35. Seperdelapan Jalan

1239 Words
Mau sok merasa tersakiti, Kirana bukan siapa-siapa. Mau sok terlihat baik-baik saja, Kirana juga merasakan nyeri di dadanya, ada semacam rasa tidak nyaman yang membuat dadanya sesak tanpa ada alasan yang jelas. Padahal, Kirana tidak sedang selesai minum kopi ataupun minuman berkafein lainnya. Silvi yang bingung ada apa juga tidak bisa melakukan apa-apa ketika Kirana langsung pergi begitu saja saat kakak pertamanya ingin berbicara. Padahal, Silvi anak psikologi, biasanya dia bisa menganalisis. Hanya saja, kali ini dia mendadak tidak mengerti dengan perilaku yang Kirana lakukan. Namun, dipikirannya yang paling positif, Silvi berpikiran kalau Kirana hanya ingin menjaga pendangan. Karena itu Kirana langsung pamit tanpa berbicara lebih jauh dengan kakak pertamanya itu. "Kirana kenapa tidak mau berbicara dengan, Mas?" Pak Damar bertanya agak berat karena masih mengenakan kateter. "Nggak tau. Mau jaga pandangan kali, Mas. Mas juga aneh-aneh, mau bicara pakai acara video call. Mbak Kirana pasti kagok lah." Tanpa sadar Silvi memutar bola matanya malas. Merasa kalau kakaknya ini payah sekali kalau berinteraksi dengan gadis. Masalahnya, Pak Damar alias kakaknya yang sudah waktunya menikah ini tak kunjung-kunjung juga menikah. Sebagai adik kesayangannya, Silvi jelas tahu kalau Damar belum memiliki kekasih. Makanya Silvi tidak heran bagaimana bisa kakaknya yang cerdas itu mempertanyakan Kirana yang tiba-tiba pergi tadi. "Padahal mas mau bertanya perihal materinya, dia kesulitan atau tidak. Pasalnya selama ini, dia selalu menunggu perintah dari Mas." "Nanti coba aku tanyakan, ya. Mas jangan capek-capek dulu, nggak usah pikiran yang aneh-aneh, istirahat dulu. Tenang aja, pasti aku tanyakan ke Mbak Kirana." Pak Damar lantas pamit yang membuat Silvi buru-buru mencari Kirana. Dan begitu ditilik, benar malah ada Kirana yang duduk santai di lesehan bersama penghuni kontrakan yang lain, sedang memohon tayangan di akhir pekan. "Mbak? Mbak Kirana, bisa bicara sebentar sama, Mbak?" Kirana yang awalnya diam menatap apa yang ditampilkan di TV, lantas tersenyum ke arah Silvi begitu tulus ketika sampai disusul demikian. Karenanya, Silvi tidak keberatan ketika kakaknya hendak membangunkan dirinya tadi mengingatkan kalau dia harus berperilaku lemah dan lembut. "Iya, Vi." Gadis itu baru bertanya ketika sampai di kamar lagi. Hanya saja, tidak sda panggilan apa-apa lagi di dalam sana kecuali suara kipas angin yang berputar paling depan—yang saat itu juga mengingatkan Kirana bahwa Silvi tidak boleh terkena kipas angin, nanti perutnya bermasalah. Karenanya, belum juga Silvi sempat berbicara, Kirana sudah mematikan kipas anggin seperti yang sudah Pak Damar pesankan kepada dirinya. "Mbak kenapa nggak kau berbicara sama Pak Damar, Mbak? Pak Damar tadi ingin bertanya perihal materinya apakah ada yang menyusahkan Mbak Kirana atau tidak." "Maaf, Vi." Sekarang baru terlihat ketika Kirana meminta maaf. "Aku pikir, semalem dia ingin berbicara dengan seseorang, karena itu aku langsung pergi, takut menganggu, tidak enak jadinya. Lagi pula, nanti kamu jadi ke Bandung, kan? Aku jadi ikut atau tidak?" "Oh ya tentu saja jadi, Mbak. Besok pagi habis sarapan kita berangkat, ya?" Kirana mengangguk pasti. "Iya. Besok aku antarkan lagi kalau mau sarapan. Soalnya bahan masakan tadi sudah habis semua." Kedua gadis ini kompak tertawa. Silvi yang sebenarnya masih banyak ingin bertanya.tentang beberapa hal memilih bungkam. Dia tidak mau kalau pertanyaan hanya karena rasa penasaran malah jadi masalah untuk Kirana dan orang lain. "Ya udah yuk, Mbak. Istirahat dulu." "Cuci muka dan sikat gigi dulu." Kirana mengingatkan. Pasalnya pernah sekali dia habis makan coklat dan ketiduran dalam keadaan tidak gosok gigi malamnya, gigi geraham kanannya yang sudah keroak dalam semakin rusak hingga pagi-paginya dia dibuat mengelus d**a karena sakit gigi yang teramat. Kalai di rumah, dia bisa beristirahat dan pasti dilarang oleh ibunya berkerja ini dan itu. Namun jika Kirana di sini, di kota orang seperti sekarang, Kirana tak segan menangis karena begitu merindukan ibunya yang sekarang entah apa di rumahnya sendiri. Harusnya, Bu Ghina sudah istirahat sekarang. "Makasih banyak ya, Mbak Kirana sudah diingatkan. Kalau nggak, bisa-bisa bangun tidur nangis karena udah kebangun lebih dulu karena merasakan sakit. Mereka lantas berpisah sejenak untuk pergi ke kamar mandi secara bergantian. Vivi yang pertama kali, baru Kirana yang mengusul.. Begitu sudah siap untuk tidur semua karena mereka memang sudah melaksanakan salat Isya' dan prepare segala macam yang diperlukan untuk berangkat ke mobil besok, mereka lantas tidur layaknya tidak ada masalah yang menunggangi masing-masing pundak keduanya karena langsung tertidur lelap sekali. Mungkin karena memang sudah sangat kelelahan, makanya jadi seperti itu. Sampai akhirnya sebelum suara adzan Subuh berkumandang, Kirana sudah bangun terlebih dahulu, dia diam beberapa waktu untuk mengumpulkan nyawanya. Begitu terasa genap, Kirana membangunkan Silvi dan juga Nisa yang kebetulan sudah kembali ke kamar karena semalam, Kirana sudah tertidur lebih dulu ketika Nisa kembali dari kamarnya Simi. "Vi, Nis, ayo salat Subuh dulu. Nanti rejekinya dipatok ayam kalo nggak bangun-bangun." Kirana membangunkan kedua gadis itu dengan lembut, seperti biasa dia membangunkan Nisa. Dan tak selang lama, mereka betulan bangun. Tak menunggu waktu lama, mereka langsung siap-siap ke kamar mandi masing-masing, siap-siap untuk cuci muka, wudhu, segala macam. Dan pada pagi hari ini, tidak ada salat berjamaah karena yang biasa jadi imam selain ibu kontrakan—Ibu Wida, tengah menginap di luar. Jadi mereka semua salat sendiri-sendiri. Di kediaman Silvi yang nilai salat berjamaah selalu diutamakan baiknya bagaimana. Ya semacam di kontrakan Ibu Wida ini. Laki-laki salahnya di masjid, bukan di rumah. Selepas salat subuh, dzikir, baca Al-Qur'an, semua orang kembali sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Nisa sibuk mau jalan-jalan keluar, Simi mau mengerjakan tugas sementara Kirana akan menemani Silvi pergi ke Bandung, seperti pesan mama Silvi juga, untuk menjaganya. Mengingatkan Silvi jangan sampai meleng seperti yang terjadi dengan Pak Damar. "Mbak Kirana, sudah siap, Mbak?" Silvi bertanya ketika gadis itu menarik resleting ransel berukuran sedangnya, kemudian fokus ke arah Kirana yang hanya duduk diam memperhatikannya sedari tadi. "Sudah." Katanya dengan tersenyum senang. Silvi jadi meringis tidak enak karena malah Kirana yang harus menunggu lama. Belum lagi kalau mereka sarapan nanti. "Nanti temenin aku sarapan dulu yah, Mbak? Di Morsen lagi. Kalau weekend pagi begini, lagi sepi-sepinya karena orang-orang pada car free day atau (CFD). "Iya, aku juga mau makan juga Vi, soalnya harus minum obat juga biar nggak mabuk perjalanan. "Oalah, siap Mbak. Nanti jangan makan telur ya, telur bisa memicu masuk perjalanan." Silvi memberi tahu yang langsung Kirana angguki. "Makasih ya sudah diingatkan. Kalau nggak, aku pasti udah pesen telur." Mereka lantas melempar senyum tulus satu sams lain. "Mbak Nisa, aku sama Mbak Kirana berangkat dulu, ya. Mbak Nisa hati-hati huntingnya. "Siap lah, kalian hati-hati juga. Nanti kalau sampai Bandung, saling kabar-kabar, ya. Nanti aku bilangin ke Simi juga. Eh gimana kalau kita buat grup w******p?" "Boleh." Jawab Silvi langsung saja. Dia pikir akan lebih mudah menghubungi satu orang dalam satu grup, biar bisa saling berkabar daripada pesan pribadi. Kirana ikut saja karena dia juga tidak punya w******p. Karena itu, Silvi dan Kirana bergegas pergi, untuk menghindari macet juga yang sebenarnya mereka sudah tahu kalau majet sudah terjadi di sepanjang jalan karena acara car free day itu juga. Namun, doa semua orang tetaplah sama. Mereka semua sampai tujuan dengan selamat, tanpa kurang suatu apapun. Kirana dan Silvi pergi ke Morsen dulu untuk sarapan pagi. Kalau tidak butuh minum obat, Kirana sebenarnya tidak mau makan sepagi itu karena dia kebiasaan malah sakit perut. Namun kali ini, dia berniat membantu orang dengan menemani Silvi ke Bandung untuk bertemu dengan keluarganya yang sedang mendapat musibah. Entah Kirana nanti yang malah mabuk dan berkahir menyusahkan, Kirana sudah berpesan kepada Silvi di awal. Jadi, gadis itu juga tidak akan kaget kalau seandainya nanti Kirana tetap mengalami mabuk perjalanan ketika sudah mengonsumsi obat-obatan untuk mencegah mabuk sekalipun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD