36. Bertemu Pak Damar

1644 Words
Butuh waktu dua jam setengah atau paling tidak tiga jam dari depok ke Bandung. Tentu saja Silvi yang menyetir dan Kirana selalu mengajaknya berbicara di perjalanan karena ingat pesan mamanya Silvi kalau gadis itu suka mengantuk saat mengendarai kendaraan. Kirana malah jadi ingat sepanjang perjalanan. Silvi bilang kan satu mobil dengan Pak Damar waktu kecelakaan, apa mungkin Silvi yang menyetir sehingga bisa kecelakaan seperti itu? ‘Astagfirullah haladzim, mikir apa aku? Bisa-bisanya mikir negatif seperti itu.’ Kirana menggeleng pelan saat pikirannya mulai berpikir yang tidak-tidak. Kalaupun memang benar seperti itu, Silvi juga pasti tidak sengaja. Mana ada adik yang ingin mencelakai kakaknya sendiri kalau tidak kasus perebutan harta? Zaman sekarang banyak sekali yang seperti itu. Sampai tiga jam lebih yang mereka tempuh karena harus melewati kemacetan setelah keluar dari tol membuat kedua gadis yang berada di mobil itu saling bertukar cerita. Banyak yang mereka ceritakan satu sama lain, terutama tentang kehidupan di rumah. Silvi yang paling senang bercerita karena ketiga kakaknya laki-laki semua dan jarang ada yang bisa mengerti dirinya kecuali Pak Damar. Karena kajadian itu, Silvi jadi kesepian karena Pak Damar yang paling sering di rumah—yang bepergian hanya setiap weekend saja—sekarang malah dirawat di Bandung, belum boleh pulang juga sampai sekarang. “Kakaku yang nomer 3 Mbak, dia kan anak hukum, lagi sibuk magang 2 tahun di LBH, katanya mau mengabdi suka rela.” “Wah, bagus dong. Aku dulu cuma 6 bulan. Dan rasanya kurang. Magang sampai 2 tahun pasti banyak sekali pengalamannya dalam menghadapi kasus-kasus dalam masyarakat. “Iya.” Silvi belok ke kanan setelah menyalakan lampu sentnya. Sebentar lagi dia akan sampai, paling kurang seperempat menit lagi kalau tidak ada macet di jalan. Begini kalau berangkat pagi waktu liburan. Jalanan penuh. Mau pergi malam apalagi, sama penuhnya, tidak ada yang bisa dipilih. Kemudian, Silvi melanjutkan ceritanya lagi. “Tapi kadang Mas Dika cerita kalau ngeri juga Mbak waktu ada bentrok antar warga. Kan masyarakat kita masih banyak yang kurang tau tentang hukum dan pasal-pasalnya, jadi juga butuh pendalaman dalam memahami masyarakat. Aku yang anak psikologi murni aja sering tanya sama Mas Dika tentang psikologi hukum, itu benar-benar ngerubah pola pikir aku yang dulunya nggak pedulian sama orang lain. Tapi, sampai sekarang masih gitu juga sih.” Kirana tersenyum saat Silvi menertawakan dirinya sendiri bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja, Kirana hampir sama dengan Silvi yang sering kali tidak bisa menunjukkan kepeduliannya kepada orang lain. Sebenarnya, mereka peduli, sangat peduli. Hanya saja, memang tidak bisa seterbuka itu. Anak introvert pasti sudah biasa menghadapi hal seperti ini. Kadang kala berhasil, kadang kala pula malah dipandang aneh saat peduli dengan orang lain padahal tindakannya tidak ada yang salah. “Vi, itu ya rumah sakitnya?” Kirana menunjuk bangunan megah yang dominan warna putih, dan juga ada sedikit warna hijaunya. Karena memang benar, Silvi langsung saja mengangguk—dan, jantung Kirana malah berdetak tidak karuan. Dia merasa khawatir dan gugup sekali kalau sampai bertemu Pak Damar. Karena itu Kirana sampai mengambil tisu di dashboar setelah izin terlebih dahulu dengan Silvi. “Vi, aku minta tisu, ya.” Kirana izin begitu sopan. Sementara Silvi juga mempersilakan begitu baik. “Ya, ambil aja, Mbak.” Namun, Silvi yang memang melihat Kirana agak sedikit bingung karena melihat tangan Kirana yang seperti berkilauan terkena minya. Padahal, dia tidak menyimpan sesuatu yang berminyak di dalam mobilnya. “Mbak, tangan Mbak Kirana kenapa kayak gitu?” “Oh, ini?” Kirana yang tadinya fokus melihat jalan jadi menunduk mengamati tangannya. “Kalau Bahasa Jawa, di rumahku sering disebut ngelumes, tangannya berkeringat.” “Aku kira kena minyak sampai blink-blink gitu. Aku ada temen dan tangannya kayak Mbak Kirana gitu, punya kelainan jantung dia.” “Aku nggak ada kelainan jantung, Vi. Memang begini tagannya.” “Berarti nggak semua orang yang tangannya gitu punya penyakit jantung kan ya, Mbak. Kakakku yang Mas Dika itu, dia juga suka berkeringat tangannya, tapi kata Mama, Kak Dika suka infeksi paru waktu kecil, batuk terus-terusan, nggak boleh berhenti minum obat sampai 6 bulan kalo nggak salah.” “Aku kalo kecil nggak inget, Vi. Nggak pernah tanya juga ke Ibuk. Tapi sepertinya aku sehat-sehat saja. Cuma ada asam lambung saja yang kadang kala kambuh.” “Tetap bersyukur ya Mbak kita, aku yang nggak punya penyakit apa-apa bersyukur sekali.” “Iya, Alhamdulillah pokoknya, apapun yang diberi Allah harus diyukuri.” Saking serunya membahas singkat mulai dari hukum dan kesehatan, akhirnya mereka sampai juga di parkiran rumah sakit. Kirana tersenyum senang karena akhirnya bisa keluar juga dari dalam mobil. Perutnya sudah mual sedari tadi, tapi untungnya bisa ditahan sehingga tidak khawatir akan muntah di mobil mewah Silvi. “Ayo, Mbak.” Kirana tidak bisa tidak tersenyum saat Silvi keluar dari dalam mobil yang menghampiri dan menggandeng tangannya. Bergandengan seperti ini dengan Anggi, Nisa dan Simi adalah hal yang biasa. Namun dengan Silvi yang anak orang kaya, kakaknya orang-orang bergelar juga, tiba-tiba Kirana merasa tidak pantas berkumpul dengan orang seperti Silvi. Entah kenapa akhir-akhir ini pikiran Kirana kacau sekali. Mungkin karena efek mendekati tanggal merah—maksudnya tanggal yang biasa dia mentruasi, makanya jadi overthingking seperti ini. “Mbak, kepala pusing, wajah Mbak pucat sekali.” Silvi memegangi tangan Kirana erat saat merasa tangan perempuan itu dingin sekali, wajahnya juga pucat. “Aku mabuk, Vi. Aku ke toilet sebentar, ya?” “Ayo Mbak, aku antar.” Dengan berjalan santai—tapi juga terjesan terburu-buru, Silvi membawa Kirana ke kamar mandi terdekat yang memang dirinya ketahui. Sekarang Silvi mengerti kenapa tangan Kirana bisa seperti tadi, pasti karena menahan sakit—pikirnya. Silvi jadi tidak enak hati—niat hati ingin minta tolong ditemani, pada akhirnya malah dirinya ikut menyusahkan Kirana juga. “Maaf ya Mbak, gara-gara mau menemani aku malah jadi mabuk begini.” “Ndak papa, Vi. Santai saja. Nanti kalau sudah tidur, pasti pulih sendiri. Karena Kirana sudah muntah juga dan katanya sudah lebih baik, Silvi segera menuju ruang rawat kakaknya, biar Kirana juga bisa istirahat. Silvi tidak tega melihat wajah Kirana yang pucat sekali. Padahal perjalanan tadi sekitar tiga jaman, tapi dalam kurun waktu itu, Kirana tidak kuat. Tak lama berselang, akhirnya mereka sampai juga di ruangan Pak Damar. Silvi yang terlalu senang melihat kakak pertamanya sudah lebih baik dari keadaan pertama awal kecelakaan itu merasa lebih lega dan malah melupakan kalau teman yang diajaknya, alias Kiran sedang tidak enak badannya. "Mas Damar!" gadis itu mendekat ke arah Pak Damar, tanpa rasa malu mencium pipi kakak pertamanya itu. Karena seperti yang dibilang tadi, Silvi memang paling dekat dengan Pak Damar. "Keadaannya bagaimana, Mas, sudah lebih baik?" "Alhamdulillah," jawab Pak Damar senang. Setelah sesi meleas rindu itu selesai, Pak Damar baru sadar kalau ada gadis yang sedari tadi berdiri diambang pintu, tubuhnya sudah bersandar sempurna di pintu yang tertututp. Ibunya Pak Damar pun tidak sadar kalau ada tamu yang datang, padahal beliau sudah diberitahu Silvi sebelumnya kalau akan mengajak temannya yang tak lain adalah mahasiswi dari Pak Damar sendiri. "Kirana?" Silvi melepas pelukan, kemudian dia memandang Pak Damar, lalu melihat ke arah Kirana yang nampak lesu. "Ya Allah aku sampai lupa. Mbak Kirana tadi mabuk, Mas." Buru-buru Silvi menjauh dari Pak Damar dan menghampiri Kirana, hingga mamanya juga baru sadar saat Silvi berbicara. "Kamu itu bagaimana sih, Vi? Temannya sakit malah disuruh berdiri. Mama nggak sadar kalau ada orang di depan pintu sedari tadi." Gadis itu hanya meringis saat ditegur mamanya. Dia langsung menuju kamar mandi, menemani Kirana yang muntah-muntah sampai sesak napas. Untung Silvi ada di sana dan bisa membantu. "Kalau gini, aku jadi takut ngajak Mbak Kirana lagi naik mobil. Gaampang banget ya Mbak mabuknya. Padahal tadi sudah minum obat juga, tapi tetap saja mabuk." "Aku cocoknya naik mobil bak terbuka Vi. Orang aku berdiri di samping mobil aja kepalaku udah pusing duluan, mual." Ingin menertawakan, takut dosa. Karena itu, Silvi meminta Kirana untuk menemui keluarganya lagi, sekalian juga kalau Kirana ingin istirahat. Kasihan juga badannya sampai lemas seperti itu. "Tadi mabuk perjalanan, Na?" Kirana tidak sengaja menoleh saat Pak Damar berujar demikian sehingga mereka berdua malah berakhir saling pandang satu sama lain. Namun, bukannya Kirana yang menjawab, justri Silvi yang mempertanyakan kakaknya karena tadi sepertinya Silvi sudah mengatakan kalau Kirana mabuk perjalanan. "Kan tadi udah aku kasih tau, Mas." "Masak?" Pak Damar yang duduk selonjoran di atas ranjang rawat sudah beralih menatap adiknya. "Iyaa. Mas Damar nggak nyemak ihhh." Pak Damar tersenyum kecil melihat adik bontotnya merajuk. "Istirahat saja, Na. Tiduran dulu." nasihatnya. "Iya Nak, sini tiduran di samping Tante." Mamanya Silvi juga menawarkan hal demikian. Dasarnya Kirana juga sudah lesu juga, akhirnya dia istirahat di samping mamanya Pak Damar yang Kirana lupa namanya siapa. Yang pasti, Kirana merasa nyaman sekali ketika matanya terpejam lalu merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. Tanpa sadar, Kirana benar tertidur dengan begitu nyenyaknya. "Kayaknya sakit banget ya, Vi? Wajahnya sampai pucet banget itu." Tidak hanya Silvi yang mengamati, Pak Damar yang masih di ranjang juga ikut mengamati wajah lelah Kirana. Jangankan tiga jam dari Depok ke Bandung. Dari kampus ke kost Anggi saja dulu Kirana sudah mabuk. Pak Damar jelas tidak terkejut. Namun yang pasti, bagi semua orang Kirana bisa tertidur jadi lebih baik. Jadinya gadis itu tidak perlu menahan sakit lagi. Semoga saja setelah bangun tidur nanti keadaannya sudah jauh lebih baik. "Lain kali, jendelanya buka Vi kalau mengajak Kirana pergi. Mas pernah mengantar dulu, tidak terlalu jauh, dia juga muntah-muntah. Mungkin sampai pucat seperti itu karena menahan mual sedari tadi, tapi tidak enak mau bilang karena kamu nggak bawa plastik." Silvi mengangguk membenarkan. "Iya Mas, lain kali mau aku ajak naik motor saja atau pick upnya Papa biar Mbak Kirana tidak perlu merasa tersiksa lagi seperti ini. Mama dan kakaknya malah tertawa mendengar perkataannya seperti itu. Padahal, Silvi serius dan tidak sedang bercanda. Sementara Pak Damar, dia kembali melirik ke arah Kirana sebentar sebelum akhirnya tidur kembali karena kepalanya malah mendadak pusing, kebanyakan tertawa saat Silvi bersama Kirana datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD