Mimpi Kirana begitu indah sekali, ketika matanya melihat sosok bapak sosok ayah yang sangat dirinya rindukan selama ini. Namun sayang, mimpi hanyalah bunga tidur meskipun terkadang mimpi bisa menjadi sebuah pertanda.
Yang gadis itu tahu, dia terkejut ketika membuka mata orang-orang menatapnya panik.
"Mbak Kirana?!"
Suara itu. Suara Silvi. Kirana langsung saja menoleh menuju ke sumber suara. Begitu ditilik, dia makin terkejut saat menyadari satu hal. "Kamu kenapa nangis, Vi?"
Belum ada sahutan karena Silvi terus saja menangis. Lalu Kirana melihat sekitar dan tak mendapati apa-apa selain Pak Damar yang memperhatikan Silvi.
Refleks, kedua tangan Kirana langsung menyentuh kepalanya dan ada perasaan yang begitu lega ketika kerudungnya tidak pergi kemana-mana.
Karena Kirana juga sudah selesai dengan kekhawatirannya sendiri, dia berupaya menenangkan Silvi yang masih asyik saja menangis.
"Silvi kamu kenapa, to?"
"Mbak Kirana lhohhh!" tangisan gadis itu malah makin menjadi. "Mbak tadi manggil-manggil bapak. Aku bangunkan tidak bangun-bangun malah menangis. Malah sekarang sudah bangun tapi aku tidak tidak bisa berhenti menangis."
Kirana hanya tersenyum kecil, tangannya mengusap punggung gadis itu pelan. "Aku ndak papa, kok. Kata Ibuk sama temen-temen, aku memang suka ngelindur orangnya.
"Aku telfonkan Bapak Mbak, ya? Mbak Kirana kangen sama Bapak?"
Entah ekspresi seperti apa yang bisa Kirana tunjukkan pada Silvi di waktu sekarang ini. Dia tidak mau terlalu terbuka dengan orang yang baru dirinya kenal, tapi Silvi begitu baik kepada dirinya, sampai ikut menangis hanya gara-gara Kirana mengigau sambil menangis mencari bapaknya.
"Mbak?" Silvi memanggil lagi, kian menuntut, bahkan tangisannya makin kencang. Padahal, Kirana sudah terbangun dari tidur lelapnya.
"Aku nggak tau Bapak di mana, Vi."
"Lhoh, gimana ceritanya kok nggak tau?"
"Vivi!" Damar menegur karena apa yang Silvi tanyakan tidaklah tepat. Karena itu Silvi cepat-cepat meminta maaf. Dia tidak ada maksud untuk menyakiti hati Kirana dengan bertanya demikian. Silvi bertanya karena murni khawatir.
"Maaf, Mbak."
Kirana hanya tersenyum. "Ndak apa-apa, kok. Sudah, kamu tenang saja."
Meksipun Kirana sudah meminta Silvi untuk tenang, tetap saja Silvi tidak bisa. Dia mendadak jadi trauma karena melihat Kirana menangis dalam tidurnya. Untuk pertama kalinya Silvi melihat orang menangis dalam tidur seperti itu. Dan karena kejadian ini pula, Silvi tahu kalau dia tidak salah jurusan. Berada di Fakultas Psikologi memang tujuannya.
Pak Damar yang sedari tadi memperhatikan langsung berpaling menatap dinding saat Kirana dan Silvi kembali berbincang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa karena memang tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Hingga waktu yang tak terduga, pintu ruangan rawat Pak Damar terbuka, fokus semua orang langsung tertuju ke arah pintu. Begitu melihat gadis cantik yang masuk ke ruangan itu, tiba-tiba Kirana ingin menghilang dari muka bumi secepat yang dia bisa.
"Assalamualaikum, Pak Damar."
"Wa'alaikumsalam." Jawab ketiga orang di sana.
Saat gadis yang tak lain adalah Anggi ini menoleh ke arah sopa yang biasa dia duduki akhir-akhir ini, matanya membola melihat kehadiran Kirana di sana.
"Kirana?" gumamnya kebingungan, kakinya tanpa sadar sudah mendekat ke arah sopa "Kamu kenapa bisa ada di sini? Pergi sama siapa?"
Karena Kirana belum menjawab, Anggi menoleh ke arah Silvi, yang memang Anggi tahu dia a adalah adik terkecil Pak Damar karena sudah ditunjukkan fotonya oleh mamanya Pak Damar.
"Na?" Anggi sekali lagi memanggil yang baru mendapat sahutan.
"Oh iya, Nggi."
Anggi kembali menoleh ke arah Silvi sejenak sebelum akhirnya melihat ke arah Kirana kembali. "Ada urusan sama Pak Damar juga, ya? Kamu sejak kapan ada di sini?"
Kirana tidak tahu. Namun yang pasti, dia merasa kalau perkataan Anggi tidak enak ditujukan untuknya
Bukannya Kirana yang menjawab, justru Silvi yang langsung mewakilkan Kirana untuk menjawab. "Justru saya yang tanya sama kamu. Kamu itu siapa, kenapa bisa masuk ke ruangan saya tanpa izin. Terus Sampai-sampai, malah mengintrogasi Mbak Kirana."
"Silvi?" Kirana langsung menepuk punggung tangan Silvi pelan, bermaksud untuk membuat gadis itu agar tidak berbicara yang tidak-tidak. Kemudian, Kirana tengadah menatap Anggi yang masih berdiri dengan tersenyum. "Aku nemenin Silvi ke Bandung, Nggi. Biar ada temennya."
"Oh." Hanya sesingkat itu balasan yang Anggi berikan. Agaknya memang tidak suka dengan apa yang baru saja didengar. Anggi tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.
Kirana yang kadang peka, kadang tidak bisa memahami. Yang dia tahu, Anggi menyukai Pak Damar, bahkan sudah mengatakan kalau jatuh cinta, bukan sekadar kagum semata.
"Mbak ini siapa, sih?" Silvi kembali bertanya pada Anggi, terlihat agak tidak suka.
Dengan senyuman manis, Anggi mengulurkan tangannya kepada Silvi. "Aku Anggika Quraisy."
Silvi menerima jabatan tangan itu biasa saja. "Ngapain di sini, Mbak?" tanyanya lagi. "Kenal sama Mbak Kirana?"
"Anggi kan sahabatku dari dulu, Vi. Kita dari Jogja." Kirana memberi tahu.
"Pantes aja kok udah kenal." Gumam Silvi pelan. "Lah Mbak Anggi kok bisa ada di sini, mahasiswinya Pak Damar juga?"
"Bukan, aku anak kedokteran gigi."
Silvi hanya manggut-manggut, terlihat tidak tertarik sama sekali. "Terus kenapa di sini, Mbak? Bukannya anak kedokteran sibuknya minta ampun, ya."
"Aku udah di sini dari tiga hari yang lalu, kok."
Jelas saja kan kalau Silvi masih bertanya. "Ngapain, Mbak?"
"Kebetulan mama papaku kenal dengan mama papa kamu, sekalian aja mau kenalan."
"Aku kira apa. Sini Mbak, duduk." Silvi baru mempersilahkan. Sementara Kirana sudah menurunkan kakinya ke lantai.
Pak Damar yang agak tidak nyaman dengan kedatangan tiga orang itu ke dalam kamarnya di waktu yang bersamaan, hanya kembali rebahan, menutup matanya.
"Mama dan Papa kamu masih di sini, Nggi?"
"Hm, lagi cari makan dengan mama papanya Pak Damar."
Kirana langsung menunduk setelah mendapatkan jawaban seperti itu. Dari cara bicara Anggi kepadanya, Kirana yakin kalau Anggi tidak suka dengan keberadaannya di sini. Apalagi nanti malah dia juga akan berencana menginap seperti yang sudah Silvi katakan kepadanya waktu lalu. Namun, melihat wajah Anggi yang dingin sekali, Kirana tahu benar kalau Anggi tidak menyukai kehadirannya sendiri.
Sampai tak lama, dua orang ibu-ibu masuk. Beliau adalah mamanya Pak Damar, juga mamanya Anggi. Dasarnya ibunya Anggi sudah mengenal Kirana dengan baik tentu saja langsung menyapa gadis itu begitu senang.
"Lhoh Kirana, kamu kok ada di sini to, Nduk? Menjenguk Pak Damar juga? Anggi bilang kalau kamu mahasiswinya Pak Damar."
"Nggih, Buk."
"Kamu kenal dia? Dia yang menemani Vivi di Depok habis kecelakaan ini. Untung Vivi ada temennya. Kalau tidak, bisa menangis dia kalau ditinggal sendiri sama mas-masnya yang lain."
"Wah, dunia sempit sekali." Kata ibunya Anggi.
Jujur, Kirana sudah ingin izin kembali ke Depok saja. Namun, ini sudah sore, sebentar lagi pasti malam juga. Kirana belum tahu daerah di sini bagaimana. Juga nanti bisa sampai Depok bagaimana? Selain itu, dia juga terikat janji. Namun masalahnya, wajah masam Anggi membuat Kirana takut kalau gadis itu salah paham kepadanya. Karena memang, sedari tadi hanya dirinya yang diajak Silvi bicara, sementara Anggi dibiarkan, tidak diajak berbicara sana sekali.
Oh ayolah, Kirana tahu kalau ingin berbicara ataupun tetap diam itu hak setiap orang. Namun, berada di kondisi seperti ini juga tidak mengenakkan. Kirana rasa Anggi cemburu dengannya karena adik dari laki-laki yang dirinya sukai malah kenal lebih dulu kenal dengan baik kepada Kirana, bukan dirinya.
Karena itu, Kirana mencoba peruntungan untuk mengajak Anggi berbicara. Semoga saja rasa itu hanya sebatas prasangka yang tidak benar. Kirana sungguh tidak ingin kalau persahabatannya dengan Anggi sampai rusak hanya karena masalah dengan seorang lelaki. Kirana tidak mau kalau itu sampai terjadi.
"Anggi?"
"Kamu kenapa sih pegang-pegang?"
Bukan hanya Kirana yang terkejut. Semua orang pun terkejut mendengar pekikan Anggi karena perbuatan Kirana barusan. Dan sekarang, Kirana sudah mendapatkan jawabannya. Anggi memang marah karena dirinya bisa berada di sini, lebih tepatnya fakta bahwa Silvi, adik Pak Damar lebih dekat dengan Kirana daripada dirinya. Dan karena itu semua, jelas sudah kalau Anggi iri.