ibunya adalah hidupnya. Siapa lagi yang ia tuju kalau bukan lagi Bu Ghina? Keluarga terdekat seperti paman dan bibi saja enggan berhubungan dengan keluarga Kirana. Katanya, orang miskin hanya bisa meminta tanpa memberi. Padahal, Kirana dan ibunya tidak pernah mengemis. Mereka selalu banting tulang sendiri.
Melihat putrinya tiba-tiba menyambutnya di depan rumah, Bu Ghina tersenyum begitu lebar hingga tanpa sadar sudut matanya berair. Akhirnya putrinya pulang setelah tiga bulan tidak pulang sama sekali karena sibuk kuliah di kota. Rasanya begitu lega melihat Kirana baik-baik saja. Sering kali, beliau khawatir jika Kirana kenapa-napa mengingat putrinya ini sering dibully di masa sekolah. Memang benar Kirana bukan tipe orang yang suka mengadu. Namun, yang namanya ibu, sebesar apapun sang anak ingin menyembunyikan sesuatu, kesedihan yang coba ditutup-tutupi Kirana selama ini masih terbaca olehnya. Dan sedihnya, Bu Ghina tidak bisa membantu apa-apa kecuali doa yang selalu ia panjatkan setiap sujudnya di siang maupun malam hari.
Tak pernah sekalipun Bu Ghina absen untuk mendoakan Kirana. Karena bagi Bu Ghina, sampai kapanpun, Kirana tetaplah putri kecilnya meski sekarang sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Dan cepat atau lambat, dia pasti akan menikah dan ikut dengan pria yang akan menjadi suaminya kelak.
Meskipun begitu, beliau tidak akan tenang jika belum ada yang menjaga Kirana karena Bu Ghina sadar jika dirinya tidak akan bisa menemani Kirana sampai akhir nanti. Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki waktunya sendiri berada di dunia ini.
“Perjalanannya gimana, Na? Sampai jam berapa tadi? Kok Ibuk nggak dikabari dulu to?” dengan nada khas orang Jogja yang halus, Bu Ghina bertanya sambil menatap putrinya riang. Tentu saja beliau senang putrinya kembali. Ada rindu yang terbalaskan beberapa bulan terakhir ini. Seperti musim panas yang tiba-tiba dijatuhi air bumi, rasanya sejuk sekali. Kegersangan yang semula terasa mencekik, kini perlahan ditumbuhi rerimbunan yang hijau kembali.
“Maaf nggih, Buk,” Kirana meringis tidak enak, “mumpung ada libur beberapa hari ke depan, aku langsung pulang.” Katanya menjelaskan.
Bu Ghina Nampak mengerti. “Lhah Anggi nggak ikut pulang, to? Ditanyain ibuknya terus, kangen katanya.” Mereka berjalan beriringan untuk masuk ke dalam gubug mereka yang masih layak huni meski saat hujan tak terhitung berapa genteng yang bocor.
“Anak kedokteran, Buk, sibuk, kemarin tugasnya banyak banget waktu main ke kontrakan. Kasihan Anggi juga kalo pulang-pergi terus.”
Mendengar penjelasan Kirana, Bu Ghina mengangguk paham. Karena itu dia segera menyuruh Kirana untuk masuk ke dalam rumah. Kebetulan tadi pagi dia sempat masak. Kalau tahu Kirana akan pulang, sudah pasti Bu Ghina memasak makanan kesukaan putrinya itu. Oseng kangkung dengan kentang goreng.
“Makan yo, ibuk mau ke mbahmu dulu, mau lanjutin batik, tinggal sedikit lagi, sekalian totalan bayaran.” Bu Ghina berujar sambil membelakangi Ghina karena sibuk sendiri dengan lemari rak piring, entah mencari apa.
Namun Kirana hanya mengiyakan saja. “Nggih, Buk.” Dia menatap punggung ibunya itu sampai tidak bisa terlihat lagi karena menghilang di balik pintu
Usai Bu Ghina pergi, Kirana langsung makan seperti yang sudah diperintahkan oleh ibunya. Dia memang lapar setelah menempuh perjalanan kurang lebih 10 jam dari Depok ke Yogjakarta. Dengan lauk tempe seadanya, dia makan begitu lahap. Memang kenapa kalau hanya makan dengan sepotong tempe dengan sayur lodeh? Yang penting makanannya halal, sehat dan yang lebih penting lagi, ibunya yang memasakkan. Dia sudah sangat rindu masakan pedas ibunya yang tidak bisa ia dapatkan dimana-mana selama berada di Depok. Untung biaya makannya tidak terlalu mahal. Jadi, Kirana yang bukan tipe pemilih makanan seperti lauk dapat dengan mudah menyesuaikan diri di sana.
Kalau masalah makan, dia biasa memasak nasi menggunakan rice cooker dan lauknya beli di luar, atau kalau tidak masak bersama dengan teman-teman satu kontrakan, jadi bisa menekan pengeluaran untuk biaya makan sehari-harinya. Sedangkan masalah kontrakan, bisa dibilang agak berat juga karena dia harus membayar per semester yang berarti enam bulan di muka. Kalau ingin mencari kos-kosan yang harganya lebih murah, jaraknya jauh dari kampus, sedangkan Kirana tidak punya motor untuk pulang pergi.
Kirana memang mahasiswi penerima beasiswa. Setiap satu semester sekali, dia akan mendapatkan bantuan dana untuk perkuliahannya. Dan sebagian besar, dananya habis untuk mengontrak meski Kirana sudah mencari kontrakkan yang paling murah sekalipun dengan satu kamar berdua dan satu kontrakan dihuni oleh 24 orang. Tapi lebih dari apapun, masalah utama Kirana masihlah sama. Dia selalu kesulitan bergaul dengan orang lain. Rata-rata, temannya ya itu-itu saja, yang nasibnya kurang lebih sama dengannya. Dia rasa, dirinya lebih nyambung jika berbicara dengan orang yang berasal dari keluarga kurang mampu seperti dirinya sendiri. Dia bukannya minder jika berteman dengan orang kaya. Rasanya hanya tidak nyaman saja.
Kirana bukannya sombong dengan tidak mau berteman dengan anak orang kaya. Hanya saja, dia selalu merasa rendah duluan jika sudah dihadapkan dengan orang-orang yang beruang. Otaknya seakan-akan mengatakan jika ‘jangan bersama mereka, mereka tidak akan menerimamu karena kamu tidak berguna karena tidak beruang seperti mereka.’ Jadi selalu seperti itu, Kirana benar-benar membatasi diri. Apalagi di perkuliahan ini, tak jarang ia dibully oleh anak-anak satu kelasnya, lebih parahnya mahasiswi juga yang seharunya lebih paham sebagai sesama perempuan.
Terkadang, Kirana yang tidak pernah pergi jauh dan sekarang harus pergi ke kota orang demi melanjutkan pendidikannya menangis dalam diam saat mengingat ibunya. Bagaimana kalau ibunya sakit dan tidak ada yang mengurus di desa? Dia selalu saja memikirkan hal yang tidak-tidak semacam itu. Mau bagaimana lagi, mereka hanya memiliki satu sama lain. Kalau salah satu ada yang pergi, maka sudah pasti, satu sama lain sendirian.
Kalau Kirana, di kontrakan ramai dengan teman-teman seperjuangannya. Kalau ibunya, siapa yang akan menjadi teman bicaranya? Untuk bicara dengan Kirana saja, Bu Ghina kerap kali datang ke rumah mamanya Anggi dan minta tolong untuk ditelfonkan dengan Kirana. Kalau kebetulan Angi bersama Kirana, telfon itu tentu sampai ke tujuan. Tapi kalau Anggi sedang di fakultas dan bersama teman atau berada di kos-kosannya yang elite, tentu saja telfon itu tidak akan sampai ke Kirana. Kirana sendiri, belum memiliki handphone. Rencananya, dia pulang ini ingin beli dua handphone untuk dirinya sendiri dan untuk ibunya menggunakan uang beasiswa itu. Walaupun cuma handphone jadul yang cuma bisa menelfon dengan mengirim pesan, tidak apa. Yang penting bisa untuk saling berkabar meski harus berjuang pulsa.
Orang-orang yang sering menghinanya mungkin karena mereka tidak paham. Mungkin juga mereka pikir, menjadi miskin adalah kemauan diri sendiri. Seandainya saja nasib bisa ditukar, mungkin orang yang kerap kali menghinanya harus merasakan jadi dirinya dulu agar bisa mengerti. Tapi toh, Kirana juga tidak menjamin semua itu berhasil. Lagipula, dia juga tidak butuh dikasihani. Dunia mengajarkannya kehidupan yang keras. Jadi, dia tidak peduli lagi meski perundungan yang dialaminya masih berjalan sampai sekarang.
Dia diam bukannya takut dengan mereka, bukan! Dia diam karena dia merasa tidak perlu membalas perlakuan jahat orang lain dengan perlakuan yang jahat juga. Dia memiliki Tuhan yang Maha Adil. Dia yang akan memberikan balasan yang setimpal pada hamba-hamba-Nya. Melakukan sesuatu baik, akan mendapatkan balasan yang baik pula. Dan melakukan sesuatu yang buruk, akan mendapat balasan yang buruk juga.
Itulah Kirana dan pemikirannya.