18- Terbuka

1093 Words
Tari menatap buku besar di hadapannya dengan tatapan nanar. Pulpen di tangannya ia genggam sedari tadi tanpa ada niatan untuk digoreskan. Pandangannya kosong. Ia masih terpikirkan pertemuannya dengan Akbar minggu lalu yang tiba-tiba. Lalu kemudian terpikirkan obrolan mereka lusa kemarin. Tari tahu Akbar hanya bermain-main padanya. Pemuda itu pasti sedang merencanakan sesuatu yang ia tidak tahu jelas, namun ada kaitannya dengan Tari. Akbar pasti masih punya harga diri, dan tidak akan mau repot-repot untuk meminta kembali berteman dengan Tari. Tari sangat mengenal watak Akbar. Pemuda itu adalah pemuda paling keras kepala dan sangat memegang harga dirinya. Akbar tidak akan mungkin dengan susah payah merendahkan harga dirinya di hadapan Tari untuk meminta berteman. Memikirkannya berulang kali tetap saja jawabannya itu mustahil. Pasti ada yang ingin Akbar lakukan. Tapi apa? Itu yang sampai hari ini belum bisa terpecahkan olehnya.   Jika dipikir-pikir lagi, dua tahun Tari berpacaran dengan Akbar, tidak pernah yang namanya Akbar mau berbuat seperti itu. Bahkan saat Akbar menembaknya dulu, mengajaknya berpacaran, Akbar hanya mengajaknya dengan kalimat, "Tapi kamu mau pacaran sama aku, kan?" Tari ingat betul malam itu. Dan masih terus mengingatnya beberapa tahun setelahnya.   Tari menggelengkan kepalanya. Ia menepis semua pikiran-pikiran aneh tentang Akbar. Tidak ingin kembali mengingat-ingat tentang mantan pacarnya itu. Karena semakin Tari memikirkannya, kepalanya semakin pusing. "Bodo amat, ah," celetuk gadis itu tiba-tiba. Tari menggelengkan kepalanya keras-keras, kemudian segera menyelesaikan pendataan nasabah hari ini.   "Kenapa, Tar?"   Ah, iya! Ia lupa kalau ada Gita yang kini bersamanya. Duduk berdua di dalam bilik Tari. Tadi Gita ingin meminjam buku besar milik Tari untuk mencocokkan nomor kode pendataan, namun malah Tari hanya terbengong.   Tari mendongak. Ia menatap Gita di depannya sembari menyengir. "Gak pa-pa." Kemudian ia menyelesaikan coretan tangannya. "Ini, udah kutulis data nasabah yang masuk kemarin," ucap Tari sembari menyerahkan buku besar bersampul oranye ke hadapan Gita.   Gita hanya tersenyum. Sambil mengambil buku itu, ia berkata, "Kalau ada apa-apa, atau ada yang ganggu pikiran, kamu bisa tanya dan cerita ke aku, ya?" Gadis itu memandang Tari yang menatapnya takjub. "Kita kan udah dua tahun kenal. Aku pikir hubungan dua tahun lamanya itu cukup untuk kamu bisa sedikit terbuka sama aku," sambungnya.   Gita yang hari ini mengenakan kerudung berwarna pink itu hanya tersenyum. Lalu berpamitan setelah mendekap buku besar milik Tari.   Tari mengerjapkan matanya berulang kali. Yang dikatakan Gita itu ada benarnya. Rasanya tidak adil bagi Gita jika selama ini hanya gadis itu yang terbuka, sedangkan Tari sangat membatasi diri dan masalah pribadinya. Apa sekarang waktunya ia menceritakan masalahnya dengan Gita ya? Jujur saja, Tari mulai lelah saat hanya bisa sesi curhat online dengan kedua sahabatnya itu. Tari tidak punya teman dekat yang banyak, jadi ia terkadang bingung jika ingin menceritakan masalahnya dengan siapa. Sesi curhat online menurut Tari belum cukup efektif karena Tari butuh bertatapan muka secara langsung. Lewat videocall membuat Tari kadang harus mencari sinyal bagus agar jaringannya tidak putus-putus. Apalagi Tari juga merasa kini ia terlalu membebani kedua sahabatnya yang telah menikah itu dengan masalah hidupnya. Mereka pasti memiliki masalah di keluarganya, ditambah dengan masalah yang Tari limpahkan lagi, pasti mereka kesusahan. Kini Tari jadi merasa bersalah. Ia tidak menyangka jika dirinya sangat egois selama ini.   Ya, benar! Mungkin sudah waktunya ia menceritakan masalahnya dan lebih terbuka dengan Gita. Ternyata Gita pun menunggunya untuk menceritakan masalahnya selama ini. Dan kenyataan itu membuat Tari terharu. Jadi kini Tari putuskan untuk mengetuk bilik sebelahnya dan menyuruhnya membuka pesan di ponselnya.   Lestari Ayu: Git, nanti makan siang bareng, yuk?   Gita mendongak dan mengacungkan jempolnya.     °°°°   "Jadi ... cowok yang waktu itu ada di bank, yang katanya nunggu mbak Tari, yang ajak makan siang sama kamu itu ... mantan kamu?" Gita bertanya dengan santai pada Tari. Ia menatap Tari dengan senyum tipisnya. Ia menunggu respon Tari, dan gadis di depannya itu mengangguk.   "Terus? Dia ngajak berteman lagi?" tanyanya lagi.   Mendengar itu Tari kembali mengangguk.   Kini Gita semakin bingung dengan pemikiran Tari. Memangnya apa salahnya berteman dengan mantan pacar?   "Terus ... masalahnya di mana, Tari?"   Tari terkesiap kecil. Ia bingung dengan pertanyaan Gita. Melihat wajah santai Gita yang menanyakan hal tersebut seolah membuat Tari sangat bersalah karena menolak berteman kembali dengan Akbar.   Tari mengedik bahunya. "Memangnya wajar ya berteman dengan mantan pacar?" tanya Tari balik. Ia jadi penasaran dengan Gita. Mungkinkah Gita menganut prinsip menjalin pertemanan dengan siapapun termasuk mantan pacar?   Gita terkekeh. "Wajar dong. Apa salahnya kita berteman sama mantan pacar? Gak ada salahnya. Kurasa Akbar ada benarnya. Gak baik memutus tali silaturahmi," jelasnya panjang. Kemudian Gita mengubah raut wajahnya. "Tapi ... setelah mendengar ceritamu, memang wajar sih kalau kamu jadi enggan berteman sama Akbar." Gita tersenyum.   Membuat Tari ikut tersenyum. "Wajar kan?" Tari mengangguk mantap. "Makanya aku gak mau temenan lagi sama dia."   "Lagipula pertemanan antara pria dan wanita di usia kita itu semuanya bullshit. Kecuali kalau memang ada tujuan dan maksudnya." Gita mengaduk jus mangganya. Setelah menyeruput, ia kembali mendongak. "Wanita modern jaman sekarang memang ada yang berteman lagi dengan mantan pacarnya. Tapi itu pun ga pure berteman, pasti ada jarak. Gak bisa kayak dulu lagi. Makanya ... ada yang bilang kalau pertemanan dengan mantan pacar itu merupakan tingkatan tertinggi dalam suatu hubungan."   Gita menjeda. Setelah menarik napas, ia kembali melanjutkan, "Bayangin aja ... setelah disakitin seperti itu, tapi masih mau berteman dan anggap semuanya biasa aja. Bukankah itu hal yang paling di luar nalar?" Gita tertawa. "Kecuali memang putusnya baik-baik. Tapi itu pun pasti tetap canggung."   Tari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyetujui pendapat Gita. Sepertinya ini adalah hal yang tepat saat membicarakan asmaranya dengan Gita. Dalam urusan percintaan, Gita lebih maju. "Tapi apa kamu juga berteman dengan mantan kamu?" tanya Tari penasaran.   Gita mengulum bibirnya lalu bersidekap. "Aku gak punya mantan pacar."   Tari mengangkat alisnya. "Hah?"   Melihat ekspresi Tari, Gita terkekeh. "Pacarku yang jadi tunanganku sekarang ini adalah pacar pertamaku. Kami berpacaran sejak SMA."   "Sampai sekarang?" Tari menganga.   "Yaps. Sampai sekarang." Gita tersenyum bangga.   "Wah." Tari makin menganga. Selanjutnya ia bertepuk tangan keras-keras. "Keren!" Ia mengacungkan jempolnya.   Gita mengibaskan tangannya. "Bahas akunya nanti lagi. Kita bahas masalahmu." Gita menyela ucapan Tari. "Jadi ... kamu gak ingin berteman dengan Akbar karena takut hatimu goyah, kan?" tanyanya to the point. Sepertinya dari cerita Tari, Gita sudah menangkap garis besarnya. Akbar adalah pacar Tari yang pertama seumur hidupnya. Bisa dibilang Akbar adalah cinta pertama Tari. Jadi jelas saja Tari masih sesekali mengingat Akbar. Sulit melupakan cinta pertama.   "Sebenarnya bukan karena goyah." Tari menjelaskan. "Tapi karena sekarang ada orang lain, yang sedang mencoba mengetuk pintu hatiku lagi. Dia sedang mencoba menerobos masuk, dan berusaha membuka pintu itu."   Gita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih diam. Menunggu kelanjutan cerita Tari.   "Tapi aku masih belum bisa membuka pintu itu dan membiarkan dia masuk. Karena pintu itu sempat terkunci rapat, dan kini kuncinya datang kembali ke kehidupanku."     °°°°                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD