34. Ketika Seorang Lelaki Ingin Berbicara

1885 Words
Seperti yang sudah direncanakan, Silvi menjemput semua orang sekitar jam lima sore. Kirana yang sebenarnya ada rapat dengan anak UKM dalam rangka membahas seminar nasional yang selalu diselanggarakan setiap tahun ditunda dan digantikan besok. Jadinya, Kirana bisa pulang sesuai jadwal yang ada. Mereka yang pulang lebih awal menunggu Silvi menjemput baru pulang. Tadi, Kirana juga sempat memberikan nomor telfon Nisa dan Simi kepada Silvi agar kedua orang itu mudah dihubungi. Dan syukurnya, nomor telfon tersebut digunakan untuk w******p juga, jadi sekalian juga bisa Silvi hubungi dengan cepat. Sambil mengendarai mobilnya, Kirana menjemput semua orang yang sedang duduk-duduk santai di teras masjid. "Mbak Kirana, Mbak Nisa, Mbak Simi, ayoooo." Kata gadis itu bersemangat sekali melihat semua orang yang ada janji dengannya sudah berkumpul di satu tempat dan mereka tinggal pulang menunggu Silvi sebagaimana perkataannya kalau akan dijemput. "Maaf ta Mbak-Mbak kalau kalian harus menunggu lama tadi. Aku harus berbicara sebentar dengan anggota kelompok tugasku." Silvi melanjutkan ketika menghampiri ketiga gadis tersebut. ""Santai aja, Vi. Kita lagi menggabut di sini." Silvi jadi tertawa mendengar perkataan Simi. Lantas, gadis itu mengingatkan mereka semua untuk segera masuk ke mobil, sebentar lagi petang. Belum nanti kalau macet di jalan, pasti menyebalkan sekali. "Ayo Mbak, nanti keburu malam. Kata Pak Muh, sayurnya tadi diterima sama Bu Wida." "Hm? Bu Wida?" Simi bertanya bingung. Pasalnya, darimana Silvi tahu ibu kontrakannya. Lalu, untuk apa sayur tadi. Melihat bukan hanya wajah Simi yang penuh tanda tanya, akhirnya Silvi menjelaskan dengan raut yang nampak bahagia sekali. "Jadi gini, Mbak. Aku mau menginap di kontrakan kalian karena aku nggak ada temennya di rumah. Nah, berhubung banyak bahan makanan yang nggak kepake karena mamaku lagi di Bandung nungguin kakak aku yang kecelakaan, jadinya aku minta aja. Katanya, kalau Jumat suka ada masak terus makan bareng-bareng. Jadi daripada mubazir bahan makanannya, aku izin aja ke Mama buat minta ternyata boleh banget. Terus tadi Pak Muh udah ngantarin ke kontrakan, katanya diterima sama Bu Wida." "Ooo, baru paham." Simi tertawa. "Sering-sering aja main ke kontrakan, Vi. Ntar aku tidur di kamar Kirana juga deh biar ranjangnya buat berempat. Nanti yang tidurnya paling pinggir syukur-syukur aja nggak terjun bebas ke lantai." Tawa renyah mereka pecah diantara kicaun burung yang terbang di langit hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Entah di sangkar mana mereka kembali. Sangkar alami kah atau sangkar buatan manusia semata. "Heh ayo pulang, ntar macet di jalan. Antri kalian mandi tuh lama banget tau, nggak?" Daripada mendengar amukan Nisa, mereka bergegas menaiki mobil dan tancap gas ke kontrakan Kirana dan kawan-kawan. Selama perjalanan, pembicaraan mereka lebih ramai daripada esok tadi. Kirana yang pendiam hanya sesekali menanggapi dan turut tertawa. Sampai akhirnya mereka sampai di kota kontrakan ketika suara pengeras suara dari masjid di dekat kontrakan Kirana terdengar tilawah Al-Quran. Jadi, mereka segera turun dan Silvi meminta ditemani Kirana untuk mengambil sayur dan pakaiannya yang diberikan kepada Bu Wida. Silvi tidak mungkin tidak mandi, nanti dia gatal-gatal karena kulitnya sensitif. Sementara Nisa dan Simi masuk lebih dulu, Kirana dan Silvi menuju ke rumah Bu Wida yang berada di depan. Kirana juga izin kepada Bu Wida kalau Silvi mau menginap. Sebenarnya, tanpa izin pun, Bu Wida sudah pernah mengatakan di awal kalau membawa teman perempuan menginap, tidak apa-apa. Yang penting tetap menjaga kebersihan dan ketenangan saja. Kalau tidak bisa menjaga dua hal tersebut, lebih baik tidak usah menginap saja. Begitu mendapatkan semua perlengkapannya, Kirana menuntun Silvi untuk masuk ke dalam kontrakan yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan rumah Silvi sendiri. Jelas di pikiran Kirana kalau Silvi orang berada. Semua yang dimilikinya mewah, lihat saja mobil putihnya yang diparkir di depan rumah Bu Wida. Untung masih cukup, kalau tidak, kasian mobilnya juga seandainya kehujanan. "Ayo masuk, Vi. Adanya ya seperti ini kontrakannya." Kata Kirana pada Silvi yang nampak biasa-biasa saja, tidak merasa terganggu sama sekali dengan ukurannya yang tidak terlalu luas tapi cukup luas untuk semua penghuninya ketika berkumpul bersama di ruang televisi sepanjang 12 kamar-kamar yang berada di sana. "Lumayan luas, Mbak. Bersih." Silvi berkomentar. Matanya berbinar senang setelah sekian lama dia mendadak bisa merasakan menjadi mahasiswi betulan yang identik dengan kehidupan anak kost. "Ya sudah yuk, kita bersih-bersih dulu." Kirana mengajak Silvi ke kamarnya yang tentu saja satu kamar dengan Nisa. Si kamar berukuran sedang, yang tidak sempit sekali, Silvi tersenyum senang melihat ruangannya yang bersih, tertata rapi dan juga harum. "Nyaman sekali kamarnya." "Coba deh tidur, Vi. Dijamin nggak mau bangun saking nyamannya." Kirana dan Silvi tergelak sendiri mendengar perkataan Nisa, kemudian mereka bergantian mandi. Karena memang Nisa yang siap lebih dahulu, Nisa juga yang pertama kali mandi. Sementara Kirana sibuk dengan tasnya, Silvi sibuk duduk di ranjang. "Ini laptop Pak Damar, Vi." Silvi menoleh saat Kirana menyodorkan laptop ke arahnya dan Vivi pun menerimanya begitu saja. "Kenapa, Mbak?" "Kalau mau kamu buka." Adik perempuan satu-satunya Pak Damar ini hanya tersenyum. "Kok dikasihkan ke aku sih, Mbak? Mbak belum cek email dari Pak Damar? Biasanya dia rajin upload tugas. Aku buka ya, nanti Mbak cek email Mbak sendiri?" "Buka aja, Vi. Aku kau merapikan tas dulu." Tanpa menunda-nunda, Silvi langsung menyalahkan laptop tipis milik kakak laki-laki tertuanya itu. Setelah menyala, tersembunyi sendiri dengan WiFi kontrakan, Silvi menunjukkan alamat email pada Kirana yang pesannya sudah mencapai ribuan. "Kirananastiti@g*******m? Itu ya, Mbak?" "Iya, buka aja, Vi. Aku suka lupa, nanti tidak mengecek malah." "Siap Mbak, aku bukakan ini." Dengan begitu cekatan, Silvi membukakan email Kirana di laptop kakaknya. Begitu terbuka, Silvi refleks menepuk punggung Kirana seraya memanggil. "Mbak, Mbak ada inbox dari Pak Damar." Kirana yang semula fokus pada isi tasnya beralih fokus ke arah layar yang ditunjukkan oleh Silvi. Memang benar ada pesan masuk dari Pak Damar sore tadi. Melupakan merapikan tasnya sendiri, Kirana langsung duduk di samping Silvi untuk melihat apa pesannya. Biasanya dikirimi materi baru dari Pak Damar seperti yang diawal waktu itu. "Paling materi, Vi. Buka saja." Silvi pun menurut. Begitu dibuka, lampiran yang disertakan memang berisi materi seperti biasa. Namun, ada pesan juga yang membuat Silvi meringis tidak enak. Damar Anggara Itu materi seperti biasa. Kalau ada yang ingin ditanyakan, langsung kirim balasan email secepatnya. Ibu saya sempat mengirim kabar kalau adik saya akan menginap di kontrakan kamu. Kalau jadi, pastikan jangan menggunakan kipas angin, dia mudah sekali sakit perut. Weekend besok, kalau dia mau ke Bandung, ingatkan Silvi untuk minum kopi. Terima kasih. "Maaf ya, Mbak. Malah jadi merepotkan." Kata Silvi. Kirana malah tersenyum santai. "Ndak perlu minta maaf, Vi. Orang kamu ndak ngapa-ngapain kok." Mendengar jawaban demikian, Silvi langsung beralih duduk menghadap Kirana. "Mbak Kirana, Mbak Kirana ini aslinya orang mana?" "Orang Jogja, Vi. "Wah, aku suka ke sana kalau liburan. Kapan-kapan kalau liburannya sama, aku boleh main ke sana ya, Mbak?" Tanpa menolak atau apapun itu, Kirana lantas mengiyakan. Dia tidak mungkin menolaknya tamu yang berkunjung ke rumahnya. Hingga akhirnya, percakapan mereka harus terhenti karena Silvi harus segera mandi karena tubuhnya sudah gatal, risih. Sementara Silvi pergi, Kirana langsung membalas email Pak Damar. Setelahnya, Kirana kembali sibuk dengan isi tasnya. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara masuk ke dalam laptop. Begitu ditilik, ada balasan pesan lagi dari Pak Damar yang hanya sekadar mengucapkan terima kasih. Sebagai mahasiswi yang baik, Kirana tidak menjawab pesan Pak Damar yang terakhir karena dia tahu kalau Pak Damar juga butuh istirahat. Seandainya masih tidak tenang dengan Silvi yang berada di kontrakannya, baliau bisa menghubungi Silvi secara langsung nanti. Nisa yang baru masuk agak sedikit terkejut melihat wajah Kirana yang nampak letih, padahal tadi waktu ditinggal mandi biasa-biasa saja. Dasarnya Nisa bukan orang yang selalu ingin tahu, makanya Nisa tidak bertanya sama sekali, hanya mengeringkan rambutnya yang basah. Hingga akhirnya giliran Kirana yang mandi. Begitu semua sudah selesai orang mandi, seperti biasa, Bu Wida datang untuk menjadi imam salat sesama perempuan. Silvi yang berada di sana sampai dibuat tercengang. Namun dia senang sekali bisa salat berjamaah dengan yang lain, selain mau perkenalan juga biar lebih akrab. Sampai waktu yang direncanakan tiba. Mereka yang sudah masa bodoh dengan berat badan tetap masak bersama-sama di dapur. Kirana, Simi, Nisa dan Silvi. Mereka sudah siap si meja makan, siap potong-potong bahan makanan untuk dimasak. Mana bahan masakan dari Silvi banyak sekali hingga sepertinya sampai kontrakan depan juga cukup. Ok, ini agak melebih-lebihkan karena mereka juga tidak memasak sayur-sayuran itu semuanya. Kira-kira yang cukup untuk 13 anak di sana. Mereka masak sesekali bercanda tawa. Sampai akhirnya masakannya jadi, keempat orang itu membagi-bagikannya dengan teman-teman yang lain yang juga kebetulan masih banyak orang di dalam sana. Seperti biasa, mereka makan bersama bagi yang mau makan saja. Namun, seringnya semuanya makan. Tidak ada yang tidak. Hingga pukul setengah sembilan waktu setempat, tiba-tiba handphone Silvi yang digeletakkan di meja berdering. Ada panggilan video dari mamanya. Tentu saja Silvi tersenyum senang dan menerima panggilan tersebut, agak menjauh dengan semua orang karena posisinya ini kontrakan putri dan yang lesehan makan di ruang apa ya disebutnya, ruang berkumpul mungkin lebih tepat, mereka tidak memakai kerudung semua karena ruangannya tertutup jadi aman. "Hallo, Nak. Kata Mas Aldi, katanya kamu jadi menginap. Coba mama mau lihat tempatnya bagaimana." "Itu mama ada cowoknya nggak? Ini cewek semua, pakai hijab, tapi kebetulan buka kerudung karena habis makan masak-masak tadi." "Cuma mama sendiri, kok. Mas kamu sibuk mantengin handphone ini, disuruh istirahat katanya nanti-nanti terus." Silvi bertanya kepada semua orang lebih dulu kalau mamanya ingin memastikan Silvi berada di mana sekarang. "Mbak sorry, ini mama aku pengen liat teman-teman di sini. Mbak-mbak keberatan apa tidak, ya? Kan pada nggak pakai hijab. Tapi ini cuma mamaku aja. Nggak ada cowoknya." Semua orang seolah sepakat untuk setuju, jadi Silvi mengarahkan kamera depannya ke arah semua orang, agar mamanya bisa menyapa semua teman-temannya yang ada si sana. "Wah ramai sekali." Kata mamanya Silvi. "Nak, tante titip anak tante ya. Semoga tidak merepotkan kalian." Simi yang suaranya paling keras langsung menyahut. "Makasih banyak ya Tante buat bahan makanannya. Ini kami makan dari bahan makanan dari Tante tadi. Bisa hemat pengeluaran, Tan. Alhamdulillah." Silvi senang sekali mendengar interaksi mamanya dengan teman-teman yamg yang lain yang juga kontrak di sana. Kalau begini, Silvi tidak akan dilarang kalau mau menginap di sini lagi. Semoga saja, Silvi tetap diizinkan menginap tidak pada hari ini saja." Hingga Silvi kembali sibuk video call sendiri dan izin masuk kamar lebih dulu karena ini video call dengan kakaknya yaitu Damar. Silvi tidak mungkin mempertontonkan aurat perempuan di depan mata kakaknya sendiri. Karena itu, ketika Kirana masuk ke kamar, Silvi langsung meminta Kirana memakai kerudung. Kirana langsung memakai kerudung instan berwarna hitam dan berjalan ke belakang Silvi untuk mengambil laptop. Namun, ada suara yang begitu Kirana tanpa sadar rindukan terdengar, hingga membuat langkahnya terhenti begitu saja. "Itu Kirana?" suara Pak Damar memenuhi seisi kamar yang membuat Kirana tanpa sadar meringis memegangi dadanya. Ada detak yang tiba-tiba menyakitkan sekali saat sekali lagi mendengar suara Anggi di sana. "Mas Damar, ini dari mama Mas. Aku letakkan di sini, ya." Kalau beberapa waktu yang terlewatkan Kirana hanya mendengar suara. Maka sekarang, Kirana secara langsung melihat Anggi menemani Pak Damar di rumah sakit. Hanya saja, gadis itu tidak sadar kalau yang sedang dihubungi oleh Pak Damar terdapat Kirana di dalamnya. Sementara tatapan Pak Damar pun masih terkunci pada Kirana yang hanya diam, tidak menyahut, juga tidak bergerak sama sekali. "Kirana, saya ingin berbicara sama kamu." Pinta lelaki itu nanar, agaknya terlihat berat hati. Entah kenapa, Kirana juga tidak tahu. Dia lebih memilih menunduk dan melipir pergi. Yang tentu saja membuat Silvi kebingungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD