Menurut berita yang beredar, keadaannya Pak Damar sudah lebih baik dari sebelumnya. Beliau yang awalnya di ICU, sekarang sudah dipindahkan ke dalam ruang rawat biasa. Namun, memang berita yang mengatakan bahwa Pak Damar akan dipindahkan ke Depok tidak direalisasikan karena mempertimbangkan kondisi Pak Damar. Jadi, Pak Damar akan kembali ke Depok, alias kembali ke rumah keluarganya setelah menunggu keadaannya stabil dulu.
Kirana lesu akhir-akhir ini. Dia jadi tidak bersemangat melakukan apapun semenjak mendapatkan pesan dari Anggi tentang Pak Damar. Keesokan paginya, Anggi juga tidak segan melaporkan keadaan Pak Damar kepada Kirana. Dan yang membuat Kirana tak habis pikir, waktu-waktu itu bukanlah waktu libur, bagaimana mungkin Anggi meninggalkan kuliahnya. Dia paling anti absen dalam kelas. Kalaupun sampai absen, itu pasti karena sakit yang tidak bisa membuatnya berdiri dengan benar kecuali berpegangan pada dinding atau sesuatu karena ingin tumbang.
Namun sekali lagi, karena mengingat kalau dirinya juga bukan siapa-siapa, Kirana berupaya untuk melupakan kejadian itu. Sebagai sahabat, Kirana hanya mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya. Kirana akan turut bahagia dengan pencapaian yang sahabatnya terima. Entah dalam urusan, pendidikan maupun pernikahannya kelak. Hanya doa yang bisa Kirana berikan sebagai hadiah terbaik yang bisa dia berikan.
Yang membuat Kirana akhir-akhir ini karena interaksinya dengan Silvi lewat SMS ataupun media email. Mereka malah suka mengirim pesan lewat email layaknya orang penting yang saling berbalas pesan. Tidak apa-apa, toh hitung-hitung sebagai latihan kerja, biar Kirana tidak terkejut saat mulai bekerja nanti. Ini juga termasuk Kirana bekerja dalam tekanan karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sementara tugas selalu saja datang silih berganti, belum lagi urusan organisasinya dimana gadis itu menjabat sebagai seorang penasihat yang tentu saja masukan-masukannya sangat dinantikan oleh adik-adiknya yang tengah menjabat pada periode ini. Ada tambahan, Pak Damar yang seakan-akan mengacaukan isi kepalanya.
"Ya Allah kenapa aku memikirkan Pak Damar terus?" Kirana geleng-geleng serya memijat matanya yang terasa berat. Tadi, dia tertidur pukul tiga dini hari karena mengejar laporan yang ditugaskan oleh Pak Damar, dan lagi-lagi Kirana yang ditugaskan untuk mengumpulkan semua tugas teman-temannya menjadi satu.
Kirana bersyukur sekali karena Pak Damar sudah menyiapkan materinya berikut soal-soal. Dengan begitu, dia tinggal menyampaikan materi yang diberikan Silvi setiap minggunya dan menunggu tugas sampai disetujui dulu baru boleh diberikan kepada anak kelasnya.
Hingga tak ada angin tak ada hujan, Kirana yang sedang memegangi helm di luar sambil menjaga kedua motor temannya, mobil putih itu lagi tiba-tiba datang di depan kontrakannya.
Sebenarnya Kirana masih ingat mobil Silvi, hanya saja takut salah. Bisa saja kan kalau plat nomor kendaraan sama. Karena itu, Kirana tetap di tempatnya, tidak beranjak kemana-mana.
"Mbak Kirana?" perempuan yang berada di dalam mobil itu melambaikan tangan begitu senangnya, menyapa Kirana yang masih berdiri seperti patung Pancoran menjaga motor.
"Mbak Kirana?" Silvi mengulangi panggilannya lagi. "Masih ingat aku kan, Mbak?"
"Ya to, Vi. Kamu lhoh ada-ada saja." Kirana baru menyahut dengan senyum manis di wajahnya yang ayu.
"Berangkat bareng yuk, Mbak. Nanti aku pulang jam 5, Mbak jam berapa?"
"Jam tiga, tapi kalo ada urusan di PKM, biasanya sampai mau Magrib. Kamu berangkat dulu ndak papa, ini aku nunggu teman-teman, sebentar lagi keluar." Kirana yang tadinya menoleh ke belakang, langsung melihat ke arah depan, lebih tepatnya ke arah Silvi lagi.
Di tempatnya berdiri, Silvi melihat ke arah dalam kontrakan, mencari sesuatu seraya berkata demikian. "Bareng aku aja semuanya bagaimana?"
"Kurang tau juga pulangnya mereka kapan, Vi. Tapi kalau pulangnya jam tiga apalagi siang, mereka nanti ojek online atau BRT. Atau malah dibonceng temannya yang lain, minta tolong diantarkan ke kontrakan."
"Iya juga, ya." Silvi menimbang-nimbang. Kalau Mbak Kirana aja gimana? Kemungkinan besar pulang hampir Magrib, kan? Nanti ketemuan di PKM, aku panggil Mbak nanti kalau nggak keliatan. By the way, ikut organisasi apa Mbak?"
"UKM Pengembangan."
"Oh, iya aku tau.Yang banyak anak robotnya itu kan, ya." Silvi semakin tertarik untuk berbicara lebih jauh, tapi mereka juga harus berangkat sekarang juga."
Untung Nisa dan Simi keluar, Silvi langsung mengenalkan diri yang membuat Kirana merasa senang sekali.
"Mbak, aku Silvi, anak psikologi, temannya Mbak Kirana. Kalau boleh tau, nanti pulang jam berapa ya, Mbak? Kalau sekitar hampir Magrib, mau ya berangkat sama aku. Nanti pulangnya aku antarkan lagi ke sini."
Simi dan Nisa tampak berpikir sejenak.
"Lu pulang jam berapa, Nis?" Simi bertanya kepada Nisa yang sibuk merapikan kerudungnya.
"Jam setengah enem."
"Lah elu jam berapa?" Nisa balik bertanya.
"Lima sih, molor paling lama seperempat,"
Silvi jelas senang mendengar hal tersebut. "Ikut ke mobil aku aja ya, Mbak. Kita berangkat bareng-bareng, aku nggak ada temennya soalnya. Kalau ramai kan seru."
"Boleh, deh." Kata Simi langsung saja. "Tapi iuran bensin, ya. Kan kita bertiga nebeng nih."
"Ah, nggak usah lah Mbak, memang arah kampusnya searah, cuma belok masuk g**g ini." Silvi berupaya menolak sesopan mungkin.
Karena tidak enak juga, sampai ditunggui betul-betul oleh Silvi, akhirnya Simi dan Nisa ikut juga bersama Silvi.
Di perjalanan yang panjang tapi cukup singkat membuat Silvi yang stress akhir-akhir ini karena memikirkan keadaan kakaknya jadi lebih senang. Kalau Kirana yang paling kalem diantara mereka, Simi dan Nisa kocak sekali saat berdebat bersama. Silvi yang mendengarkan perdebatan mereka di belakang saja merasa terhibur.
Silvi mengantarkan Nisa dan Simi dulu karena dia ingin berbicara dengan Kirana. Kebetulan, Kirana masuk setengah sembilan seperti dirinya. Dia sudah siap pukul tujuh pagi ini karena memang tidak ada kendaraan, bisanya nebeng, kalau naik BRT nanti pusing jadi tidak bisa menerima materi dengan maksimal, karena itu dia rela ikut berangkat pagi. Makhlum saja karena Kirana memang orang tidak punya.
"Mbak, bicara di mobil dulu tidak apa-apa, ya?" Silvi melepas sabuk pengaman seraya bersuara pelan. "Tadi kayaknya ada pesen, deh."
Kirana belum menyahut, hanya saja tatapan matanya fokus ke arah Silvi.
"Dimana sih?" gumam gadis itu terlihat kesal sekali.
"Nyari apa, Vi?"
Gadis itu menoleh ke arah Kirana dengan wajah agak bingung. "Ini lhoh Mbak, kemarin Pak Samar titip pesan, tapi kok aku cari nggak ada di note."
"Untuk anak-anak kelas, ya?"
"Bukan," Silvi menggeleng pelan, masih sibuk mengotak-atik isi handphonenya. "Buat Mbak Kirana. Penting katanya. Duh, mana aku lupa ditaruh dimana lagi."
Kirana hanya menduga kalau Pak Damar ingin mengirim pesan tentang materinya. Namun, kita tunggu saja apa yang akan dikeluarkan oleh Silvi nanti, karena Kirana juga asal menebak saja.
Bersama Silvi seperti ini, Kirana malah mengingat kakaknya gadis yang ada di hadapannya sekarang.
"Pak Damar sudah enakan, Vi?" Kirana bertanya tidak sadar yang membuat gadis itu juga terkejut sendiri akan kekurang ajarannya berani bertanya demikian. Memangnya siapa dirinya.
"Makin baik kok, Mbak. Alhamdulillah sudah bisa bicara dengan jelas. Aku telfon Pak Damar sebentar ya, Mbak. Kalau pesannya tidak tersampaikan, nanti dia ribut."
Kirana mana sempat mencegah. Yang ada, Silvi langsung menghubungi Pak Damar lebih dulu hingga Kirana langsung memalingkan wajah, tidak ingin ikut-ikutan. Dan tak selang lama, panggilan videonya terjawabkan.
"Hallo assalamu'alaikum, Mas."
"Wa'alaikumsalam. Gimana, Vi?" balas orang di seberang sana.
Detak jantung Kirana langsung berubah yang semula normal menjadi abnormal saat mendengar suara Pak Damar lagi setelah berminggu-minggu berlalu. Dia seperti merasakan ada kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya.
"Ini aku sama Mbak Kirana, cuma aku lupa kemarin pesannya aku taruh mana, jadi mau tanya Mas lagi aja daripada ngasih info salah."
"Tanyakan, dia mau berbicara dengan Mas tidak?"
Kirana yang seakan pura-pura tidak mendengar terpaksa menoleh saat dipanggil.
"Mbak Kirana, ini Pak Damar mau bicara."
"Alihkan panggilan suara saja, Vi."
Tanpa minta persetujuan, Silvi langsung mengalihkan panggilan videonya ke panggilan suara.
"Ini, Mbak."
Kirana menerima handphone itu dengan senang hati, kemudian menunggu Pak Damar berbicara lebih dulu.
"Hallo, Kirana? Saya mau bicara."
"Iya, Pak." Jawab Kirana seadanya karena dia sudah gugup sendiri berbicara seperti ini dengan Damar.
"Tetap lanjutkan yang saya minta sama kamu sampai saya kembali mengajar lagi. Kemungkinan, untuk project di Bandung, dicancel dulu karena saya belum bisa kerja berat. Jadi, kalau saya pulih, saya bisa kembali mengajar.
Kirana sudah mendengar dengan seksama, dis juga sudah menangkap maksud perkataan Pak Damar yang tetap jelas dan runtut seperti biasa meskipun sedang sakit. "Iya, Pak. Paham."
"Pak Damar, tadi Mama-
Kirana tertegun mendengar suara perempuan yang Kirana yakini adalah Anggi. Bahkan tanpa sadar, Kirana sudah bertanya sendiri. "Anggi?" tanyanya.
"Iya, Anggi di sini. Sudah sejak beberapa hari yang lalu."
Mendadak, Kirana langsung mengembalikan handphone itu kepada Silvi secepat kilat.