Sebut saja kalau Kirana telah melarikan diri dengan tidak terhormat. Begitu mendengar Pak Damar mengatakan Anggi berada di sana, Kirana langsung menyerahkan handphone yang baru dibawanya kepada pemiliknya lagi.
Jelas Silvi yang menerimanya agak kebingungan. Kenapa? tanyanya dalam hati. Namun, Silvi hanya diam mendengar Kirana pamit sebentar. Katanya ingin ke toilet.
"Hallo, Kirana?" suara Pak Damar kembali terdengar.
Silvi yang tentu saja memegang gawainya itu langsung menjawab panggilan kakak pertamanya. "Ini aku, Mas. Mbak Kirana pamit ke toilet sebentar."
"Kalau begitu nanti tolong sampaikan," pinta lelaki itu.
"Apa?"
"Sebentar."
Sudah ditunggu mau mengatakan apa, sambungan telfonnya malah terputus. Silvi malah tak habis pada pikir sendiri. Sampai akhirnya Kirana kembali ke mobil dengan wajah yang terlihat lebih tenang.
"Maaf ya, Vi. Tadi sudah ndak tahan."
"Santai aja, Mbak. Pak Damar juga aneh, katanya diminta untuk menyampaikan sesuatu malah sambungannya terputus sampai sekarang."
Kirana mengangguk mengerti, "Mungkin beliau menghubungi ketua kelasku. Biasanya ketua kelas juga dihubungi."
"Oh iya, Mbak? Besok kan weekend nih, gimana kalau Mbak ikut aku ke Bandung? Besok aku mau ke sana. Aku kesepian cuma ada Mas nomor dua, iseng banget orangnya, suka nakut-nakutin."
Kirana tidak menjawab dibagian tawaran Silvi untuk pergi ke Bandung, tapi dia malah merespon untuk kekhawatiran Silvi. "Kalau kamu bersedia, menginap saja di sini daripada di rumah takut sendirian."
"Wah, beneran Mbak? Aku mau bilang mama deh kalau mau menginap, nanti aku dikira ilang kalau nggak ada di rumah.
"Iya, Vi. Kalau weekend di sini ramai, suka makan bersama hari Jumat. Jumat berkah. Ya tapi seadanya ya, nggak bisa request, kecuali memang ada barangnya. Nanti dimasak bareng-bareng yang endingnya jadi malam sabtu, Jumat-nya sudah selesai."
Silvi jadi tertawa. Dia mahklum karenaw hari Jumat juga hari kerja, jadi pastilah orang sibuk dengan urusannya masing-masing. "Nggak papa, Mbak. Nanti coba deh aku tanya sama Bibi yang di rumah, nanti kalau ada bahan makanan di kulkas, daripada nanti keburu jelek karena kelamaan nggak dimasak, lebih baik buat kita masak-masak nanti."
"Eh, ndak papa to, Vi? Ndak usah, nanti malah merepotkan. Di kulkas kontrakan ada kok, nanti kalau kekurangan beli sebentar di luar."
Silvi hanya tersenyum seraya menepuk paha Kirana perlahan. "Nggak papa, Mbak. Mama suka tandon sayur, jadi banyak di kulkas. Apalagi mama masih nunggu di Bandung, jadi Bibi di rumah masak sedikit-sedikit. Daripada nggak kepake kan mubazir. Mbak nggak mau, ya?"
Kirana malah jadi tidak enak sendiri. "Bukannya tidak mau, Vi. Tapi ndan enak kalau sampai merepotkan kamu. Itu kan barang masakan di rumah kalian, masak di bawa ke kontrakanku. Nanti kalau dicari bagaimana? Terus, kamu juga belum dapat izin untuk menginap, kan?"
Tentu saja Silvi paham maksud baik Kirana, karena itu langsung menelfon mamanya agar Kirana juga lega, tidak berpikir yang tidak-tidak.
"Hallo, Ma?"
Lhah, Kirana malah terkejut Silvi sedang melakukan panggilan telfon. Kirana kira, Silvi tadi memainkan gawainya saja. Kalau seperti ini, Kirana semakin tidak enak hati.
"Iya Sayang, ada apa?" suara lembut langsung bersambut dari seberang sana.
"Gini, Ma. Masih ingat sama perempuan yang diminta Mas Damar aku cari, kan? Nah aku udah ketemu beberapakali waktu yang. Besok kan libur, aku kau menginap dikontrakkan dia, sama besok pagi mau jenguk Mas Damar, cuma aku sama Mbak Kirana, boleh apa tidak, Ma? Tadi aku udah bilang kalau nggak papa, tapi Mbak Kirana bilang nggak enak terus, takut menganggi."
"Oh, ya tidak apa-apa. Ajak ke sini saja. Mama juga ingin bertemu dengan gadis yang sudah membantu kakak kamu."
"Satu lagi, Ma. Nanti malam aku ada rencana menginap di kontrakan Mbak Kirana. Sama mau minta bahan makanan yang ada di kulkas ya Ma, buat makan bareng nanti di sana. Boleh kan, Ma?"
"Kontrakannya mana? Tanya Mas Aldi dulu, aman nggak di sana? Kalau banyak anak cowoknya, nggak usah nginep. Tidur di rumah. Kalau mau pergi ke Bandung besok, itu Mbaknya diajak aja nggak papa. Bahan makanannya kalau mau dibuat untuk masak-masak ya nggak papa juga. Biar nggak mubazir."
"Kalau aku telfon Mas Aldi bilangannya aman, aku nginep tapi ya? Aku susah di rumah sendirian."
"Iya, Vi. Pastikan dulu lingkungannya aman atau tidak, kalau tidak. Jangan. Tidur di rumah. Anak perempuan nggak boleh asal menginap di tempat orang tau."
Silvi mengembuskan napas pelan. "Iyaaaa. Makasih ya, Ma. I love you."
"Sama-sama, Sayang. Yang bener sekolahnya. Hati-hati. I love you too, Vi."
Usai menyudahi sambungan telfonnya, Silvi menatap Kirana gembira. "Tuh, nggak papa kan, Mbak? Aku tinggal memastikan sama Mas Aldi dulu, kalau nggak, nanti dia kena marah mama papa kalau aku nggak ada di rumah."
Kirana tersenyum, dia bisa membayangkan itu. Dirinya yang anak tunggal, putri satu-satunya. Sementara Vivi anak terakhir dari empat berdarah dan putri satu-satunya. Pastilah kasih sayang satu keluarga tercurahkan kepada Silvi semua sebagai anak bontot.
"Minta alamat kontrakannya dong, Mbak. Mau aku kirim ke Mas Aldi, biar dicek dulu. Aman apa nggak."
Dasarnya Kirana memang tidak memilki pikiran negatif, langsung saja memberikan alamat kontrakannya. Selama ini, yang suka menganggu ketika lewat itu di depan jalan besar, bukan di g**g tempatnya mengontrak bersama teman-teman yang lain. Kalau merasa terganggu dan tidak nyaman, sudah pindah dari dulu mereka.
"Memangnya, Mas mu bisa tau tempat ini aman atau tidak dari mana, Vi?"
"Mas Aldi polisi, Mbak. Udah hapal sampai katam tempat-tempat yang banyak orang yang suka ganggu kayak gitu."
"Oalah, pantas saja." Kirana mengangguk mengerti. Kalau begitu, sudah tidak diragukan lagi. "Kalau begitu, kebetulan sekali, Vi. Sekalian saja kalau seandainya ada yang tidak beres di sekitar kontrakan ku, biar diberantas oleh Mas mu."
"Boleh-boleh. Aku tanyakan dulu, ya. Tapi semoga aja sih memang daerah aman. Jadi, Mbak Kirana juga nggak perlu khawatir."
Melihat ketulusan di wajah Silvi, Kirana sangat bersyukur sekali. Dan semoga saja, memang lingkungan kontrakannya aman sehingga dia dan teman-temannya tidak perlu berpikir untuk pindah lokasi kontrakan.
Benar saja, Kirana hanya diam menyimak ketika Silvi berbincang santai dengan kakak keduanya yang katanya polisi itu. Dari pembicaraan mereka, Kirana menangkap kalau daerahnya aman. Hanya saja, memang di jalan besar itu yang katanya banyak anak suka tongkrongan. Namun, kalau di titik kontrakan Kirana, memang aman. Dan kakaknya pun mengizinkan Vivi menginap di sana. Nanti juga kakaknya itu sendiri yang mengizinkan pada mamanya kalau Vivi akan menginap di sana.
"Makasih Mas Aldi sayangku. Nanti aku bilang Mbak Fara deh, kalau mas ku yang paling ganteng ini baik sekali."
Kirana hanya menunduk, memainkan jemarinya. Tiba-tiba saja, dia ingat figur seorang ayah yang kasih sayangnya tak pernah dirinya dapatkan.
"Tuh kan Mbak, boleh." Vivi berkata begitu ceria yang langsung Kirana balas dengan senyum sama tulusnya.
"Iya, Vi. Nanti kita tidur bareng-bareng." Tawanya.
"Oh iya, Mbak sudah sarapan belum? Aku belum sarapan tadi. Temani aku ya, Mbak?"
"Boleh." Kirana langsung mengangguk saja.
"Siap, makasih ya, Mbak."
Karena sudah mendapatkan persetujuan juga, Vivi langsung menyalakan mobilnya dan langsung pergi menuju tempat tujuan. Vivi suka pergi ke Morsen cabang Depok kalau pagi-pagi mamanya tidak sempat masak. Bibi yang di rumah juga tugasnya hanya bersih-bersih, jadi Vivi suka sarapan di sana. Dia juga punya mag, kalau dibiarkan tidak sarapan, bisa bermasalah perutnya.
Begitu sampaikan di Morsen yang tidak terlalu ramai, Vivi tanya terlebih dahulu dengan Kirana. "Mbak, Mbak Kirana tidak sedang berpuasa, kan?"
"Ndak, Vi. Sarapan saja."
"Sarapan lagi deh, Mbak. Biar aku ada temannya."
Kirana hanya tersenyum agar Silvi juga tidak merasa tak enak hati. "Nanti aku pesan minum untuk menemani kamu sarapan."
"Yeyy, makasih ya, Mbak. Sayang Mbak Kirana banyak-banyak."
"Eh, apa Vi?" Kirana memekik tatkala Silvi memeluknya senang sekali sampai membuat Kirana kebingungan sendiri.
Gadis manis itu melepaskan pelukannya dari Kirana, lantas menatapnya dengan mata berbinar. "Aku tuh nggak punya kakak perempuan, Mbak. Jadi tuh kalau ada teman perempuan yang baik, suka baper. Jadi pengen punya kakak perempuan. Adek Mbak Kirana pasti sayang sekali sama Mbak."
Kirana hanya tersenyum, lantas menggeleng. "Mbak anak tunggal, Vi."
"Wow, iyakah?" Silvi nampak terkejut. "Aku empat bersaudara aja merasa kesepian. Gimana kalau kita jadi adik kakak saja, Mbak? Aku jadi adik perempuan Mbak, Mbak Kirana jadi kakak perempuan ku. Bagaimana?"
"Boleh, Mbak juga kadang merasa sepi. Tapi alhamdulilah sekali ada Ibuk yang selalu membuat aku nggak kesepian."
Mereka lantas berpelukan, senang sekali. Akhirnya bisa mendapat saudara baru dilandasi dengan keikhlasan yang murni.