1- Perkenalan
"Customer Service nomor enam ke CS 02!"
Seruan itu terdengar di penjuru bank. Radit memperhatikan seorang gadis berseragam batik warna biru dengan kerudung biru. Gadis itu tersenyum pada seorang nasabah di depannya yang tengah mengeluhkan beberapa macam hal. Dengan sabar dan senyum yang tak lepas dari wajahnya, gadis itu menyahuti segala keluhan itu. Senyum Radit ikut terkembang melihat senyum gadis itu. Ia baru tahu, ternyata senyum bisa menular.
Mata Radit beralih ke papan nama di atas meja depan gadis itu. Ia membaca dan membatin. Lestari Ayu, nama gadis itu. Sama seperti parasnya, namanya pun Ayu.
Gadis itu tampak sedikit kesulitan saat mengakses komputer di depannya sembari terus mendengar keluhan pria paruh baya, nasabahnya. Namun, dengan ajaibnya bisa ia tutupi. Senyuman itu menipu. Tetapi Radit bisa tahu dari kerutan di dahi gadis itu.
"Ini sudah diperbaiki Pak kartu kreditnya. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya."
Radit tak hanya terpana pada parasnya, namun juga suara gadis itu. Suaranya lembut, tapi juga penuh ketegasan. Sekali lagi Radit tersenyum.
Namun berikutnya ia menggelengkan kepalanya, menepis rasa takjubnya. Ia sadar tadi itu sebuah kesalahan.
"Astagfirulloh."
"Cantik, kan?"
Radit terkesiap. Ia melupakan fakta bahwa sejak tadi ia tidak datang ke bank seorang diri, melainkan juga bersama ibunya. Ditatapnya sang ibu dengan senyum canggung.
"Cantik, Bu." Radit tersenyum, mengangguk menyetujui.
Ibunya menarik sudut bibirnya. "Ternyata jauh lebih cantik aslinya daripada dalam foto." Ibunya memandang ponselnya, menunjukkan foto seorang gadis di sana. Itu foto gadis bernama Lestari Ayu tadi.
"Namanya Tari. Wah, gak nyangka kalau si Melati punya anak secantik itu," kata ibunya. Sang Ibu beralih menatap gadis yang dipanggil Tari itu. Kemudian ia menoleh kembali pada putra sulungnya sembari berkata, "Kerja di bank pula. Juga kelihatannya sopan, santun, manis. Ibu suka."
Radit terkekeh dan menanggapi, "Bukannya yang mau dikenalkan itu aku, Bu? Kok Ibu yang suka?"
Ibunya tergelak. "Ya, kan ibu juga harus suka sama dia. First impression." Ia mendekatkan bibirnya pada telinga Radit, lalu tertawa kecil.
Percakapan ibu dan anak itu harus terhenti ketika seorang satpam menghampiri mereka. Satpam yang ditaksir berusia kepala empat itu tersenyum ramah sembari bertanya, "Maaf Ibu, Pak, sekarang sedang jam istirahat. Mungkin bisa kembali lagi nanti jika ada keperluan, atau mau menunggu?"
Radit melirik ibunya. Ia ingin menyahuti pertanyaan satpam itu namun diurungkan ketika ibunya menjawab, "Kami akan tunggu, Pak. Memang kami juga sedang ada keperluan dengan mbak CS itu." Tangan ibunya terangkat kemudian menunjuk gadis yang dimaksud. Customer Service di bilik nomor dua.
"Oh, Mbak Tari?"
Nur, Ibu Radit, mengangguk. "Iya, betul."
Satpam itu ikut mengangguk dan kembali mengumbar senyum. "Oh, baik Bu. Silakan menunggu kalau begitu. Di sana ada air mineral dan permen jika ibu ingin mengambil.”
Nur mengangguk. Lalu satpam itu beranjak meninggalkan mereka.
Radit menatap kepergian satpam itu. Ternyata satpam itu berjalan menuju tempat Tari. Satpam bernametag Tarjo itu mengucapkan sesuatu yang membuat Tari mengalihkan tatapannya ke arah Radit. Detik itu juga, rasanya Radit ingin berteriak girang. Bagai seorang fans yang bertemu idolanya. Sesenang itu.
Tari tersenyum kecil mendengar ada dua orang yang sedang menunggunya. Ia beranjak dan melangkah mendekati keduanya. Seorang wanita berkerudung berusia sama seperti Mamanya, dan putranya, yang Tari taksir usianya masih seumuran dengannya.
Atau lebih?
Dengan penasaran ia melangkah dan begitu sampai di depan ibu dan anak itu, sudut bibirnya tertarik. Ia menempatkan diri duduk di sebelah sang Ibu.
"Maaf, sudah lama menunggunya, Bu?" Tari bertanya sambil menatap wanita itu. Kemudian tatapannya beralih pada pemuda yang kini tengah ikut menatapnya. Pemuda itu mengangguk kecil setelah mata mereka bersiborok.
"Enggak, kok. Enggak lama. Ya, kan, Dit?" Wanita itu menyenggol siku putranya meminta dukungan. Pemuda di sebelahnya mengangguk.
"Enggak lama," katanya.
Tari terkesiap mendengar suara berat itu. Kemudian menunduk, untuk menetralkan jantungnya yang entah mengapa tiba-tiba berdegup kencang.
"Jadi kedatangan kami kemari ... ah, kamu pasti sudah dikasih tahu sama mama kamu, kan?" Nur bertanya dengan senyuman yang terus mengembang.
Tari mengangguk. "Iya, Bu. Sudah. Terima kasih ibu dan mas- em, mas?"
"Radit."
"Iya, Mas Radit. Terima kasih ibu dan Mas Radit sudah mau repot-repot kemari," kata Tari. Gadis itu menatap Radit yang tiba-tiba menunduk setelah ia menyebutkan namanya sendiri. Tari mengernyit.
Membatin apakah ada yang salah dengan dirinya yang membuat Radit menundukkan kepalanya begitu.
"Ah, enggak kok. Enggak repot, iya kan, mas?" Nur menatap Radit. Pemuda itu langsung mengangkat kepalanya dan menatap Tari.
Kemudian tersenyum dan mengangguk.
"Oh, begitu." Tari bingung akan apa yang ingin disampaikan lagi. Jujur, ia ini sosok introvert. Sosok yang susah untuk memulai pembicaraan pada pertemuan pertama. Apalagi pertemuannya dengan seorang ibu dan putranya itu.
Nur ini adalah teman kuliah Mamanya. Mereka berteman sekian lama dan lost contact pun cukup lama. Tari dengar sudah hampir lima belas tahun sang Mama lost contact dengan ibu pemuda bernama Radit itu. Namun, minggu lalu mamanya memberitahunya bahwa teman kuliahnya tiba-tiba menelponnya, lalu berniat untuk mengenalkan putranya dengan Tari.
Awalnya Tari menolak. Pemuda yang dikenalkan sang Mama biasanya akan berakhir di pertemuan pertama mereka. Tepat setelah ia memberikan selembar kertas. Sudah tiga atau empat pemuda yang pada akhirnya menolak untuk melanjutkan hubungan dengan Tari. Niat mereka sudah pasti ingin mengajaknya pacaran. Namun Tari tidak suka itu. Selain karena tidak ingin membuang waktunya dengan hal seperti pacaran, Tari juga ingin segera menjalani hubungan dengan halal. Satu-satunya cara yaitu pernikahan.
"Nah, karena kalian sudah bertemu, bagaimana kalau kalian ngobrol dulu? Ibu akan kasih ruang untuk kalian." Nur berujar sembari menatap Tari dan Radit bergantian.
Radit mengangguk menyetujui ibunya. Disusul Tari yang ikut mengangguk. Melihat respon keduanya, Nur beranjak. Sedikit bergeser ke kursi sebelahnya menyisakan ruang. Sebenarnya ia masih bisa mendengar obrolan itu, namun ia pura-pura mengotak-atik ponselnya dan berlagak sibuk.
"Mas sudah tahu namaku?" Tari memulai obrolan. Meskipun ia introvert, berhadapan dengan Radit yang sedikit pemalu membuatnya harus mengambil langkah pertama kali.
Radit mengangguk. "Kalau dari papan nama itu, dan yang ibu kasih tahu, aku sudah tau. Tapi kalau dari kamu sendiri, belum."
Tari tersenyum kecil. Terpana dengan santunnya cara bicara pemuda itu. Entah mengapa, Radit yang sebenarnya berwajah tidak terlalu tampan, namun di matanya kini menjadi sangat tampan.
Tari berdehem kecil menghilangkan pikirannya.
"Lestari Ayu. Biasa dipanggil Tari," katanya. Ia mengulurkan tangannya berniat bersalaman. Namun berikutnya ia harus terpana untuk ke sekian kali, karena Radit tidak menyambut uluran tangannya. Pemuda itu hanya tersenyum dan mengatupkan tangannya di depan dadanya.
"Raditya Hermanto. Biasa dipanggil Radit."
Mengerjap, Tari tersenyum canggung dan menarik uluran tangannya. "Kita seumuran atau?"
"Saya kelahiran 1990."
Tari terkesiap dan menutup bibirnya dengan telapak tangannya. "Oh ya? Kupikir kita seumuran. Aku kelahiran 1994," katanya. "Kamu kelihatan lebih muda, mas," sambungnya dengan raut takjub yang tak bisa disembunyikan.
"Ah, bisa saja." Radit menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Kemudian menatap Tari dengan penasaran. "Sudah lama kerja di sini?" tanyanya.
"Baru dua tahun." Ia tersenyum menyahuti. Tangannya ia tumpukan pada sofa. "Kalau Mas Radit kerja di mana?"
"Di sekitar sini aja. Tepatnya kerjaan saya kayak sales."
"Sales?"
"Iya, tawarin barang ke konsumen dari distributor. Nama kerennya sih Marketer. Saya punya perusahaan marketer di kota ini."
Tari lagi-lagi tak bisa menyembunyikan ekspresinya. "Oh ya? Bukan sales dong namanya."
"Ya, mirip, kan?" Radit terkekeh. Ditatapnya gadis di depannya yang tengah mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, punya Mas Radit sendiri itu?" tanyanya penasaran.
"Tepatnya saya diriin bareng teman, lalu mereka nunjuk saya jadi CEO. Ya sudah." Radit bercanda. Namun, Tari tidak ikut tertawa dengan candaannya. Justru gadis itu tersenyum serius.
"Aku ingin langsung saja ya, mas. Enggak ingin menguras waktu mas terlalu lama."
Benar ternyata, gadis itu kini memasang wajah serius. Namun, Tari tak melepaskan senyumannya.
"Iya?"
"Mungkin mas sudah dengar cerita dari mamaku, ya lewat ibunya mas, tentang aku yang enggak ingin pacaran atau sebagainya."
Radit mengangguk. Memang benar. Ibunya mengatakan hal yang sama seperti yang gadis itu katakan. "Iya, saya sudah dengar hal itu. Saya juga ingin menjalin hubungan serius tanpa pacaran."
Tari mengangguk-anggukan kepalanya. Diam-diam ia bersyukur karena Radit sepikiran dengannya. Namun, sekali lagi, ia juga harus menyiapkan dirinya atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. Mungkin saja setelah ini, Radit akan menyudahi perkenalan mereka seperti pemuda yang lain. Atau mungkin melanjutkan perkenalan ini karena sama-sama tidak ingin berpacaran. Tapi Tari tetap waspada. Hatinya tidak boleh goyah karena tadi sempat berdegup untuk pemuda di depannya itu.
"Selain itu ... aku ingin mas menjawab pertanyaan-pertanyaanku." Tari mengeluarkan selembar kertas HVS. Diliriknya Radit yang penasaran dengan kertas yang dipegangnya. "Seratus pertanyaan dalam kertas ini."
Radit baru sadar jika sejak tadi Tari memegang selembar kertas, dan apa katanya tadi? Seratus buah pertanyaan?
"Seratus pertanyaan?"
"Emm." Tari mengangguk. Sudut bibirnya tertarik. Ia menyerahkan daftar pertanyaan itu pada Radit dan mulai menjelaskan.
"Jadi kertas itu berisi seratus pertanyaan yang ditujukan untukku mengenal kamu. Bisa dibilang, itu pengantar awal perkenalan kita. Dari situ, nantinya aku jadi bisa mengenal mas Radit."
Radit menerima kertas itu dan mulai membaca satu per satu pertanyaannya. "Ini ... harus saya isi semuanya?" tanyanya. Ia menatap Tari dengan sangsi.
Apakah Tari pikir, dengan seratus pertanyaan ini bisa membuatnya mengenal Radit? Bagaimana jika Radit atau pemuda lain mengisinya asal-asalan? Atau bahkan berbohong? Ia tidak habis pikir dengan pemikiran gadis itu.
"Aku harap mas isi itu sejujur-jujurnya. Dari hati nurani mas, apapun itu. Lalu-"
"Lalu apa?"
"-mas bisa pergi kalau sekiranya tidak sanggup menjawab seluruh pertanyaan itu." Tari memandangnya dengan raut serius.
Begitu pula Radit. Pemuda itu juga menatapnya tanpa ada senyuman. Tatapannya datar, hingga Tari sulit mengartikan.
"Pertanyaan apa nak Tari?"
Nur memecah keheningan. Ia mendekat dan mengamati keduanya yang tengah bertukar tatap.
Tari menyudahi tatapannya dan beralih menatap Nur. "Seratus pertanyaan, Bu. Ini untuk jalan Tari mengenal Mas Radit." Ia tersenyum.
"Oh, bagus itu nak. Isi aja." Nur memandang Radit yang ternyata tengah menatap Tari. Sejak tadi tatapannya tak lepas. Bahkan tanpa kedipan.
"Termasuk pertanyaan Apa yang harus dilakukan saat tahu semisal kamu tidak bisa mempunyai anak?" tanya Radit menatap Tari. Satu yang Radit tahu, gadis di depannya pasti mempunyai alasan saat memberinya pertanyaan-pertanyaan itu.
Tari bergeming.
"Apa semua pemuda itu lari karena kamu beri kertas berisi pertanyaan-pertanyaan ini?" Radit menatapnya tak berkedip. Tidak tersenyum seperti setengah jam yang lalu, Radit kini tak berekspresi.
Tari menelan ludahnya susah payah. Entah mengapa, mendapat tatapan seperti itu, ia gugup. "Iya. Mereka pergi dan ketakutan menjawab. Setelah kuhubungi, mereka berkata bahwa aku gila."
Nur menatap tak percaya pada Tari. "Pertanyaan itu maksudnya apa, nak Tari? Kamu benar tidak bisa punya anak?"
Tari menatap Nur dengan senyuman. "Enggak, Bu. Itu hanya misal. Tapi, sebagai manusia, kita tidak pernah tahu dengan rencana Allah."
"Lalu?"
"Tari hanya takut, laki-laki itu akan pergi setelah tahu Tari tidak bisa punya anak. Lalu memilih untuk bersama wanita lain."
"Kenapa? Dalam Islam dibolehkan berpoligami." Radit berkata sambil menatapnya.
"Benar. Dalam Islam memang dibolehkan. Tetapi, mana ada seorang wanita yang ingin dimadu?"
Nur terkesiap. Pun Radit di sampingnya. Ia menepuk pundak Radit yang kini menunduk memandangi kertas di tangannya. "Ibu serahkan sama kamu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
Radit mendongak dan menatap Tari. Setelah menghembuskan napasnya, ia berujar kalimat yang mencengangkan ibunya dan gadis di depannya.
"Saya akan isi pertanyaannya. Lalu memberi jawabannya secepat mungkin," katanya. "Saya yakin, kita berjodoh."
°°°