19- Di Ruangan

1212 Words
Radit tengah memberesi ruangannya saat seseorang mengetuk pintunya. Ia mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Dewi menyembulkan kepalanya di sela pintu sambil tersenyum lebar. "Pak, udah ditunggu Mas Akbar di ruang rapat."   Radit tampak berpikir sebelum mengangguk dan menjawab, "Oke. Nanti saya kesana."   Setelah mendapat jawaban itu, Dewi tersenyum dan menarik kepalanya dari sela pintu. Ia menutup pintu dengan perlahan. Radit kembali memberesi berkas-berkas yang diperlukan. Berikutnya ia mengecek pesan yang masuk ke ponselnya. Namun kebanyakan pesan itu dari grup, yang isinya menurut Radit tidak penting. Radit meng-scroll sekilas, lalu jarinya berhenti meng-scroll saat melihat nama seseorang. Tari. Radit sudah tidak bertukar pesan dengan Tari sejak tiga hari lalu. Terakhir kali mereka hanya membahas masalah pekerjaan dan obrolan ringan lainnya. Radit juga tahu jika Tari mungkin sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia tidak menghubungi Tari terlebih dahulu. Atau mungkin sebenarnya ... Tari menunggu pesannya? Bagaimana jika Tari menganut prinsip "Yang mengejar itu harus laki-laki" seperti kebanyakan gadis lainnya? Tapi kan Radit takut mengganggu Tari, karena seingatnya gadis itu pernah mengatakan akan ada evaluasi bulanan. Sehingga mengharuskan karyawan di bank sibuk menyiapkan data-data akhir bulan. Iya, Radit tidak ingin mengganggu waktu Tari.   Tetapi ... apa tidak aneh saat mereka sedang pendekatan dan belum bertukar pesan selama tiga hari? Bukankah seharusnya mereka intens menanyakan kegiatan masing-masing?   Duh, tiba-tiba Radit pusing.   Pemuda itu menggelengkan kepalanya menepis semua pikiran dan perasaan buruk. Ia putuskan untuk mengetikkan sesuatu untuk Tari, sehingga gadis itu mengetahui bahwa Radit memang sedang melakukan pendekatan padanya.   Radit bahkan tersenyum tipis saat mengetikkan sesuatu di sana. Setelah mengetikkan pesan itu, dengan cepat ia simpan ponsel ke sakunya, dan bergegas menuju ruang rapat. Ada hal penting yang harus mereka bahas.     °°°   Drt .. Drt ..   Tari melirik sekilas ponselnya yang bergetar. Gadis itu sama sekali tidak penasaran tentang siapa yang mengirim pesan di jam kerja begini. Karena biasanya hanya pesan spam atau bahkan menawarkan pinjaman online. Jadi setelah melirik sekilas, gadis itu mengabaikannya dan kembali berkutat dengan kartu ATM di tangannya.   "Ini kartu ATM yang baru, ya, Pak. Usahakan jangan sampai hilang lagi, ya. Sebaiknya disimpan baik-baik di dalam dompet." Tari tersenyum sembari menyerahkan kartu ATM itu.   Nasabah di depannya tersenyum sumringah mendapatkan kartu baru. "Terima kasih, mbak," ucapnya.   "Sama-sama, ya, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Tari. Ia tersenyum kian lebar. Sudah kewajibannya untuk memberikan senyum lebar tanpa lelah. Ia bahkan kadang berpikir bahwa dirinya adalah mesin tersenyum. Mereka tidak boleh cemberut sekalipun sedang menahan sakit saat haid, atau murung saat sedih.   "Tidak ada, mbak. Saya permisi." Nasabah itu beranjak dari duduknya, lalu melangkah menjauh sebelum Tari menyelesaikan kalimatnya.   "Terima kasih sudah mengunjungi, Assalamualaikum." Tari menangkup kedua tangan di depan dadanya. Setelah itu ia kembali memanggil nasabah lainnya, dan begitu seterusnya. Tanpa pernah memusingkan pesan yang masuk ke ponselnya, atau siapa pengirim pesan itu. Tari acuh, karena memang sudah kewajibannya untuk tidak memainkan ponsel saat jam kerja.     °°°°     Raditya Hermanto: Semangat kerjanya!     Radit memelototi pesan yang ia kirimkan pada Tari setengah jam lalu. Pesan itu sudah menampilkan dua centang hitam, namun belum berubah menjadi biru. Yang artinya Tari belum membacanya sama sekali.   "Ah iya, mungkin karena jam kerja," batin Radit. Radit tidak ingin bersuudzon tentang Tari. Ia membuang pikiran-pikiran negatif lain yang merasuk ke otaknya. Ia masih memandangi layar ponselnya bahkan saat semua rekan timnya fokus menatap Kino yang sedang berpresentasi.   "Untuk target pemasarannya kita bisa targetkan ke kalangan anak muda dan dewasa muda. Karena saat ini brand Batik sudah banyak juga tersebar di kalangan remaja, jadi desainnya juga dipadukan dengan model kekinian." Kino menekan tombol remot pengendali LCD. Ia kembali menjelaskan. "Untuk brand Batik kepunyaan Mas Akbar sendiri dari segi desain saya lihat sudah sangat menarik, dan bisa dicetak bukan hanya ke pakaian saja melainkan ke tas, sepatu bahkan souvenir pernikahan. Jadi kita bisa menambah variasi model dan produk."   Kino mengedarkan tatapannya ke sekitar. "Mungkin ada ide yang lain, bisa diutarakan?" tanyanya.   Mereka semua saling bersitatap. Namun akhirnya mereka mendapati jika bos mereka sendiri tidak fokus memperhatikan materi presentasi. Dari sembilan orang yang ada di sana, delapan orang di antaranya memperhatikan Radit yang masih terpatut dengan ponselnya.   Kino berdehem kecil. Membuat Radit mendongak. Ia memperhatikan sekelilingnya dan merasa malu karena tertangkap basah tidak fokus.   "Bagaimana dengan pameran Eksyarpreneur lusa besok?" tanya Radit pada akhirnya. Ia melipat tangan di atas meja. "Sudah sejauh mana persiapannya?" tanyanya lagi.   Mendapat pertanyaan itu, mereka semua kembali mengalihkan tatapan ke arah Kino. Untuk produk Batik kali ini, memang penanggungjawabnya Kino. Sedangkan yang lain memegang produk yang sebelumnya. Jadi mereka hanya sekadar membantu seperlunya namun tetap memegang porsi masing-masing. Kino menjawab dengan antusias. "Sudah 95 persen, Pak. Besok kita tinggal menaruh produk-produknya saja." Lalu pemuda itu memandang rekan timnya yang lain. "Saya dapat laporan dari tim dekorasi, katanya sudah."   Mereka serempak gantian menatap Teguh, rekan tim bidang desain. Sebenarnya ia hanya ditugasi desain, namun untuk acara tertentu, ia juga diserahi amanah mendekorasi tempat. Teguh menganggukkan kepalanya. "Tempat dan dekor sudah siap, besok dari Mas Akbar tinggal bawa produk-produknya, dan akan kami susun rapi," ucap Teguh sembari menatap orang yang dimaksud.   "Oke, besok saya hubungi dari tim produksi untuk bawa produk yang akan dipamerkan di event lusa." Akbar tersenyum. Pemuda itu mengedarkan tatapannya ke sekeliling. Semua wanita yang ada di sana sekilas merona saat melihat senyum Akbar. Mereka terpesona dengan lesung pipi dan mata bulan sabitnya.   Radit menganggukkan kepalanya berulang kali. "Oke, berarti sudah dicukupkan untuk hari ini?" tanyanya sembari mengedarkan tatapannya. Serempak semuanya menganggukkan kepala. Radit tersenyum. "Baik. Hari ini rapat dicukupkan, dan tinggal fokus ke pameran lusa besok. Kalian bisa kembali ke meja masing-masing."   Mereka tersenyum dan mulai beranjak satu per satu. Menyisakan Radit dan Akbar di dalam ruangan rapat. "Makasih ya, Mas. Berkat Berkah Group ini, jujur penjualan kami meningkat drastis." Akbar langsung mendatangi Radit saat pemuda itu sibuk dengan bukunya.   Radit mendongak lalu tersenyum. "Ah bukan karena kami, Mas. Itu karena produk Batik yang diproduksi Mas Akbar mudah diterima masyarakat dan memang kualitasnya bagus. Kami hanya memoles sistem pemasaran dan distribusi saja." Ia beranjak dari duduknya, kemudian melangkah keluar ruangan disusul Akbar.   "Kapan-kapan, saya ingin mentraktir Mas Radit dan tim. Sebagai tanda terima kasih," kata Akbar lagi. Mereka berjalan menuju ruang Radit.   Radit menoleh sekilas sembari tersenyum. "Bisa diatur," candanya. Ia membuka pintu ruangannya dengan cepat. "Masuk dulu, Mas."   Akbar menganggukkan kepalanya, mengiyakan tawaran Radit. Berikutnya mereka sudah mengobrol santai terlepas dari produk ataupun pemasarannya. Mereka membicarakan banyak hal. Tentang awal karir Radit. Lalu tentang bisnis Batik yang sudah turun temurun di keluarga Akbar. Kemudian beralih ke kehidupan sekolah keduanya.   "Oh ya? Kamu kelahiran 94? Saya pikir lebih muda dari itu." Radit terkekeh menanggapi ucapan Akbar.   Akbar menganggukkan kepalanya. "Iya, Mas. Banyak yang ngira memang saya usia awal dua puluhan, padahal sudah lewat seperempat abad."   Radit terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. "Kamu berarti sepantaran dengan calon tunangan saya. Dia juga 94."   Akbar membelalakan matanya. "Oh ya? Berarti mungkin saja kami berjodoh," candanya.   Radit tertawa lebar. "Kamu berarti lulusan tahun 2016? Alumni kampus mana?" tanya Radit lagi. Ia sedikit penasaran dengan sosok Akbar. Entah apa yang membuatnya penasaran dengan pemuda di depannya itu.   Akbar terkekeh sebelum menjawab, "Universitas Bina Bangsa."   Kini gantian Radit yang melebarkan matanya. "Wah! Iya kah? Dia juga lulusan kampus itu. Jangan-jangan kalian berdua pernah bertemu?"   Akbar mengedik bahunya. "Oh, ya? Wah, berarti kami benar-benar berjodoh." Akbar tertawa lebar. Disusul tawa lebar dari Radit yang hari itu menganggap semua yang Akbar ucapkan hanya candaan dan angin lalu. Sebelum semuanya berubah dan berbalik dalam sekejap mata.     °°°              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD