Setelah pertemuannya dengan Silvi tadi, Kirana langsung menuju PKM untuk rapat singkat dengan beberapa penasihat yang lain. Memang akan ada seminar yang disusul dengan lomba robot. Sebagai dewan penasihat, tentu saja Kirana dibutuhkan untuk memberikan masukan dari konsep yang diusung oleh adik tingkatnya.
Pada mulanya, semua berjalan lancar sampai langit mulai petang, rapat diselesaikan dan ada tiga anak sedang berbicara sendiri dan membicarakan Pak Damar.
Bukannya Kirana bermaksud menguping, hanya saja pembicaraan mereka terang-terangan sehingga Kirana dan bahkan yang lain ikut mendengarkan.
"Pak Damar yang ganteng, kan? Kemarin yang beritanya masuk portal Bandung itu, kecelakaan parah waktu keluar tol, sampai masuk TV juga. Masih di ICU katanya."
"Sendirian kah di mobil?" yang duduk di sebelahnya lagi bertanya.
"Setahuku sama cewek satu, tapi kurang tau siapa."
"Parah nggak? Soalnya aku denger Pak Damar aja yang di ICU. Kalau nggak di ICU, nggak parah-parah amat berarti."
"Sok tau lo, bisa jadi masuk ruang jenazah." Sembur yang satunya lagi. "Bisa aja, kan? Soalnya nggak ada kabar sama sekali. Mungkin itu pacarnya kali, ya?"
"Kalo beneran gitu, gue jadi Pak Damar bakalan trauma seumur hidup."
Kirana yang mendengar pembicaraan adik tingkatnya itu mencelos hatinya. Dia tidak tahu soal ini, semoga perempuan yang bersama Pak Damar baik-baik saja. Entah itu keluarga maupun kekasihnya, semoga beliau baik-baik saja.
Dasarnya rapat sudah diselesaikan, Kirana lantas pamit pulang. Kirana harus naik BRT untuk kembali ke kontrakannya. Karena Simi dan Nisa kalau tidak sudah pulang, pasti ya sibuk dengan urusannya sendiri. Karena itu, Kirana tidak mau merepotkan terus-menerus, dia keluar dari lingkungan kampus, menunggu di halte yang ada di seberang jalan dengan beberapa orang yang juga menunggu transportasi murah meriah ini. Kalau bagi pelajar/mahasiswa, hanya membayar seribu rupiah. Sementara untuk orang umum, membayar tiga ribu lima ratus rupiah, begitupun kalau hari libur sama rata untuk orang umum maupun pelajar.
Kirana yang sudah menunggu di halte dengan beberapa orang hanya diam, sesekali berbincang ketika ditanyai oleh ibu-ibu yang mungkin baru beberapa kali naik BRT, makanya sering bertanya, takutnya salah pemberhentian.
Ketika Kirana sibuk memberikan penjelasan, tiba-tiba ada mobil putih berhenti di depan halte. Pintu depan yang semula tertutup, perlahan-lahan terbuka. Wajah Silvi yang muncul pertama kali. "Mbak Kirana?" panggilnya.
Tentu saja fokus semua orang yang berada di halte teralihkan kepada Silvi yang memanggil Kirana.
"Pulang bareng aku, Mbak." Silvi berujar lagi.
Karena tidak mau menjadi tontonan, Kirana turun menghampiri Silvi. "Aku naik BRT saja, Vi. Kamu duluan ndak papa."
"Lhoh sekalian aja Mbak, nggak papa. Aku juga udah nggak ada urusan ini, tinggal pulang ke rumah."
"Duh, aku ndak enak, nanti merepotkan. Aku naik BRT saja, ya."
"Bareng aku aja, Mbak."
DINNNNNN, suara klakson BRT berbunyi, mendekat.
"Ayo Mbak, masuk." Silvi buru-buru membukakan pintu dan Kirana akhirnya bersedia masuk juga ke dalam mobil Silvi.
Silvi tertawa karena buru-buru menarik Kirana tadi, "Maaf ya, Mbak. Refleks tadi."
"Iya, ndak papa." Kirana jadi ikut tertawa.
Kirana pikir, Silvi ini introver, tapi ternyata, anaknya asyik sekali, tidak seperti kakaknya ketika mengajar.
'Lhoh, lhoh, kok aku malah mikirin Pak Damar, to'
Tanpa sadar, Kirana langsung menggelengkan kepalanya tegas.
"Kenapa, Mbak?"
"Keadaannya Pak Damar bagaimana, Vi? Maaf, tadi ada yang membicarakan Beliau, katanya masih di ruang ICU." Kata Kirana meksi berat hati. Di satu sisi, dia tidak enak, di satu sisi, dia juga ingin tahu sekali keadaan Pak Damar.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Silvi hanya tersenyum tipis. "Ndak usah minta maaf, Mbak. Memang Pak Damar masih di ICU sampai sekarang. Keadaannya belum stabil, lehernya patah soalnya."
"Lalu perempuan yang bersama beliau?"
Mungkin, Kirana kurang tahu kalau naik mobil pengemudinya harus fokus. Namun dengan mengajak bicara, Silvi jadi tidak mengantuk.
"Ini orangnya di sini." Jawab Silvi santai.
"Dimana?" Kirana menoleh ke jok belakang dan tidak ada siapa-siapa, sesaat kemudian dia sadar kalau Silvi sendiri yang satu mobil dengan Pak Damar. Bisa jadi saja karena yang membalas emailnya kan juga Silvi.
"Kamu Vi yang sama Pak Damar? Kenapa malah jalan-jalan begini, tidak istirahat?" tanya Kirana khawatir.
"Aku nggak papa kok, Mbak. Waktu kecelakaan itu, aku tidur. Terus pas bangun udah di rumah sakit daerah Bandung aja, mungkin aku keterusan nggak sadar, tapi memang nggak kenapa-kenapa. Nggak terluka sedikitpun." Kata Silvi menjelaskan. "Hanya Pak Damar yang luka parah karena banting setir ke arahnya sendiri supaya aku nggak kenapa-napa."
Mendengar hal itu, Kirana menelan ludah susah payah. "Pak Damar sayang sekali ya sama kamu, Vi."
"Adik cewek satu-satunya, Mbak. Dua lainnya cowok semua, mana jarang di rumah, jadi aku yang paling disayang."
Kirana turut senang mendengar perkataan Silvi tentang Pak Damar.
"Oh iya Mbak, omong-omong ini aku harus ke arah mana?"
"Oh iya, Mbak jadi lupa." Kirana ganti menatap depan. Dia menunjuk lampu merah, "Lampu merah pertama boleh kanan, ya. Nanti ada g**g dekat kedai jus, belok kiri."
"Siap," kata Silvi bersemangat.
"Tapi, Vi. Kamu betulan tidak apa-apa, kan?" Kirana berupaya meyakinkan sekali lagi. Dia tidak ingin kalau Silvi sampai kelelahan karena mengantarkan dirinya. Kalau Silvi kenapa-kenapa setelah ini, Kirana pasti ikut kepikiran juga.
Gadis manis itu tersenyum, merasa disayangi oleh kakak perempuannya sendiri karena memang tidak memiliki kakak perempuan selama ini, hanya tiga orang kakak laki-laki yang selalu berebut menyayangi dirinya. Dan sekarang bertemu Kirana walaupun baru hari ini, Kirana sudah merasa senang sekali. Dia merasa memiliki kakak perempuan yang selama ini dia butuhkan meskipun sudah memilki tiga orang kakak laki-laki.
"Aku nggak papa, Mbak. Serius, deh. Orang pas aku bangun tidur, aku kira mimpi, ternyata betulan di rumah sakit. Cuma kaget pas liat Mas Dam, eh maksudnya Pak Damar di ICU, lehernya patah, kesulitan bernapas."
Kirana manggut-manggut. "Tapi Mbak juga ndak usah khawatir, Mama tadi kasih kabar kalau sudah ada peningkatan lagi kok keadaannya. Nanti kalau sudah lebih baik, pasti aku kasih tau Mbak kalau teman-teman sekelas Mbak mau jenguk, pasti rumah ramai sekali seperti mau lebaran."
Kirana tersenyum senang. "Iya, nanti pasti akan aku sampaikan juga ke teman-teman. Makasih banyak ya, Vi. Oh iya, omong-omong, kamu jurusan apa? Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya."
"Aku anak Psikologi, Mbak."
"Wow, keren sekali. Pasti setiap hari diberikan permasalahan." Kata Kirana.
"Iya, Mbak. Aku memang suka menyelesaikan permasalahan."
"Ehhh, nanti di g**g depan belok kiri ya." Karena keasyikan bicara, Kirana sampai ingin kelewatan jalur kontrakannya sendiri. Ya walaupun bisa putar balik, yang ada lama sekali nanti.
Tak selang lama, mobil Silvi betulan sampai di kontrakan sederhana Kirana bersama teman-teman yang lain. Silvi tersenyum memandang kontrakan di depannya ini. Dari dulu, dia memang ingin kost atau mengontrak seperti teman-temannya, tapi keluarganya tidak pernah mengizinkan. Karena memang, rumahnya Silvi juga tidak terlalu jauh dari kampus, jadi ya sudah, tidak perlu kost atau kontrakan. Kedua orang, beserta ketiga kakaknya yang over protektif juga tidak memberinya izin. Karena itu, melihat kontrakan seperti ini saja, dengan beberapa motor yang sudah terparkir rapi di parkiran, Silvi sudah senang sekali. "Kapan-kapan, aku boleh main ke sini ya, Mbak?"
"Oh, boleh. Boleh sekali kalau mau main ke sini. Bilang-bilang dulu, ya, nanti aku buatkan sesuatu." Kirana mempersilakan begitu semangat.
"Siap kalau itu mah. Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mbak." Silvi tahu-tahu mendekat, memeluk Kirana senang sekali. Dasarnya Kirana yang kagok, agak terkejut juga karena ada orang lain yang mau memeluknya selain Nisa, Simi dan Anggi, masih tidak menyangka. Apalagi, Silvi ini adik dari wali dosennya.
"Makasih banyak ya, Vi."
"Kembali kasih, Mbak."
"Kalau begitu, aku pulang dulu. Assalamualaikum. Sampai jumpa lagi Mbak Kirana."
"Wa'alaikumsalam, fii amanilah, Vi. Hati-hati di jalan." Kata Kirana bersemangat, yang dibalas anggukan dan lambaikan tangan tanda perpisahan. Begitu mobilnya mundur dan berlalu pergi, menghilang dari hadapan Kirana, gadis itu menghela napas pelan. Dua senang sekali hari ini, meskipun harinya tidak bisa dipungkiri, terasa melelahkan, tapi mendapat teman baru seperti Silvi yang asyik dan baik sekali anaknya, tenaga Kirana tidur habis berbincang dengannya.
Semoga Silvi dilindungi sampai rumah dengan selamat.
***
Setelah mengerjakan semua tugasnya hari ini, Kirana baru saja hendak tidur sampai akhirnya mengingat sesuatu yang dilupakannya, yakni memberitahu Anggi tentang kecelakaan yang dialami Pak Damar. Padahal, Kirana sudah ingin memberitahukan di hari pertama mendapat kabar kalau Pak Damar kecelakaan. Namun sayangnya, baru sekarang dia ingat. Di saat malam telah larut di hari kedua pula. Namun lebih baik terlambat daripada tidak mengetahui sama sekali.
Karena itu, sebelum kembali lupa, Kirana mengirimkan pesan kepada Anggi tentang kecelakaan yang telah menimpa Pak Damar hari Rabu kemarin.
Begitu Kirana usai mengirimkan pesan, langsung ada pesan masuk dari Anggi yang membuat Kirana buru-buru melihat pesanannya.
Anggi
Iya Na, aku sudah tahu. Ini sekarang aku sedang berada di Bandung, bersama dengan mamanya Pak Damar.
Ternyata, mama papaku sahabatnya mama papanya Pak Damar, Na. Kebetulan sekali, ya❤️ semoga ini menjadi jalan buatku untuk mendekati Pak Damar ya, Na. Doakan cintaku tersampaikan.
Membaca pesan itu, Kirana tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Dia baru ingin memberi kabar, tapi belum apa-apa, yang diberi kabar ternyata sudah di tempat yang sama Pak Damar berada.
Tanpa sadar, Kirana menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu berharap banyak pada manusia. Kirana pikir, rasa yang dirasakan oleh Anggi masihlah cinta monyet biasa. Namun, melihat pesanannya yang seperti itu, Kirana sadar betul kalau Anggi tidak sedang bercanda dengan perasaannya terhadap Pak Damar. Sahabatnya itu benar mencintai wali dosennya. Bahkan sekarang, sudah melibatkan kedua belak pihak. Ada unsur keluarganya.
'Sadar diri Kirana, kamu bukan siapa-siapa.' Batin gadis itu, sendu sendiri.