4- Datang

1263 Words
"Assalamualaikum-" Tari menggantung kalimatnya. Ia tertegun memandang sosok nasabah di depannya. Seorang perempuan paruh baya berjilbab pink dan berdandan tipis. Perempuan itu yang mendatangi banknya seminggu yang lalu bersama putranya.   "Nak Tari apa kabar?" tanyanya dengan ramah. Wajah khas keibuan langsung menyapa Tari.   Tari tersenyum. "Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sendiri apa kabar?" tanya Tari. Lalu tatapannya mengedar mengawasi sekitar bank. Ia celingukan mencari seseorang yang mungkin datang bersama ibu itu. Namun sosok yang ia maksud tak datang bersama Ibunya.   Nasabah yang berada di depannya itu adalah ibu Radit. Ia menyadari Tari yang tengah mencari sosok putranya. Kemudian tersenyum. "Ibu gak datang dengan Radit hari ini." Nur, Ibu Radit, mengatakan itu dengan senyum mengembang. Kemudian meledek Tari yang tertangkap basah tengah mencari putra sulungnya itu.   Tari terkesiap kecil kemudian menyengir. Ia menggaruk belakang kepalanya. "Tari pikir Ibu datang dengan Mas Radit," katanya. Kemudian ia mulai menyadari jika hari ini Nur datang hanya sebagai nasabah biasa, yang memang ada keperluan dengan transaksi di banknya. "Apa sih yang aku harapin?" batinnya. Ia menggelengkan kepalanya menepis prasangka yang sempat hinggap di pikirannya. Kemudian Tari kembali menetralkan ekspresinya dan menanyakan keperluan Nur. Bagaimanapun juga, Nur itu datang sebagai nasabah yang harus ia layani. "Ada yang bisa Tari bantu, Bu?" tanyanya kemudian.   Nur kembali menyadari ada perubahan pada sorot mata Tari. Tadi gadis itu memancarkan sorot berbinar saat memandangnya, lalu saat tidak menemukan keberadaan Radit, Tari menjadi agak murung. Namun gadis itu bisa menyulapnya seolah baik-baik saja. Sayangnya Nur masih bisa melihat itu. "Ibu kesini ingin memperbaiki kartu ATM. Patah kemarin, kelindes ban motor." Nur berkata sembari menyerahkan kartu ATM-nya yang telah terbelah menjadi dua pada Tari.   Tari hanya tersenyum singkat dan segera mengkonfirmasikan terkait kartu yang patah tersebut. Lalu mengganti kartu yang patah dengan kartu yang baru. Dan langsung menyerahkannya pada Nur. "Ini, Bu. Silakan bisa konfirmasi sandi yang baru." Tari menyiapkan alat pencetak kata sandi, dan Nur langsung mengerti akan tindakannya selanjutnya. Setelah selesai, ia menyerahkan kartu itu kembali pada Nur. "Silakan disimpan baik-baik ya, Bu," ujarnya dengan ramah.   Nur tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke, nak Tari," sahutnya. Ia menatap Tari dengan tatapan yang sulit diartikan.   Tari memandangnya dengan senyuman. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya. Ia melihat Nur yang seperti enggan beranjak dan ingin menyampaikan sesuatu pada Tari. Namun Nur hanya diam. "Bu?"   Panggilan dari Tari membuat Nur tersentak dan tergagap. "Ah, anu Nak Tari-"   "Iya, Bu? Ada apa?" Tari mengangkat sebelah alisnya. Ia ikut bingung mendapat respon seperti itu dari ibunya Radit itu.   "Radit bilang kalau dia belum berani menemui nak Tari, karena dia belum menyelesaikan jawaban keseratus pertanyaan itu." Nur berkata sembari tersenyum. Lalu ia menggenggam tangan Tari yang berada di atas meja. "Jadi nak Tari gak perlu khawatir, ya. Ibu rasa Radit akan segera memberi jawabannya. Radit gak lagi menghindari nak Tari."   Entah mengapa, perkataan dari Nur membuat Tari sedikit lega. Ia seperti melihat oase di padang yang gersang. Mengetahui Radit memang sengaja tidak menemuinya dan akan menunggu sampai menyelesaikan semua pertanyaannya, membuat hati Tari menghangat. Itu artinya, Radit memang memegang perkataannya kan? Tari tersenyum lega.   °°°     Keesokan harinya, masih beredar rumor yang mengaitkan Tari. Tepatnya tentang pria yang akan menjadi gebetan Tari. Beberapa staf yang berteman dekat dengan Tari akan langsung menanyakan hal itu pada gadis berkacamata itu. Dan Tari juga akan langsung menjawabnya hanya dengan kalimat seperti "Doakan saja, ya.".   Namun tentunya ada satu pria yang masih merecoki Tari dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya. Siapa lagi kalau bukan Pak Fero. Pria itu sejak istirahat masih memasang wajah penasarannya.   "Laki-laki itu dari mana? Kok gak dikenalin ke kita?"   Dan Tari pasti hanya tersenyum canggung menanggapinya.   "Saya tahu kamu belum benar-benar punya calon kan? Sudah, sama keponakan saya saja." Pak Fero mengatakan itu semua dengan nada mengejek. Membuat Tari jengah.   Tari akhirnya hanya melengos, dan terus menghindari orang-orang di banknya termasuk Pak Fero dan Gita. Ia akan seharian disibukkan oleh berbagai macam pekerjaan, lalu istirahat seorang diri, dan makan siang sedikit telat dari lainnya. Tari hanya malu pada akhirnya ia akan dicap sebagai pembohong dan dicap menyedihkan.     °°°°   "Radit belum ngabarin kamu?" Mamanya menghampiri Tari yang sedang berada di kamarnya sepulang dari kantornya.   Tari mengedik bahu. Lalu menghadap ke buku catatan hariannya. "Tau, ah," ucapnya. "Tapi tadi ibunya datang ke kantor."   "Iya, tadi Nur bilang sih ke Mama. Katanya dia ketemu kamu di bank." Mamanya menatap Tari dari samping.   Tari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, tadi sore ketemu. Terus ibunya sih bilang kalau mas Radit pantang ketemu aku sebelum menyelesaikan seratus pertanyaan itu, Ma." Ia mencebik bibir. "Emang butuh berapa hari sih buat ngisi itu? Bukannya dua atau tiga hari aja cukup, ya?" Tari menatap Mamanya bingung.   Mamanya mencebik. "Ya mana Mama tahu! Kamu kan yang bikin seratus pertanyaan itu. Suruh siapa kamu bikin gituan!" Mamanya beranjak dan melangkah keluar dari kamar Tari. "Rasain ya. Abis ini misal Radit pada akhirnya gak mau sama kamu, Mama gak akan nyariin kamu calon jodoh lagi deh. Kamu cari sendiri ajah!" Mamanya berkata di ambang pintu. Lalu menutupnya dengan sedikit hentakkan membuat pintu itu menimbulkan suara yang cukup keras.   "Ih, Mama ..."   Tari menatap Mamanya yang keluar dari kamarnya dengan kesal. Namun Tari tidak bisa begitu saja disalahkan atas semua ini. Tari hanya trauma menjalin hubungan dengan laki-laki kembali. Bukan salahnya jika akhirnya ia jadi waspada dan membatasi dirinya dengan pemuda manapun. Keseratus pertanyaan itu juga hanya satu-satunya cara untuk Tari sedikit melonggarkan batasan-batasan itu. Itu hanya cara agar Tari bisa melindungi hatinya lagi, agar tak lagi patah.   Namun ia juga sedikit menyesal jika memang perkataan Mamanya itu benar. Bagaimana jika memang benar akibat seratus pertanyaan itu, pemuda-pemuda itu akhirnya menyerah pada Tari. Terlebih ada satu pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab laki-laki manapun.         °°°°     Hari ini bank lumayan tenang. Tidak sebising kemarin hari di mana rekan kerja Tari akan langsung memberondong Tari dengan pertanyaan-pertanyaan menyesakkan. Hari ini suasananya damai. Bagai tidak memedulikan diri Tari. Semuanya berjalan damai, hingga jam pulang kantor. Gita bahkan seharian tak mengatakan hal apapun terkait orang yang akan menjadi calon Tari itu. Ajaibnya, Gita hanya membahas banyak hal terkait kantor atau bank lain. Pukul lima sore, Tari berpamitan untuk pulang ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Aku balik duluan, ya!"   Saat ingin mengambil motornya di parkiran depan bank, Tari melihat sebuah mobil berwarna silver terparkir apik di pelataran bank. Mobil yang cukup asing bagi Tari karena jelas mobil itu bukan milik orang di bank, dan bukan pula mobil operasional bank. Dan orang yang menyandarkan tubuhnya pada mobil itu anehnya tak asing baginya. Dalam senja yang hampir berubah menjadi gelap, Tari masih bisa melihat wajah orang itu. Seorang pemuda yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru. Ia menunduk menatap rerumputan di pelataran bank. Tari memicingkan matanya. Dan terkesiap kala pemuda itu ternyata adalah Radit. Pemuda itu mengangkat kepalanya, lalu mengedarkan tatapannya saat menyadari di parkiran tidak hanya ada dirinya seorang. Melainkan ada sosok gadis yang ditunggunya sejak tadi. Radit tersenyum, melambaikan tangannya ke arah Tari. Lalu pemuda itu berjalan ke arah Tari dengan cepat.   Tari masih terkejut. Ia bahkan mengucak kelopak matanya, memastikan jika penglihatannya tidak salah. "Mas Radit?"   "Tari ..."   "Mas ngapain di sini?" Tari masih menganga menatap Radit di depannya. Pemuda itu tersenyum manis dan menggaruk belakang kepalanya.   "Mas nungguin aku keluar dari dalam?" tanya Tari lagi. Ia menutup mulutnya dengan tangannya untuk menyembunyikan ekspresinya. "Sejak kapan?"   "Gak lama, kok."   Jawaban dari Radit sontak membenarkan semua pertanyaan Tari. Radit memang menunggunya. Tari masih melongo. Pun saat Radit kembali membuka suaranya.   "Saya cuma mau ngasih ini," ucap Radit sembari menyerahkan tiga lembar kertas ke hadapan Tari. Yang langsung diterima gadis itu. "Sudah saya jawab semua, keseratus pertanyaan itu." Radit tersenyum manis menampilkan lesung pipinya.   Satu yang Tari ingat sore itu. Pemuda di depannya itu, tidak pernah berbohong saat mengatakan akan menyelesaikan keseratus pertanyaan konyol bikinan Tari.   Pemuda itu ... benar-benar serius pada Tari.     °°°°                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD