Layar ponselnya menampilkan wajah Nida dan Esti di sana. Tari membaringkan dirinya sembari menatap dua sahabat jauhnya itu dengan muka masam.
"Jadi ..." Nida membuka suara. "... kamu masih belum yakin apa Radit itu berbeda sama cowok-cowok lain?"
Tari mendesah lagi. Kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya," sahutnya singkat.
Seperti biasa, jika ada permasalahan di kehidupannya sehari-hari, Tari pasti akan menceritakannya pada kedua sahabatnya itu, lalu mereka akan memberinya solusi. Ya meskipun terkadang solusinya tidak membantu sama sekali. Namun setidaknya Tari senang ada orang yang mau mendengarkan curahan hatinya.
"Udah deh, Tar. Kamu gak usah pusingin hal itu. Jalanin aja." Esti menyahut. Ia tampak menyangga dagunya sembari menyemil beberapa snack ke mulutnya.
"Betul, tuh. Kamu masih trauma gara-gara mantan kamu itu?" Nida menatap Tari datar. Ia sengaja memancing Tari. Ia ingin membuat Tari terbuka lebih jauh pada mereka, sehingga bisa menyelesaikan masalahnya dengan cepat.
Tari mendesah panjang, lalu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. "Aku takut. Takut kalau aku terlalu suka sama Mas Radit, terus tiba-tiba dia pergi gitu aja." Tari menghela napasnya yang mendadak menjadi sesak. "Aku takut dia pergi seperti yang lainnya. Aku trauma untuk kehilangan lagi yang kesekian kalinya."
Tari mengenang. Semuanya ... gara-gara mantannya itu. Tari jadi traumatis karena pemuda itu.
Ingin rasanya Tari terbebas dari trauma ini. Namun terkadang ingatan-ingatan masalalunya datang kembali, menyeruak masuk dan membuatnya lemah kembali. Tari rapuh, dan hanya ingin selalu dicintai, namun orang-orang itu dengan seenaknya meninggalkannya begitu saja. Tanpa perasaan.
"Gak usah trauma yang berlebihan seperti itu, Tar. Aku yakin kamu bisa ngendaliin rasa takutmu. Lagipula, si Akbar pasti udah bahagia sama cewek lain!" celetuk Nida tiba-tiba di tengah lamunan Tari.
Tari mengalihkan tatapannya kembali ke layar ponselnya.
"Ih, si Nida ..." Esti memperingati Nida untuk tidak macam-macam berbicara. Esti tahu Tari masih belum baik-baik saja jika kembali diingatkan tentang mantannya itu.
Mereka berdua saksi nyata bagaimana Tari yang menangis selama beberapa hari saat diputuskan secara sepihak oleh Akbar. Esti dan Nida adalah orang yang pertama kali didatangi Tari saat di kampusnya waktu itu.
Tepatnya tiga tahun lalu. Saat usia mereka masih 23 tahun. Dan selama itu pula Tari masih belum bisa menyembuhkan trauma yang dideritanya.
"Bener, kan? Akbar pasti udah bahagia sama cewek lain. Dia kan pakboi. Pasti gampang banget buat dia dapetin cewek manapun." Nida bersungut-sungut. Ia menunjuk-nunjuk layar ponselnya. Tepatnya menunjuk Esti. "Tari pantas bahagia dengan pemuda yang serius sama dia."
Esti dan Tari terdiam. Mereka membenarkan perkataan Nida. Akbar, mantannya itu pasti saat ini sudah bahagia dengan gadis lain. Setelah Tari yang sudah tiga tahun lamanya masih belum bisa menjalin hubungan dengan pemuda manapun, mantannya itu pasti dengan mudahnya berganti pacar. Jadi sudah selayaknya ia kini memulai hubungan yang baru bukan?
"Iya, Nida ada benernya." Esti menyetujui. "Jadi lebih baik mulai sekarang kamu buka hati kamu buat pemuda itu, Tari. Sudah waktunya kamu gak menutup pintu hatimu itu," ucapnya sembari tersenyum.
"Betul tuh." Nida menyahut. "Kalau kamu ragu, kamu bisa berdoa sama Allah swt. Minta petunjuk dari-Nya. Didoain, biar berjodoh, dan dijaga hatinya."
Tari menarik sudut bibirnya. Benar yang dikatakan kedua sahabatnya itu. Sudah waktunya ia membuka hati. Gadis itu menganggukkan kepalanya dengan senyum melekuk. "Iya! Sudah waktunya aku buka hatiku untuknya. Kalau bingung, berdoa. Kenapa aku takut-takut, ya?" Tari tersenyum lebar.
Setelah ini, Tari harap, Radit memang sosok yang disiapkan untuknya. Tari harap dirinya bisa menerima kehadiran Radit dan membuka hatinya untuk pemuda itu.
°°°
"Kamu sudah siap, sayang?"
"Sebentar, Ma!"
Tari mendengar seruan mamanya dari depan kamarnya. Dengan cepat ia bergegas menyelesaikan dandanannya dan kembali mematut diri di depan cermin. Tari merapikan hijab pashminanya kemudian menyematkan bros kecil berbentuk bunga. Setelah rapi, Tari mengambil slingbag-nya.
Dengan cepat ia melangkah ke luar kamarnya setelah memastikan dirinya sudah benar-benar cantik hari ini. Sambil menutup pintu kamarnya, ia berseru. "Sudah, Ma!"
Mamanya ternyata sudah melangkah menuju parkiran motornya.
Tari bergegas menyusul Mamanya. Saat melewati ruang tengah, adiknya menginterupsinya.
"Wih, rapih amat! Jadi kencan sama Mas-mas itu?" tanyanya. Arif, adiknya itu takjub melihat kakaknya yang berdandan dengan begitu cantiknya.
"Jadi." Tari menjawabnya. Kemudian ia melirik Papanya yang tengah asik menonton bola di samping adiknya itu. Papanya mendongak dan memandangnya. "Cantik. Salam ya." Tari mengangguk. Lalu beranjak mendekati Papanya.
"Tari berangkat dulu, Pa." Tari mencium tangan Papanya. Arif yang iseng, mengulurkan tangannya seolah meminta ikut dicium tangannya oleh Tari. "Yeh!" Tari menggeplak punggung tangan Arif dengan geram.
Arif terkekeh kecil melihat kakaknya itu geram. Lalu membiarkan Tari berlari kecil menuju pintu depan rumahnya. "Pulangnya bawain kebab!" serunya.
Seruan Arif tidak digubrisnya. Tari menyusul Mamanya dengan cepat. Sang Mama sudah duduk manis di atas motornya sambil bersidekap.
"Lama amat. Tante Nur sudah nunggu dari tadi nih," gerutu Mamanya.
Tari mengatur deru napasnya dengan cepat. "Iya, maaf, Ma." Tari bergegas membonceng mamanya.
Melati men-starter motor matic kepunyaan Tari dengan perlahan. Setelah dirasa siap, mamanya itu tancap gas. Motor itu melaju membelah jalanan Jakarta.
°°°°
Tari dan Mamanya sampai di depan kafe tepat sepuluh menit setelah mereka keluar dari rumah. Kafe itu tidak terlalu jauh dari rumah mereka, dan tadi mamanya melajukan motor lumayan ngebut. Membuat Tari hampir melompat saat melewati polisi tidur.
"Nanti jangan terlalu tertutup, ya. Yang ramah, banyakin senyum di depan Tante Nur." Mamanya memperingati Tari sembari menggandengnya memasuki kafe.
Tari mengangguk-angguk mengiyakan. "Oke. Lagian Tari udah ketemu mereka beberapa kali, kan."
Tari dan Mamanya celingukan mencari meja yang sudah di-booking oleh Nur. Mereka akhirnya harus kembali ke depan untuk bertanya pada pelayan kafe. Lalu setelah memahami letak meja Nur, Tari bergegas gantian menyeret mamanya itu ke meja yang dimaksud.
Dari jarak sekitar lima meter sebelum melangkah mendekati meja itu, Tari bisa melihat wajah Radit yang menyapa. Pemuda itu melambaikan tangannya begitu melihat kehadiran Tari dan mamanya. Radit malam ini mengenakan kemeja merah marun yang seragam dengan gamis ibunya. Tari bisa melihat Radit tampak sedikit terperangah saat mereka tadi tidak sengaja bersitatap. Mungkinkah karena malam ini Tari tampil beda?
"Maaf, ya, kami terlambat." Melati yang pertama kali membuka suara. Wanita itu langsung menduduki kursi di sebelah Nur. Lalu memasang tatapan bersalahnya. "Sini, sayang." Melati menepuk kursi di sebelahnya dan memandang Tari.
Tari sejak tadi kikuk dan hanya berdiri. "Iya." Gadis itu segera mendaratkan bokongnya di kursi di sebelah mamanya, dan tepat juga di sebelah Radit. Tari menatap Radit yang menunduk sembari terus tersenyum.
"Gak pa-pa, kok, Mbak." Nur menyahut. Lalu menatap Tari. "Mau pesan apa?" tanyanya. Wanita itu menatap mama dan anak di depannya secara bergantian.
Tari yang merasa ditanyai hanya menggelengkan kepalanya. "Ah, gak usah, Bu. Tadi Tari sudah makan sore."
Untuk pertemuan makan malam, seharusnya memang ada makanan, kan? Namun memang sudah kebiasaannya sejak dulu untuk pantang makan di atas jam enam sore. Dan Tari masih kenyang sejak jam makannya dua jam lalu.
Namun sebenarnya Tari sedikit tidak enak menolak tawaran Nur.
"Pesen aja. Makan lagi." Mamanya sedikit memelototi Tari.
Membuat gadis itu menghela napas.
Benar juga, untuk menghormati Nur dan Radit, jadi hari ini saja ia makan malam lagi. Persetan untuk dietnya.
"Ya udah. Pesen samain aja deh sama Mama." Tari mengalah. Ia menyerahkan buku menunya ke hadapan Mamanya.
Waiters datang dan mereka langsung menyebutkan menu pilihannya. Setelah waiters itu pergi, Nur menatap Radit dan berisyarat lewat tatapannya.
Berikutnya wanita itu menatap Tari dan Melati bergantian.
Nur memulai percakapan dengan kekehan kecil. "Ah, jadi nak Tari mungkin sudah mengerti kan kenapa kita semua dikumpulkan di sini?" Ia mulai membuka suaranya.
Tari mendongak. Gadis itu menatap Radit yang juga menatapnya, lalu pemuda itu mengalihkan matanya dan memilih menatap meja di depannya.
"Iya. Membahas tentang kelanjutan hubungan Tari dan Mas Radit, kan?" Tari berseloroh.
Sejak tadi di perjalanan menuju ke kafe, Tari terus memikirkan apakah bisa hatinya kembali menerima sosok laki-laki lagi?
Tari terus bertanya dalam hatinya tentang apakah benar semua jawaban yang ditorehkan Radit di kertas seratus pertanyaan itu murni dari lubuk hatinya? Tari sempat ragu lagi tadi. Namun pada akhirnya ia singkirkan kembali rasa takut yang menyergapnya itu. Ia tidak ingin juga lama melajang dan menunda pernikahan di saat Mamanya sekarang sudah jatuh hati pada Radit.
Dan pada akhirnya Tari memilih untuk melanjutkan hubungan itu. Toh, Radit adalah pemuda satu-satunya yang menyanggupi untuk menjawab keseratus pertanyaan itu.
"Iya. Benar, nak. Jadi ... bagaimana menurut nak Tari? Ibu kira Radit juga sudah mengisi keseratus pertanyaan itu." Nur berkata dengan lembut sembari menatap Tari dan Radit bergantian.
Radit akhirnya kini menatap Tari. Pemuda itu juga sepertinya penasaran akan jawaban Tari. Bisa dilihat dari sorot matanya yang menatap tepat ke manik milik Tari. Meskipun dengan raut datar, Tari bisa menebaknya.
Tari menarik napasnya. Ia menatap kedua ibu dan anak di depannya dengan serius. Bibirnya mulai terbuka. Setelah ini akan ia berikan jawabannya.
"Tari ..." Gadis itu membuka suaranya. Ia sengaja menggantung kalimatnya, sembari memikirkan kembali matang-matang jawabannya sudah tepat atau belum.
Mereka semua yang ada di meja itu penasaran. Terutama Radit.
°°°°