6- Ragu

1054 Words
Tari memang senang mengetahui Radit yang sanggup mengisi keseratus pertanyaan itu dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu, namun ia masih memiliki sedikit keraguan pada Radit. Ia masih belum begitu yakin dengan pemuda itu. Aneh, kan? Radit jelas adalah tipe suami idaman Tari, ditambah lagi bonus wajah ganteng pemuda itu. Radit pemuda baik-baik yang pasti akan mampu bertanggungjawab ke depannya. Namun sekali lagi Tari meyakinkan diri dan hatinya agar tidak mudah jatuh. Ia hanya tidak ingin kembali sakit hati. Sakit hati yang ia rasakan setelah sekian tahun. Karena satu laki-laki yang membuatnya menangis selama seminggu lamanya.   Tari takut. Dan kembali takut untuk mengenal laki-laki.   Karena mantannya itu.   "Tari!"   Tari mendongak. Ia lagi-lagi tertangkap basah tengah melamun di tengah brifing pagi. Dan kali ini tentu saja Pak Fero tidak akan membiarkannya lolos.   "Baca surat dan terjemahannya!" Pak Fero memelototi Tari.   Tari melihat tatapan sinis dari pria itu. Rupanya Pak Fero masih menyimpan dendam padanya. Kekanakan!   "Saya akan membacakan surat Al Baqarah ayat 115-117 beserta terjemahannya." Tari berseru lantang. Ia membuat orang di sekelilingnya terdiam, dan kembali fokus berdoa. Bibirnya mungkin berhasil membacakan surat dan terjemahan itu dengan lancar tanpa salah kata satu pun. Namun pikirannya melayang entah kemana. Tari tidak fokus, namun mencoba fokus. Ini semua gara-gara orang itu.     °°°°   "Assalamualaikum, Selamat Pagi. Ada yang bisa saya bantu?"   Bank ramai. Nasabah memenuhi kursi tunggu antrian. Mereka memadati bank karena hari ini adalah hari di tanggal muda. Banyak dari mereka yang mengambil gaji bulanan mereka di bank tempat Tari bekerja. Padatnya bank hari ini membuat hampir semua karyawan sibuk. Mulai dari frontliner, back office, hingga satpam. Semuanya kewalahan karena membludaknya antrian. Kursi tunggu antrian bahkan tidak tersisa lagi untuk para nasabah yang baru datang. Dan yang Tari tahu, ia masih akan kewalahan sampai tiga hari ke depan. Masih akan terus berfokus pada pekerjaannya terlebih dahulu dibanding hal lainnya. Termasuk tentang perjodohan itu dan Radit. Padahal Mamanya dan Ibunya Radit akan  membuat janji temu untuk mereka. Namun entah Tari masih bisa menemui Radit dan Ibunya itu atau tidak.   "Terima kasih sudah mempercayai tabungan Ibu di bank kami, ya." Tari berdiri, mengucapkan kalimat tersebut sembari menangkup kedua telapak tangannya di depan d**a. Tari tersenyum ramah, dan masih mempertahankan senyumannya itu sampai nasabahnya beranjak dan melangkah menjauh dari biliknya. Kemudian, Tari bergegas memanggil nasabah lainnya, dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya. Dalam kondisi apapun, ia harus tersenyum. Dan selalu tersenyum. Meskipun hatinya sedang sedih, meski ia marah, meski ia kesal, semua itu demi kenyamanan nasabahnya, dan membuat nasabahnya senang.   Tari bersiap. Menarik napas, dan tersenyum lagi. "Assalamualaikum, Selamat Pagi. Ada yang bisa saya bantu?"     °°°°     Tari melemparkan tubuhnya ke kasurnya. Lalu menghela napas lega sembari menyurukkan kepalanya ke bantal kesayangannya. Hal yang paling ia sukai setiap pulang dari kantor. Ia terlentang menghadap langit-langit kamarnya. Tari memejamkan matanya, sejenak merasakan ketenangan dan angin yang menyapa dirinya. Ia lelah seharian bergulat dengan nasabah. Bahkan tadi Tari hanya sempat beristirahat setengah jam, itu sudah termasuk solat dan makan siang. Ia tidak bisa dan tidak tega membiarkan nasabahnya menunggunya lama. Tari kini membuka mata, menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ia terpikirkan ide makan malam yang diusulkan Mamanya. Omong-omong, sudah dua hari sejak Tari bertemu Radit di parkiran tempo hari, ia masih belum bertemu lagi dengan pemuda itu. Mereka sama-sama sibuk. Lagipula Tari tidak ingin mengganggu Radit. Meskipun mereka sudah bertukar nomor ponsel, namun Tari masih sungkan untuk mengobrol apalagi mengirim pesan terlebih dahulu untuk Radit. Tari masih mengenakan jasnya saat berbaring tadi. Ponselnya yang berada di saku jasnya tiba-tiba bergetar. Dengan enggan Tari merogoh saku jasnya, kanan dan kiri, kemudian sadar jika ponselnya ada di kiri. Bergegas ia buka ponsel itu, dan membaca siapa pengirim pesan itu. Mata Tari melotot begitu membaca nama si pengirim pesan itu. Radit. Namanya terpampang jelas di layar ponselnya. Tari mendadak penasaran akan apa isi pesan Radit untuknya, setelah dua hari tidak bertemu.   Kamu sudah baca dan koreksi jawaban saya di seratus pertanyaan itu?   Tari terkejut. Ia langsung beranjak terduduk. Matanya masih memandangi pesan dari Radit. Kemudian gadis itu kini memandang lembaran kertas di atas meja kamarnya. Lembaran yang baru ia baca sekilas lusa lalu, dan ia disibukkan banyak hal sehingga belum sempat menyelesaikan membaca jawaban dari Radit di seratus pertanyaan itu. Tari sontak menepuk jidatnya. Ia bukannya sengaja untuk mengabaikan Radit. Pasti akan segera ia selesaikan membaca jawaban-jawaban itu. Namun ia belum sempat saja. Dengan cepat Tari mengetikkan jawaban untuk Radit. Ia tidak ingin membuat Radit berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. Mungkinkah Radit akan berpikir jika Tari mempermainkannya dengan seratus pertanyaan itu?   "Ah, gak mungkin! Radit gak mungkin suudzon gitu." Tari bermonolog. Ia mengibaskan tangannya sendiri, lalu menunggu balasan dari Radit selanjutnya.   Lestari Ayu: Eh, iya mas. Sudah sebagian, tapi masih perlu Tari baca lagi halaman selanjutnya.   Raditya Hermanto: Oke. Saya tunggu.   Klik   Setelah itu Tari tidak membalas pesan terakhir dari Radit. Ia hanya mendekap ponselnya singkat sambil mendesah pelan. Lalu diletakkannya ponsel itu ke atas meja. Kini tangannya terayun menggenggam lembaran kertas berisi jawaban Radit itu. Ia pandangi kertas itu dengan nanar.   "Apa yang harus aku lakuin sama kamu, Mas?"       °°°°   Layar ponselnya menampilkan wajah Nida dan Esti di sana. Tari membaringkan dirinya sembari menatap dua sahabat jauhnya itu dengan muka masam.   "Jadi  ..." Nida membuka suara. "... kamu masih belum yakin apa Radit itu berbeda sama cowok-cowok lain?"   Tari mendesah lagi. Kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya," sahutnya singkat. Seperti biasa, jika ada permasalahan di kehidupannya sehari-hari, Tari pasti akan menceritakannya pada kedua sahabatnya itu, lalu mereka akan memberinya solusi. Ya meskipun terkadang solusinya tidak membantu sama sekali. Namun setidaknya Tari senang ada orang yang mau mendengarkan curahan hatinya.   "Udah deh, Tar. Kamu gak usah pusingin hal itu. Jalanin aja." Esti menyahut. Ia tampak menyangga dagunya sembari menyemil beberapa snack ke mulutnya.   "Betul, tuh. Kamu masih trauma gara-gara mantan kamu itu?" Nida menatap Tari datar. Ia sengaja memancing Tari. Ia ingin membuat Tari terbuka lebih jauh pada mereka, sehingga bisa menyelesaikan masalahnya dengan cepat.   Tari mendesah panjang, lalu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. "Aku takut. Takut kalau aku terlalu suka sama Mas Radit, terus tiba-tiba dia pergi gitu aja." Tari menghela napasnya yang mendadak menjadi sesak. "Aku takut dia pergi seperti yang lainnya. Aku trauma untuk kehilangan lagi yang kesekian kalinya."   Tari mengenang. Semuanya ... gara-gara mantannya itu. Tari jadi traumatis karena pemuda itu. Ingin rasanya Tari terbebas dari trauma ini. Namun terkadang ingatan-ingatan masalalunya datang kembali, menyeruak masuk dan membuatnya lemah kembali. Tari rapuh, dan hanya ingin selalu dicintai, namun orang-orang itu dengan seenaknya meninggalkannya begitu saja. Tanpa perasaan.     °°°°            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD