5- Alasan Tertawa Lepas

1090 Words
Saat ingin mengambil motornya di parkiran depan bank, Tari melihat sebuah mobil berwarna silver terparkir apik di pelataran bank. Mobil yang cukup asing bagi Tari karena jelas mobil itu bukan milik orang di bank, dan bukan pula mobil operasional bank. Dan orang yang menyandarkan tubuhnya pada mobil itu anehnya tak asing baginya. Dalam senja yang hampir berubah menjadi gelap, Tari masih bisa melihat wajah orang itu. Seorang pemuda yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru. Ia menunduk menatap rerumputan di pelataran bank. Tari memicingkan matanya. Dan terkesiap kala pemuda itu ternyata adalah Radit. Pemuda itu mengangkat kepalanya, lalu mengedarkan tatapannya saat menyadari di parkiran tidak hanya ada dirinya seorang. Melainkan ada sosok gadis yang ditunggunya sejak tadi. Radit tersenyum, melambaikan tangannya ke arah Tari. Lalu pemuda itu berjalan ke arah Tari dengan cepat.   Tari masih terkejut. Ia bahkan mengucak kelopak matanya, memastikan jika penglihatannya tidak salah. "Mas Radit?"   "Tari ..."   "Mas ngapain di sini?" Tari masih menganga menatap Radit di depannya. Pemuda itu tersenyum manis dan menggaruk belakang kepalanya.   "Mas nungguin aku keluar dari dalam?" tanya Tari lagi. Ia menutup mulutnya dengan tangannya untuk menyembunyikan ekspresinya. "Sejak kapan?"   "Gak lama, kok."   Jawaban dari Radit sontak membenarkan semua pertanyaan Tari. Radit memang menunggunya. Tari masih melongo. Pun saat Radit kembali membuka suaranya.   "Saya cuma mau ngasih ini," ucap Radit sembari menyerahkan tiga lembar kertas ke hadapan Tari. Yang langsung diterima gadis itu. "Sudah saya jawab semua, keseratus pertanyaan itu." Radit tersenyum manis menampilkan lesung pipinya.   Satu yang Tari ingat sore itu. Pemuda di depannya itu, tidak pernah berbohong saat mengatakan akan menyelesaikan keseratus pertanyaan konyol bikinan Tari.   Pemuda itu ... benar-benar serius pada Tari.   Tari sontak terkekeh geli. Lalu menatap kertas HVS dan Radit bergantian. "Beneran?" tanyanya.   Pertanyaan itu terdengar cukup ambigu bagi Radit. Pemuda itu langsung mendongak menatap Tari. Kebingungan dengan pertanyaannya. "Beneran-em?"   Tari masih terkekeh. "Iya, beneran ini udah diisi semua?" tanyanya, lalu membolak-balikkan kertas HVS itu dengan perlahan. "Seratus jawaban?" Ia membalik halaman terakhir kertas itu dan menemukan tiap jawaban dari Radit. Ada yang dijawab singkat, ada yang panjang. Semuanya menarik di mata Tari. Radit memang benar-benar satu-satunya pemuda yang mampu menjawab ke seratus pertanyaan itu. Mengetahui hal itu, Tari mendongak, dan makin terkekeh lebar. Radit terlihat polos dan itu cukup menggemaskan baginya. Tari mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke."       °°°°     "Itu cowok yang katanya mau jadi calonnya Tari?" Pak Fero menghentikan langkahnya saat akan menuju parkiran. Disusul oleh Gita, lalu beberapa rekan kerjanya yang lainnya. Mereka menyipitkan mata sembari memperhatikan Tari yang tengah berbincang dengan seorang pemuda yang asing di mata mereka. Tari tampak tertawa di depan pemuda itu. Itulah sebabnya mereka sedikit curiga ketika melihat Tari yang bisa sebahagia itu tertawa. Pasalnya selama hampir dua tahun ini mengenal Tari, gadis itu jarang sekali tertawa lepas seperti saat ini.   "Kayaknya itu bener cowok yang dibilang Tari." Gita ikut menyahuti. Ia lalu tersenyum memandangi dua orang dari kejauhan itu. "So sweet banget, sih! Akhirnya Tari ketemu belahan jiwanya juga!"   Beberapa orang yang sempat berhenti melangkah tadi, hanya menggeleng menyaksikan Pak Fero, atasan mereka itu yang masih terlihat kekanakan di usianya yang menginjak kepala empat. Mereka lalu melewati Pak Fero dan Gita begitu saja. Dan menuju kendaraan masing-masing. Mereka juga melewati Tari dan pemuda di depan Tari itu.   Gita menoleh ke arah Pak Fero. "Saya pulang dulu, Pak," pamitnya. Ia menatap atasannya itu dengan kekehan geli. Lalu terbirit menuju motornya.   "Wah, Tari, bener-bener! Nolak ponakan saya demi cowok kayak gitu." Pak Fero tampak kesal, lalu melangkah menuju mobilnya dengan geram. "Tapi ganteng cowok itu sih dari si Afdal."     °°°°   "Kamu beneran gak mau saya antar?" tanya Radit tiba-tiba saat Tari hendak memakai helmnya. Padahal sejak tadi Tari sudah keukeuh menolak tawaran Radit karena ia memang membawa motor sendiri, namun Radit pun lebih keras kepala.   Tari yang sempat terhenti mengenakan helmnya, lalu kembali melanjutkan tindakannya tadi memakai helm. Ia menatap Radit dengan senyuman. "Aku bisa pulang sendiri, Mas. Ini kan aku bawa motor." Tari menepuk-nepuk motornya.    Radit menatap motor matic merah milik Tari dengan anggukkan di kepalanya. "Beneran?"   Tari mengangguk mengiyakan. "Lagipula cuma kita berdua di dalam mobil, kan?" tanya Tari. Ia melirik mobil Radit. "Belum boleh, kan?"   Radit ikut menatap mobilnya, lalu menghela napasnya. "Ah, iya juga. Maaf, ya. Saya terlalu bersemangat." Radit meringis sambil menunduk. "Lain kali kalau ada ibu, kamu bisa bareng saya." Radit menatap Tari lalu menunduk menatap sepatunya. Ia mendadak malu pada Tari karena sikapnya yang kelihatan terlalu bersemangat. Kan Radit jadi tengsin!   Tari lagi-lagi terkekeh. "Oke." Setelah mengucap itu, Tari men-starter  motornya dan mengegasnya pelan. Ia berpamitan pada Radit. "Tari duluan, mas. Assalamualaikum." Tari melajukan motornya keluar pelataran bank dan mengklakson pada Radit.   Radit menjawab, "Waalaikumsalam." Ia menatap punggung Tari yang semakin menjauh. Lalu memperhatikan motor Tari yang melaju cepat membelah jalanan. Hingga membuat Tari ditelan tikungan dan menjadi kecil di matanya. Radit tersenyum. Kemudian terkekeh kecil sembari menunduk membaca salinan seratus pertanyaan itu. Ia juga tidak menyangka kalau akhirnya akan sanggup menjawab keseratus pertanyaan itu. Radit pikir, ia akan berakhir dengan tidak menjawab pertanyaan nomor seratus yang termasuk paling susah dijawab. Radit bahkan sampai solat tahajud dan hajat untuk meminta jawaban. Ia ragu awalnya. Namun kemudian ia yakin dan menjawab pertanyaan ke seratus itu. Kini pemuda itu berharap, akan memegang teguh seluruh jawaban yang dituliskannya pada kertas itu.     °°°°   "Kamu yakin ini yang isi beneran Radit?" Mamanya menatap kertas HVS di tangannya itu dengan tatapan tidak percaya. Matanya membelalak lebar seolah memastikan jika ia tidak salah baca. "Kamu gak yang isi ini terus dikasihkan ke Mama?" tanyanya lagi. Mamanya masih tidak percaya. Lalu mendongak memandang Tari.   Tari yang berdiri sambil bersidekap di ambang pintu hanya menganggukkan kepalanya dan mengangkat alisnya.   Melati kembali menatap kertas HVS itu. Ia memelototi kembali kertas itu, jika itu menyorotkan laser, mungkin kertas itu sudah berlubang. "Hebat!" Kemudian memandang Tari lagi. "Berarti Radit serius sama kamu, sayang. Gak main-main. Dia beneran udah kepincut sama kamu."   Tari terkekeh kecil lalu melangkah mendekati Mamanya. Ia langsung menarik kertas itu dari genggaman Mamanya. "Udah ya, Ma. Akan Tari koreksi dulu kertas ini. Dah, Mama!" Tari melangkah ke luar kamar mamanya dan melangkah ringan sembari bersenandung. Langkahnya mengayun pelan bagai balerina. Ia senang, akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengisi penuh kertas itu dengan jawaban.   "Gak usah dikoreksi! Langsung lolosin aja, ya! Kamu harus sama Radit pokoknya!"     Blam   Tari menutup pintu kamarnya dengan rapat. Lalu meletakkan kertas itu di atas meja belajarnya. Ia kembali bersenandung sembari mengganti bajunya. Tari juga cekikikan sendiri mengingat wajah menggemaskan Radit tadi. Di dalam ingatannya, ada Radit yang tengah tersenyum dan menyengir dengan lucunya. Ia belum pernah menemukan pemuda yang selucu Radit. Baru langkahnya akan menuju keluar kamar lagi, Tari tersadarkan satu hal.   "Astagfirulloh! Gak boleh terlalu berlebihan suka sama seseorang, Tari!"     °°°°    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD