Akbar menatap ekspresi wajah Tari. Gadis itu masih memandangnya sebal. Rahangnya tampak mengeras. Akbar sengaja ingin melihat ekspresi Tari selanjutnya saat ia berujar, "Atau jangan-jangan ... kamu masih menaruh rasa padaku?"
Dan benar saja.
Tari terkejut seketika. Mata gadis itu membelalak lebar.
Namun berikutnya gadis itu menampilkan ekspresi yang berbanding terbalik. Tari tertawa keras-keras. Hingga membuat meja mereka kini menjadi pusat perhatian.
Akbar kelabakan di tempat melihat Tari yang masih tertawa. Jelas saja tindakan Tari membuatnya malu.
Tari meredakan tawanya. "Apa? Aku gak salah dengar, Bar?" Ia mengangkat tangannya ke depan daun telinganya. Pura-pura membuka lebar-lebar telinganya. "Masih suka sama kamu?" tanyanya lagi. Ia terkekeh geli. Namun sedetik kemudian wajahnya langsung berubah datar. Tari berkata dengan tegas, "Jangan mimpi!"
Akbar terkesiap. Ia baru pertama kali melihat ekspresi Tari saat ini. Dahulu Tari tidak akan pernah memberinya ekspresi itu.
"Kita udah hampir empat tahun lamanya gak pernah bertemu, Bar. Gimana mungkin aku masih suka sama kamu?" Tari mengejeknya dengan senyum menyeringai. "Dan apa katamu tadi? Berteman? Aku bukan kamu yang biasa berteman sama mantan-mantan pacar kamu itu, ya!" Tari mendelik. Gadis itu melipat tangannya di depan d**a.
Akbar masih terdiam. Menunggu Tari melampiaskan amarahnya. Ia tahu, empat tahun lamanya pasti membuat Tari memendam banyak sekali uneg-uneg untuknya. Jadi ia hanya diam.
"Kamu tahu sendiri kalau kita berteman, itu berarti masa-masa pacaran kita saat itu gak ada artinya sama sekali. Artinya kamu gak punya perasaan apapun ke aku dulu," sambung Tari.
"Kata siapa? Kamu dengar teori konyol itu dari mana?" Akbar memprotes. Ia memajukan tubuhnya. "Kamu tahu sendiri gimana kita dulu yang saling menyayangi-"
"Maka dari itu-" Tari menyela ucapan Akbar. "-maka dari itu aku gak bisa berteman dengan kamu." Tari membenarkan posisi duduknya. Ia melihat dari kejauhan waiters tengah bersiap membawakan pesanan mereka. Waiters itu berjalan ke arah meja mereka.
"Jangan pernah menghubungkan tali silaturahmi dengan pertemanan yang kamu maksud, Akbar. Karena tanpa kamu sadari, ada setan yang menyusup dalam alasan tali silaturahmi yang kamu maksud."
"Apa? Maksud kamu apa?" tanya Akbar kebingungan.
"Pertemanan atau tali silaturahmi yang kamu maksud itu adalah cara kamu ingin mendekatiku lagi. Aku tahu." Tari men-skak perkataan Akbar. Ia menarik sudut bibirnya. Lalu melihat waiters yang kian mendekat ke meja mereka.
"Lagi pula ... aku udah punya calon tunangan."
Akbar terkesiap. "Calon ... tunangan?" tanyanya memastikan. Ia mencari tanda kebohongan dari manik mata Tari namun tak ia temukan. Tari tampak bicara dengan jujur. Dan entah mengapa, hal itu membuatnya terganggu.
Tari mengangkat sebelah alisnya sembari menyeringai. "Iya, calon tunangan. Kenapa? Kamu pikir, cuma kamu yang bisa dapatin hati orang lain setelah kita putus?" Tari mendecih.
"Aku tahu kamu pasti semudah itu dapat pacar baru setelah putus denganku. Dan yang paling membuat aku marah saat ini adalah kenapa kamu dengan seenaknya muncul di hadapanku tanpa rasa bersalah dan rasa berdosa sedikitpun?!" Tari berseru. Ia memelototi Akbar dan rahangnya mengeras.
"Mulai sekarang, jangan pernah muncul lagi di hadapanku atau pun di bank. Aku rasa kamu hanya perlu berurusan dengan Teller, jadi jangan pernah lagi sok muncul di depanku seperti sekarang," tegas Tari.
Waiters itu telah sampai di samping meja mereka. Dan meletakkan makanan untuk mereka. Tari beranjak dari duduknya. Saat berdiri, ia menunduk menatap Akbar yang terduduk bengong menatapnya. " Lima menit habis. Aku rasa gak ada lagi yang perlu dibicarakan," ucap Tari sembari tersenyum. Tari kini beralih menatap waiters itu. "Mbak, yang punya saya tolong dibungkus aja, ya."
Waiters itu langsung mengangguk dan mengiyakan permintaan Tari. Setelah itu, Tari beranjak dan melangkah ke samping kursi Akbar. "Aku pergi dulu." Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum manis dan bergegas menuju kasir. Akbar melihat punggung Tari yang menjauh, bahkan saat gadis itu mengambil sekantong pesanan makanannya. Dan Akbar masih memperhatikan Tari yang melangkah keluar kafe, menyebrang di zebra cross, lalu memasuki pelataran bank. Pemuda itu tersenyum.
"Wah. Wah. Tari, Tari. Kamu benar-benar berubah drastis." Akbar tersenyum lebar. Lalu ia menyeruput milk tea-nya. Tatapannya melunak. Ia kini menyesali perbuatannya pada Tari. Dulu, Tari tidak akan pernah menatapnya dengan tatapan seperti itu. Tari akan menatapnya dengan mata berbinar, penuh cinta, dan mengumbar senyum cerah.
Waktu itu Akbar tidak pernah menyadari bahwa Tari adalah gadis paling baik yang ia temui. Namun sekarang, Akbar menyesal. Ia menerawang jalanan yang bisa ia lihat dari jendela kaca besar di sampingnya.
Tari memberiku sebuah pedang yang kami sebut dengan cinta. Namun bukannya aku simpan pedang itu dengan baik, malahan aku hunuskan pedang itu padanya.
Aku mencabiknya dengan brutal hingga membuatnya kesakitan bertahun-tahun.
Namun Tari tidak pernah tahu, bahwa sesungguhnya aku pun ikut menderita saat menghunuskan pedang ke arahnya. Karena nyatanya, tanganku ikut tergores dan menghasilkan luka menganga yang sama besarnya.
°°°°
"What?!"
"Siapa?!"
"Akbar?!"
"Si k*****t itu muncul tiba-tiba? Kok bisa?!"
Tari menopang tangannya sambil menatap layar ponselnya. Ia menatap Nida dan Esti yang tengah bersungut-sungut dalam sambungan video call mereka.
Kemudian Tari menghela napasnya kasar. "Aku juga gak tahu dia tiba-tiba muncul gitu aja di sekitar bank. Dan dengan gak ada rasa bersalah sedikitpun, dia nyapa aku dong." Tari mendecih.
"Dengan seenaknya dia pergi dan datang gitu aja kek jelangkung. Nyebelin gak sih?!"
"Nyebelin!"
"Banget!"
"Tapi kok bisa sih dia tiba-tiba ada di situ? Bukannya terakhir kali dia bilang mau terus di Bandung, ya?" Esti mengerut dahinya.
"Iya. Dia kan dulu ngotot banget nyuruh Tari ikut pindah ke Bandung sama dia." Gantian Nida menimpali.
Tari kini mendesah sebal. Jika dipikir-pikir, benar ucapan kedua sahabatnya itu. Dulu Akbar selalu membanggakan kota kelahirannya itu. Pemuda itu bahkan menetap di Bandung semenjak ia lulus kuliah. Dan setahu Tari, Akbar tidak akan mungkin mau hijrah dari Bandung ke Jakarta begitu saja tanpa ada sesuatu di baliknya. Artinya ada alasan yang Akbar sembunyikan.
Kini Tari menyesal mengapa tidak ia tanyakan saja alasan Akbar kini tinggal di Jakarta.
"Duh, tadi aku gak tanya alasan dia lagi," ujar Tari kesal. Ia meremas rambutnya gemas. "Tapi ya udah deh. Biarin aja. Yang penting sekarang, aku harus lupain dia dan fokus ke Mas Radit sekarang." Tari mengepalkan tangannya.
Kedua sahabatnya tertawa di ujung sana.
"Iya dong. Kamu harus lupain dia." Esti menjeda. "Bukannya selama hampir empat tahun ini kamu udah berhasil ya?"
Tari menatap kedua sahabatnya dengan pandangan nanar. "Aku ..."
"Jangan bilang kamu belom move on ya dari si k*****t itu! Kamu udah move on kan Tari?" Nida menuduhnya.
"Iya. Udah kan? Terakhir kali kan dia malu-maluin kamu pas pesta wisuda angkatan." Esti mengingatkannya.
Ah, iya! Pesta wisuda angkatannya empat tahun lalu.
Itu saat terakhir kalinya ia bertemu dengan Akbar, sebelum akhirnya bertemu kembali. Pesta yang seharusnya menjadi kenang-kenangan berharga bagi Tari, namun akhirnya berujung mengerikan. Tari bahkan masih sering bermimpi tentang kejadian empat tahun lalu itu. Semuanya gara-gara ulah Akbar.
Tari kini menarik napasnya dalam. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk move on dari Akbar empat tahun belakangan. Move on yang ia maksud adalah dirinya yang tidak menangis atau sedih ketika mengingat-ingat kenangannya dengan Akbar dulu.
Dan Tari pikir, tahun lalu adalah tahun terakhir untuknya mengenang Akbar. Ia sudah mengubur harapan untuk kembali bertemu dengan Akbar pada saat itu. Karena nyatanya, setahun yang lalu pun, hatinya masih mengharapkan kemunculan Akbar. Tari terus berharap jika mereka mungkin saja berjodoh, dan Akbar menyesali putusnya hubungan mereka.
Namun, bahkan hingga tahun lalu pun Akbar tak kunjung datang lagi ke hidupnya. Hingga akhirnya membuat Tari menyerah.
"Aku udah bisa move on, kok." Tari tersenyum. "Kalian tenang aja."
°°°°°