20- Festival

1295 Words
Tari memasuki rumahnya dengan lesu. Badannya serasa remuk semua. Hari ini ada evaluasi bulanan, di mana data-data dari nasabah akan direkap keseluruhan selain itu juga harus dimasukkan satu per satu ke dalam sistem. Setiap menjelang tanggal tiga puluh, banknya sibuk. Semua orang sibuk. Terutama di bagian pusat karena harus menginput rasio-rasio keuangan dari kantor cabang. Ia tepuk-tepukkan tangannya ke atas bahunya. Lalu melangkah ke dalam kamarnya setelah melewati ruang keluarga.   "Gak makan dulu, Tari?" teriak Mamanya dari ruang keluarga.   Tari mengabaikannya. Kemudian ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Tari mendongak dan mendapati mamanya berdiri di ambang pintu. "Makan dulu."   "Tari udah makan, Ma," jawab Tari. Ia memang masih kenyang karena sore tadi Pak Fero mentraktir makanan untuk seluruh karyawan di bank.   Mamanya hanya menggelengkan kepalanya kemudian masuk ke dalam, dan ikut mendaratkan bokongnya di samping Tari. "Pegal?" tanyanya. Melati merasa kasihan melihat Tari yang menepuk-nepuk bahu dan lengannya berulang kali. "Mama pijetin sini," tawarnya. Namun sebelum Tari menjawabnya, Melati sudah mendaratkan tangannya ke atas bahu Tari. Dengan telaten jemarinya memijat bahu Tari.   Tari keenakan seraya tersenyum. Gadis itu memutar lehernya dan menatap Mamanya. "Makasih, Ma. Mama emang paling peka," katanya sembari tersenyum lebar.   Melati terkekeh. Ia memijat dengan gerakan lembut namun masih dapat Tari rasakan. Lalu tangannya memukul-mukul kecil punggung Tari hingga gadis itu mengaduh. "Enak gak?"   Tari mengangguk. "Enak. Di situ ... iya, di situ, Ma."   Melati tertawa. "Dasar, kamu. Kapan-kapan kamu harus gantian mijetin Mama." Wanita itu menggeplak punggung Tari dengan pelan. Lalu terkekeh lagi. "Anak Mama udah gede. Udah perawan. Udah pinter cari duit sendiri."   Tari tersenyum mendengar perkataan Mamanya. "Iya dong."   "Mama masih ingat saat kamu hampir putus asa cari kerjaan di bank. Kamu nangis dan bilang dunia gak adil, karena kerja di bank bisa dari anak jurusan Pertanian." Melati mengenang. Ia terkekeh. "Tapi akhirnya setelah kamu basah kuyup, tenggelam, dan menginjak lumpur, akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita kamu, dan buktiin kalau pekerjaan yang kamu jalani bisa sesuai dengan jurusan kamu semasa kuliah."   Tari tersenyum. Ia masih ingat betul bagaimana dulu saat ia susah payah mencari pekerjaan. Berkali-kali melamar, berkali-kali interview, dan berkali-kali ditolak. Hingga akhirnya ia kini bisa berhasil meraih semua yang ia citakan. Menjadi seorang bankir. Tari lulusan Ekonomi, namun kebanyakan rekan kerjanya di bank bukanlah dari Fakultas Ekonomi. Banyak yang melenceng dari jurusan yang mereka ambil. Ada yang dari pertanian, agribisnis, lalu perikanan. Bahkan Gita sendiri dari Fakultas Pendidikan. Kadang Tari bingung, mengapa banyak pekerjaan yang membuka lowongan tidak sesuai jurusan yang semestinya. Dan ia sering merasa tidak adil.   "Gak pa-pa, ma. Semua butuh proses. Dan setelah dua tahun Tari bekerja di bank, Tari belajar banyak hal. Mereka yang kerja di bank memang juga bisa mendapatkan pelatihan, namun bos melihat kinerja mereka, bukan dari jurusan mereka." Tari tersenyum. Kemudian ia menarik tangan Mamanya yang bertengger di bahunya. "Gantian. Sini biar Tari yang pijat." Tangan Tari langsung terangkat merayap ke pundak Mamanya. Dengan cekatan ia pijat bahu Mamanya itu.   "Oh, iya. Gimana hubungan kamu dengan Radit?" tanya Mamanya tiba-tiba.   Pertanyaan itu membuat jemari Tari terhenti memijat. Lalu detik berikutnya ia kembali memijat. "Baik, kok. Terakhir kali Mas Radit chat aku tadi sore. Dia semangatin Tari kerja." Tari terkikik di akhir kalimatnya. Ia jadi ingat pesan Radit tadi sore yang ia abaikan. Dan hingga sekarang belum ia balas. Bukannya tidak ingin membalas, namun Tari belum sempat saja.   "Wah, bagus dong. Pertahanin dia, ya. Kelihatannya dia anak baik-baik. Soleh pula." Mamanya kini menghentikan pijatan Tari. Wanita yang melahirkan Tari itu membalik badan dan kini menatap Tari lurus-lurus. "Mama harap kalian bisa cepat menjalin taaruf-nya dan segera bertunangan."   Tari tersenyum. Tangannya menyentuh punggung tangan Mamanya. "Aamiin. Semoga ya, Ma."   Melati mengangguk. "Semoga kalian berjodoh."   Sudut bibir Tari tertarik kian lebar. "Aamiin," katanya. Tari mendekat ke Mamanya dan memeluk mamanya dengan erat. Seperti biasa, berada di pelukan mamanya sangat menentramkan. "Oh, iya. Besok Mas Radit ajak Tari ke Festival Eksyarpreneur, Ma." Tari tiba-tiba teringat ajakan Radit minggu lalu. Tentang Pameran produk-produk yang dipasarkan perusahaan Radit.   "Apa itu?" tanya Mamanya.   Tari melerai pelukannya. Lalu mengingat-ingat. "Semacam bazar dan pameran produk-produk hasil karya para pengusaha muslim gitu. Sekaligus ajang promosi produk yang dipasarkan sama perusahaannya Mas Radit."   Melati hanya mengangguk-angguk saja. Ia sedikit bingung, namun masih bisa menangkap maksud Tari. "Oh gitu," katanya.   Tari terkekeh. "Iya, ma. Besok Tari izin pergi ya."   "Gak berduaan doang kan di mobil?" Melati memperingatkan. Ia takut putrinya itu lupa akan larangannya.   Tari menggeleng. "Enggak. Tari naik motor. Mas Radit bilang nyusul aja."   Melati tampak membulatkan bibirnya sembari mengangguk-angguk. "Oke deh. Yang penting besok selalu kabarin Mama, ya."   Tari mengangkat tangannya ke depan dahinya. Ia berpura-pura memasang posisi hormat. "Siap, komandan!" Lalu gadis itu tertawa lebar.     °°°°     Festival Eksyarpreneur diadakan di Lippo Mall di daerah Kemang. Mall yang biasanya sudah ramai, kini makin ramai saat ada festival ini. Festival sekaligus pameran produk-produk ini sangat langka diadakan di sini, maka dari itu, saat ada pengumuman akan diadakan festival ini, pengunjung membanjirinya bahkan dari pagi. Tari membenarkan pashmina-nya sembari berjalan di tengah keramaian orang. Beruntung festival itu berada di lantai satu Mal, sehingga Tari tidak perlu repot-repot menaiki lift atau eskalator saat dirinya kini mengenakan gamis. Entah mengapa ia tadi pagi tiba-tiba ingin mengenakan gamis. Mungkin karena selama bekerja ia hanya memakai setelan rok bahan dan kemeja. Jadi saat ada acara ini, ia ingin memakai gamisnya.   Mata Tari mengedar ke penjuru lantai satu. Ramainya orang membuat Tari kebingungan mencari stand produk-produk milik Radit. Tari sejak tadi celingukan seperti anak hilang, dan ia masih menunggu Radit membalas pesannya. Tari meminta petunjuk di mana letak stand Radit.   Raditya Hermanto: Sudah sampai?   Lestari Ayu: Sudah. Stand-nya di mana Mas?   Raditya Hermanto: Kalau kamu masuk dari pintu depan, langsung menuju gapura buatan yang bertuliskan Festival Ekonomi Syariah Entrepreneurship, lalu dari gapura kamu lurus, terus belok kanan. Nah, stand kedua dari situ. Yang ada tulisan Chasanah Batik. Saya di situ.   Tari membaca pesan itu sembari terus melangkah. Ia ikuti intruksi Radit. Seluruh lantai satu mal sudah disulap menjadi bazar-bazar berisi stand berbagai macam produk. Tari rasa ada ratusan stand yang terlibat. Saking luasnya. Saat ada di belokan yang Radit maksud, Tari memelankan langkahnya. Lalu ia berhenti. Matanya kembali mengedar, dan langsung terhenti saat ia melihat sosok Radit yang melambaikan tangan ke arahnya. Radit tersenyum dengan sumringahnya. Seolah sudah sangat menantikan kehadiran Tari. Tari tersenyum dan membalas lambaian tangan Radit. Dengan cepat ia melangkah mendekati stand Radit itu.   "Maaf ya, aku telat banget." Tari memasang raut penuh penyesalan saat tiba di hadapan Radit. Gadis itu meringis lebar.   Radit terkekeh. "Gak apa. Kamu gak nyasar kan?" tanyanya meledek.   Tari memberengut. "Enggak dong. Emangnya aku anak kecil." Berikutnya gadis itu terkekeh.   Radit menganggukkan kepalanya. "Mau lihat-lihat?" tanyanya. Ia mengayunkan tangannya seolah mengintruksi Tari untuk melihat hasil karyanya.   Tari tentu saja mengangguk antusias. Matanya berbinar melihat berbagai produk bercorak desain batik. Mulai dari baju, kaus, tas, sepatu, hingga helm. Semuanya menarik perhatiannya. "Wah." Tari membuka bibirnya. "Ini produk dari klien-klienmu, Mas?" tanyanya sembari menoleh sekilas pada Radit.   Radit terkekeh dan mengangguk. "Iya, dong. Ada sekitar sepuluh brand produk yang ikut pameran ini. Ada makanan sama minuman juga. Nanti kita kesana ya," jelasnya sembari menunjuk ke stand yang paling ujung. Tampak berbagai makanan dan minuman terpajang rapi di atas mejanya.   Tari mengangguk antusias. "Boleh."   Radit terkekeh lagi. Ia masih memandangi Tari yang menatap batik di depannya dengan takjub. Namun seseorang dari jauh yang kini melangkah menuju arah mereka, mengalihkan perhatian Radit. Pemuda itu menatap orang itu kemudian melambaikan tangannya menyuruh orang itu mendekati mereka. "Oh, iya. Itu orangnya dateng. Yang produknya sedang kamu lihat. Pemilik Chasanah Batik." Radit kini menatap Tari.   Tari mendongak  dan tersenyum. "Oh iya? Mana?" Ia celingukan, malah menatap orang-orang di depannya.   Radit terkekeh. "Bukan di sana. Tapi di belakangmu," ucapnya.   Tari membulatkan bibirnya dan menoleh ke belakang saat sebuah suara melintas di indera pendengarannya. Suara yang sangat dikenalnya.   "Maaf telat, mas. Saya tadi mampir dulu ke stand teman."   Dan begitu Tari membalik badan untuk melihat orang itu, ia terkejut. Pantas saja suara itu sangat dikenalnya. Karena suara itu ... milik Akbar.     °°°°                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD