Tari menarik napasnya. Ia menatap kedua ibu dan anak di depannya dengan serius. Bibirnya mulai terbuka. Setelah ini akan ia berikan jawabannya.
"Tari ..." Gadis itu membuka suaranya. Ia sengaja menggantung kalimatnya, sembari memikirkan kembali matang-matang jawabannya sudah tepat atau belum.
Mereka semua yang ada di meja itu penasaran. Terutama Radit.
Tari mendongak menatap Radit. Dengan tegas ia utarakan keputusannya. Setelah ia pikirkan sekian kali, jawabannya tidak berubah.
"Tari ... akan mencoba menerima perjodohan ini," ucapnya dengan senyum mengembang. "Namun sekali lagi, ini seperti taaruf, ya. Jadi gak memakan waktu lama-lama untuk saling mengenal. Tari rasa waktu tiga bulan itu cukup untuk kita saling mengenal dan pendekatan."
Nur, Melati terutama Radit menyungging senyum bahagia. Mereka menghela napas lega. Senang rasanya mendengar jawaban Tari. "Alhamdulillah," balas mereka kompak.
Tari mengedarkan tatapannya dan menatap Mamanya juga ibu Radit. Gadis itu tersenyum. Lalu menatap Radit yang tidak sengaja juga sedang memandangnya. Gadis itu sekali lagi tersenyum, lalu mengangguk menatap Radit.
°°°°
Tari berjalan berdampingan Radit menuju pintu keluar kafe. Mama dan Ibunya sudah berjalan di depan mereka sambil terus mengobrol. Mereka berdua tertawa cekikikan, seolah sengaja mengumbar kebahagiaan mereka dan saling memanggil nama masing-masing dengan "Besan".
"Saya senang akhirnya kamu menerima perjodohan kita," celetuk Radit tiba-tiba. Pemuda itu menunduk. Dari samping Tari bisa melihatnya tersenyum. "Saya pikir ada yang salah dengan jawaban keseratus pertanyaan itu, makanya kamu lama memberi keputusan," sambungnya. Pemuda itu mendongak dan memandang Tari.
Tari menarik sudut bibirnya. "Kenapa memangnya, mas? Apa mas pikir aku bakalan nolak?" tanya Tari dengan nada candaan. Tari terkekeh kecil lalu menatap kedua wanita paruh baya di depannya. "Aku mana bisa menolak pemuda yang mau menyanggupi menjawab keseratus jawaban itu, dan semuanya dijawab tulus. Tari bisa melihatnya." Tari mengalihkan tatapannya kembali pada Radit.
Radit terkekeh lalu menunduk menatap lantai.
Sebenarnya Tari masih canggung jika berbicara berdua saja dengan Radit. Pemuda itu sedikit pendiam, sepertinya sedikit tertutup. Radit itu pemuda yang tegas tapi bisa menyampaikan ketegasannya dengan cara yang benar, lembut dan tidak menyakiti hati. Tari menyukai perangai pemuda itu.
Tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan di benak Tari. "Boleh aku tanya satu hal, mas?" tanyanya.
Radit yang sejak tadi menunduk, sekarang mendongak lagi menatap Tari. "Boleh. Silakan."
"Kenapa mas jawab seratus pertanyaan itu dalam waktu lebih dari seminggu? Apa terlalu susah?" tanya Tari dengan alis terangkat.
Seratus pertanyaan itu memang ada yang susah, namun hanya beberapa saja yang susah. Paling kurang dari sepuluh nomor. Namun Radit tampak lama memikirkan jawabannya. Jadi Tari cukup penasaran.
Radit terkesiap kecil lalu mengulum bibirnya. Ia mengalihkan tatapannya, lalu menerawang.
"Jujur ... awalnya saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di dua halaman depan. Karena kebanyakan pertanyaan terkait diri sendiri. Lalu saat membuka lembar terakhir, pertanyaan itu sedikit membuat saya berpikir keras," jelas Radit dengan jujur. Ia melanjutkan, "Pertanyaan di halaman terakhir itu kan lebih banyak tentang kita berdua, jadi saya hati-hati dalam memikirkan jawaban. Bahkan sampai solat tahajud dan istikhoroh terlebih dahulu."
Tari menangkup bibirnya dengan telapak tangannya. Ia memandang Radit takjub. "Oh ya?" tanyanya. "Sampai solat istikhoroh segala?"
Radit menganggukkan kepalanya berulang kali. "Iya. Kan jawabannya gak bisa main-main. Saya gak bisa kasih jawaban asal kan? Harus benar-benar dipikirkan matang dan proses yang gak sebentar."
Tari masih memandang Radit takjub. "Jadi Mas Radit memang sengaja minta petunjuk gitu biar gak salah jawab?" tanyanya. "Kenapa gak jawab sesuai kata hati aja?"
Tari sekarang kebingungan. Mungkinkah Radit mengisi seratus pertanyaan itu dengan jawaban yang memang sengaja dilebih-lebihkan agar dapat membuat Tari senang. Apa pemuda itu tidak jujur mengisinya?
Radit langsung mendongak, ia mengibaskan tangannya mencoba membuat Tari menepis pikirannya. "Jangan salah paham, Tari!" serunya. "Saya memang mencari jawaban. Tapi saya juga sudah pikirkan matang-matang. Termasuk untuk terus setia padamu meskipun semisal kamu tidak diberi kesempatan dari Allah swt untuk mengandung." Radit menatap wajah Tari yang pias. "Saya solat untuk memantapkan hati saya dalam mengisi seratus pertanyaan itu."
Tari mengalihkan tatapannya. Ia kini mengerti maksud Radit. Jika dilihat dari sorot matanya, Radit memang berkata jujur. Jadi selama ini ia memantapkan jawabannya makanya membutuhkan waktu yang agak lama.
"Oke," sahut Tari singkat. Ia menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
Setelah ini, Tari makin penasaran atas hari-hari yang akan datang di depan.
°°°°
Tari berangkat ke bank dengan raut sumringah. Senyuman sejak tadi tak luput dari wajahnya. Gadis itu bahkan beberapa kali bersenandung. Lalu saat brifing pagi, Tari membacakan surat dan terjemah dengan lantang dan penuh semangat. Setelah itu gadis itu melayani dan membantu keperluan nasabah dengan senyum yang jauh berbeda dari biasanya.
Jika biasanya Tari akan tersenyum karena tuntutan pekerjaan, maka hari ini Tari akan otomatis tersenyum pada nasabahnya. Senyumannya jauh lebih tulus dan memancarkan sorot bahagia. Tari juga bersemangat dalam melayani nasabah. Hingga membuat Gita yang berada di sebelahnya ikut tersenyum memandang Tari. Meskipun banyak yang ingin ditanyakan Gita.
"Terima kasih sudah memercayakan dana Anda ke bank kami!" Tari berkata dengan penuh senyum. Terus begitu sampai melayani nasabah lainnya.
"Bagus, Tari!" Pak Fero tiba-tiba mendatanginya lalu mengacungkan jempolnya.
Untuk perihal pekerjaan, Pak Fero cukup profesional dan tidak terlalu mencampur- adukkan dengan urusan pribadi. Buktinya saat melihat Tari yang melayani dengan antusiasnya, Pak Fero langsung memujinya.
"Makasih, Pak!" Tari menyahut dengan cepat. Lalu kembali menghadapi nasabah di depannya.
Hari ini rasanya segala lelahnya terbayar. Tari baru tahu kalau rasanya akan selega ini menerima perjodohan dengan Radit. Tari tidak pernah mengira kalau ia akan tersenyum sepanjang hari karena tidak perlu pusing lagi memikirkan pencarian jodohnya. Tari akhirnya dapat menghela napas lega. Bahkan semenjak tiga tahun lalu, Tari belum pernah sesumringah hari ini.
°°°°
"Tari, kamu mau kemana?"
Langkah kaki Tari berhenti saat mendengar panggilan di belakangnya. Pak Fero dan Mas Firdaus menatapnya. Mereka heran melihat Tari yang biasanya hanya duduk dan menunggu pesanan makanan delivery-nya diantar, sekarang mau repot-repot keluar bank untuk membeli makan siang sendiri.
"Kamu mau beli makan siang di kafe depan?" tanya pria paruh baya itu. Pak Fero mengerut dahinya. "Sendiri?" tanyanya lagi.
Tari menganggukkan kepalanya. Lalu menjawab dengan antusiasnya. "Iya, Pak. Permisi." Gadis itu langsung melenggang keluar bank tanpa mendengar balasan dari Pak Fero lagi.
Gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki, karena memang jarak kafe dengan banknya hanya sekitar sepuluh meter. Artinya sangat dekat. Ia juga sengaja mengganti stilletto-nya dengan flatshoes, agar mudah untuk berjalan kaki. Tari pikir cuaca hari ini yang sangat cerah sangat mendukung suasana hatinya yang juga baik. Tari sesekali menyapa orang yang lewat di depannya, meskipun tidak ia kenal.
Sesampainya di kafe, Tari bergegas memesan. Ia sengaja memesan makanan yang sudah paket lengkap agar bisa sedikit berhemat. Tiba-tiba ia jadi teringat untuk tidak lagi boros dan menabung untuk pernikahannya.
"Nasi chicken katsu sama es kopi satu yang mbak. Ini udah sepaket, kan?"
Kasir di depannya mengangguk. Lalu menyuruh Tari untuk menunggu sebentar. Sembari menunggu, Tari membayar pesanannya. Ia sengaja memesan untuk dibungkus dan akan dimakannya di bank selagi bergantian jaga dengan Gita.
Selang beberapa menit, pesanan Tari sudah siap. Gadis itu bergegas keluar kafe setelah mengucapkan terima kasih.
Tari berjalan menyusuri trotoar dengan terus bersenandung kecil. Ia mengedarkan tatapannya, memandang jalanan yang lengang, langit yang kebiruan dan awan yang berarak, juga sekelilingnya.
"Tari?"
Tari hampir menjatuhkan gelas plastik dari tangannya ketika seorang pemuda menyebutkan namanya. Jalanan di depannya yang penuh dengan orang bersliweran, kini terasa kosong. Menyisakan dirinya dan pemuda itu.
Ia menatap pemuda itu yang kini tersenyum. Pemuda bermata sipit dengan senyum bulan sabitnya. Lesung pipinya begitu dalam saat pemuda itu tersenyum.
Pemuda yang sangat ingin dihindarinya. Pemuda yang sejak empat tahun lalu tanpa kabar. Pemuda yang meninggalkannya begitu saja saat ia sedang berada di titik terendah hidupnya. Pemuda yang membuatnya begitu sedih, hingga rasanya ingin mati saja.
Pemuda itu sekarang muncul dengan tiba-tiba di depannya, dengan senyuman santai tanpa rasa bersalah sedikitpun. Senyuman itu yang susah payah dilupakannya, namun kini harus mengingatnya lagi.
Pemuda itu ... Akbar. Mantan pacarnya.
"Kamu apa kabar?" sapanya. Ia belum menyadari jika Tari tak nyaman dengan senyuman itu.
Tari diam. Mulutnya ingin mengumpat, ingin membalas sapaan itu dengan makian, namun tidak bisa. Lidahnya tiba-tiba kelu. Bahkan sejak tadi pemuda itu memanggilnya, ia ingin berlari kencang saja dan meninggalkan tempat itu. Namun tidak bisa ia lakukan. Kakinya membeku, tidak bisa ia gerakkan.
"Baik."
Ia meremas gelas plastik berisikan es kopi di tangannya itu seolah menyalurkan perasaan gugupnya.
Bohong. Ia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini.
Akbar ... bagaimana bisa pemuda itu kini ada di hadapannya?
°°°°