9- KENAPA?!

1131 Words
Gita sejak tadi bingung karena melihat Tari yang banyak melamun dan murung sejak pulang dari Kafe. Ia ingin sekali menanyakannya langsung ke Tari, namun belum bisa ia lakukan. Karena ia masih melayani beberapa nasabah. Tari memang tersenyum melayani nasabah di depannya, namun setelah nasabahnya itu pergi, Tari kembali murung dan melamun. Seperti ada yang sedang dipikirkan. Gadis itu kentara sekali tidak fokus.   "Sstt ... sstt.." Gita mendongak. Mendapati Firdaus yang berada di depan biliknya, dan menyerahkan lembaran kertas pembukaan rekening baru. Pemuda itu mengisyaratkan untuk ikut menatap Tari. "Dia kenapa?" tanyanya.   Gita ikut memandang Tari yang tengah murung. Ia hanya bisa mengedik bahunya. "Gak tahu. Udah kek gitu sejak sejam lalu," sahutnya.   Firdaus hanya mengerut dahinya. "Bukannya dari tadi dia senyum-senyum sendiri terus nyanyi-nyanyi riang gitu ya? Kok jadi murung gitu?"   Gita membenarkan pertanyaan Firdaus. Ia pun bingung apa yang sebenarnya terjadi pada Tari, tentang Tari yang bahagia tadi pagi, lalu yang murung seperti sekarang. Hampir dua tahun lamanya ia mengenal Tari, Gita tidak pernah mendapatkan satu kali curhatan pun dari gadis itu. Tari begitu tertutup. Memang sih gadis itu masih baik dan pandai bergaul, tidak pendiam saat diajak berdiskusi urusan pekerjaan. Namun untuk urusan pribadi, Tari selalu menutup dirinya. Dan Gita tidak pernah memaksa Tari untuk bercerita dan terbuka padanya. Ia yakin suatu saat Tari akan terbuka dan menceritakan apapun padanya.   "Gua tadi sama Pak Fero tuh bingung kenapa dia mau-maunya beli makan sendiri ke kafe depan itu, dibanding delivery kek biasa. Eh pas dari kafe malah jadi murung gitu."   Gita terkesiap karena ternyata Firdaus masih ada di sampingnya. Nasabahnya kini sudah menanti untuk dipanggil. "Eh udah sono balik lagi ke back office. Gua masih harus layanin nasabah." Gita mendorong Firdaus dan mengusirnya dengan paksa. Setelahnya, gadis itu kembali memanggil nasabah di depannya.   "Antrian 77 ke CS 01!"     °°°   Tari memberesi tas kerjanya dan memasukkan perlengkapannya. Ia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjuk pukul enam sore. Sehabis solat maghrib ia akan segera pulang. Dengan satu hentakan ia tutup loker jenitor -tempat menaruh tasnya tadi- di depannya. Tari juga mengganti stilletto-nya dengan flatshoes-nya. Kebiasaannya sepulang kerja.   Tari duduk di depan musola banknya. Pandangannya mengedar. Beberapa rekan kerjanya tengah mengambil air wudhu. Dan karena waktu maghrib itu sempit, saat ini musola benar-benar ramai. Tempat wudhu baik pria maupun wanita harus antri. Tari menghela napasnya. Tiba-tiba ia teringat perjumpaannya tadi dengan Akbar, mantan pacarnya.   "Kamu apa kabar?" sapanya. Ia belum menyadari jika Tari tak nyaman dengan senyuman itu.   Tari diam. Mulutnya ingin mengumpat, ingin membalas sapaan itu dengan makian, namun tidak bisa. Lidahnya tiba-tiba kelu. Bahkan sejak tadi pemuda itu memanggilnya, ia ingin berlari kencang saja dan meninggalkan tempat itu. Namun tidak bisa ia lakukan. Kakinya membeku, tidak bisa ia gerakkan.   "Baik."   Ia meremas gelas plastik berisikan es kopi di tangannya itu seolah menyalurkan perasaan gugupnya.   Bohong. Ia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Akbar ... bagaimana bisa pemuda itu kini ada di hadapannya?   "Wah, kamu kerja di bank itu?" Akbar dengan wajah sumringah, dan seolah tanpa dosa, bertanya pada Tari. Pemuda itu menunjuk nametag dan logo bank tempat bekerja.   Tari melirik nametag-nya. Ia mengumpat dalam hatinya dan merutuki kebodohannya sendiri yang tidak melepas nametag itu. Ia hanya diam dan tak menggubris omongan Akbar. Buru-buru ia pamit, karena sudah tidak nyaman dengan keadaan canggung itu. "Aku duluan ya. Jam makan siang gak banyak. Buru-buru." Tari bergegas melangkah tanpa menunggu balasan Akbar. Gadis itu berlari kecil sembari merutuki dirinya.   Sesampainya di bank, Tari langsung memasuki pantry dan meletakkan makan siang dan es kopi yang tadi dibawanya ke atas meja. Ia meninggalkannya begitu saja. Tari berlari lagi menuju toilet di samping musola. Dengan gerakan cepat ia kunci pintu toiletnya. Makan siangnya tidak ia pikirkan lagi. Yang menjadi pikirannya sekarang adalah ...   "Kok dia ada di sini?" Tari bermonolog sendiri sambil menduduki closet. Jantungnya masih berdetak kencang sekali karena berlari tadi.   "Tadi aku gak mimpi kan? Atau salah orang kan?" tanyanya lagi.   Ia tidak takut orang di toilet sampingnya akan mendengar perkataannya karena toilet sengaja dipasang kedap suara. Tari memegang kepalanya. "Dari semua tempat kenapa dia harus ada di Jakarta?" Matanya bergerak kesana kemari. Ia bingung. Mendadak pusing.   "Ah! Maksudku ... dari semua tempat kenapa dia harus ada di Jaksel? Jakarta kan luas. Kenapa dia ada di sini?" Ia bertanya dengan frustrasi. Setahunya Akbar tinggal jauh di Bandung, dan pernah mengatakan padanya jika tidak akan ke Jakarta lagi setelah kelulusan mereka tiga tahun lalu. Ia juga tahu bahwa Akbar tidak akan ke Jakarta jika tidak ada urusan penting. Dan sekarang, melihat Akbar ada di dekat banknya, itu artinya Akbar tinggal tidak jauh dari sekitar sini. "KENAPA?!" Ia berteriak frustrasi.   "Tari ... Tar!"   Tari terkesiap dari lamunannya. Ia melihat Gita yang berdiri menjulang di depannya.   "Ngelamun aja maghrib-maghrib!" Gita mengibaskan tangannya di depan wajah Tari. "Udah, sana solat! Keburu waktunya habis."   Tari tampak linglung namun masih bisa tersenyum menanggapi perkataan Gita. Ia beranjak berdiri dan hendak melangkah ke dalam musola, namun tidak jadi saat Gita menarik lengannya. Langkah Tari terhenti.   "Kamu kenapa?" tanya Gita. Ia tampak khawatir melihat keadaan Tari. "Sakit? Kayak lemas gitu dari tadi, Tar."   Tari terkesiap kecil. Ia tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Enggak. Baik-baik aja, kok. Gak usah khawatir, mbak. Aku mau solat dulu."   Setelah mengucapkan kalimat itu, Tari bergegas memasuki musola. Ia tak sadar bahwa Gita mencemaskannya sekarang. Gita menggelengkan kepalanya memandang punggung Tari  menjauh. Ia hanya berusaha untuk berempati dengan keadaan Tari. Apa salahnya?     °°°°     Tari celingukan di depan parkiran, ia mengamati sekitar bank dan jalanan di sebrang bank. Tidak ada tanda-tanda pemuda itu. Sepertinya sejak tadi hanya kekhawatirannya yang berlebih. Setelah dirasa aman, Tari melangkah menuju motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Dengan sedikit mengebut, Tari meninggalkan halaman parkir banknya. Ia takut, bisa jadi tiba-tiba Akbar muncul entah darimana dan memergokinya.   Jalanan Jakarta malam ini cukup lengang. Tari melajukan motornya dengan pikiran yang melayang entah kemana. Ia masih kepikiran tentang pertemuannya dengan Akbar tadi siang. Dan pertanyaan-pertanyaan "Kenapa" masih terlintas di otaknya. Bahkan sampai di rumah pun, Tari masih bingung dengan kemunculan Akbar yang tiba-tiba.   "Tunggu!" Tari menghentikan langkah kakinya yang mengayun ke arah kamarnya. Ia teringat sesuatu.   "Dia berarti tahu tempat kerjaku dong." Tari mendesah panjang.   "Apa aku pindah kerja aja yah?" tanyanya bermonolog sembari membuka pintu kamarnya. Tari menutup pintunya dengan cukup keras. Lalu ia lemparkan tasnya ke atas kasur.   "Iya, dia gak akan tahu kalau aku udah pindah dari situ. Firasatku mengatakan kalau Akbar pasti bakal cari aku dan datang ke bank." Tari melangkah sembari mencopot satu per satu kancing jas kerjanya. Dengan sekali hentak, jasnya ia copot dan lempar ke atas kasur.   "Iya, aku pindah kerja aja deh. Mulai apply lowongan lagi." Tari melangkah mendekati kasurnya. Lalu mencopot kaus kakinya.   "Eh tapi nyari kerja sekarang tuh susah banget!" Tari mendaratkan bokongnya di atas kasur. Gadis itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan keras. "Duh gimana dong?" Ia meremas dan memukul-mukul kasur itu. Lalu menghentak-hentakkan kakinya. "Akbar k*****t! Kenapa sih dia harus muncul lagi?! Harusnya dia udah tenang di alam sana!"     °°°°              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD