10- Mimpi

1070 Words
Beberapa tahun belakangan, bayanganmu tak lagi sering muncul, aku pikir aku akhirnya berhasil melupakanmu. Bukan hal yang mudah memang, tapi aku pikir aku telah berhasil. Sampai akhirnya kamu muncul lagi di hadapanku kemarin. Lalu entah bagaimana ceritanya, aku mimpi tentang kita.   Di dalam mimpiku, kita berdua kembali ke jaman kuliah di masa-masa yang tidak pernah ingin kulupakan tadinya. Yaitu sekelebat adegan saat kita berdua berboncengan di atas motormu. Aku masih ingat sepanjang jalan ada hamparan sawah yang membujur di samping kita, di atas jalan berbatuan itu. Aku duduk di belakangmu, berpegangan erat pada bajumu, tidak berani melingkarkan tanganku untuk memelukmu seperti yang aku ingin. Lihat, bahkan di dalam mimpi pun aku masih tahu diri. Angin meniup rambutmu, mengibarkannya kebelakang, membawa serta aroma sampomu. Kita berkendara cukup lama, memberiku cukup waktu untuk merasa bahagia karena bisa berada bersamamu. Dulu.   Lalu kamu tiba-tiba menarik tanganku, melepaskan cengkeramanku dari bajumu untuk kemudian memindahkannya agar aku bisa memegang pinggangmu. Menyatukan kedua tanganku di depan perutmu, sehingga aku bisa memelukmu seperti adegan drama yang kutonton. Aku masih ingat telapak tanganmu yang lebar, sekilas mengelus punggung tanganku sebelum akhirnya kembali pada stang motor, tentu kamu tidak ingin kita berdua jatuh di atas jalan berkerikil itu.   Lalu kemudian kamu memberhentikan motor di tepi sebuah laut. Aku masih ingat saat itu sudah mulai senja. Air laut yang dulu masih jernih mungkin tidak lagi sejernih sekarang. Gelombangnya menggulung, mengaburkan tulisan nama kita masing-masing di atas pasir. Kemudian kamu tersenyum memandangku ketika tulisan itu akhirnya hilang. "Yah, tulisannya pudar."   Begitu katamu. Kamu masih sempat tertawa kepadaku. Kamu mungkin tidak tahu jika sejak dulu aku mengagumi suara tertawamu.   Kemudian kamu membawaku ke gubuk kecil di tepi laut. Kita duduk berdua menghadap  laut. Warna air laut membias jadi berwarna keemasan, dilibas cahaya senja. Aku ingat kamu begitu fokus, sementara aku diam-diam melirik kesamping, berusaha melihatmu. Betapa senangnya perasaanku senja itu.   Lalu mimpi pun berganti ke adegan yang sangat ingin kulupakan. Hari di mana semuanya terjadi. Meski dengan wajah menunduk, kamu akhirnya memberanikan diri melontarkan kalimat yang paling menyakitkan yang pernah kudengar.   "Aku ingin kita putus," katamu. Sedetik berikutnya kamu mendongak. Memandangku yang kebingungan di tempat menatapmu. Aku terkekeh. Kukira hari itu aku salah dengar. "Kamu bercanda, Bar? Jangan nge-prank ya." Tanganku terangkat, meraih lengan bajumu. Namun seiring kekehanku, kulihat raut wajahmu yang serius membuatku terkejut. Kamu tidak pernah seserius itu. Dengan menghela napas, kamu berusaha melepaskan jemariku yang menggapai lenganmu. Dengan sorot tegas kamu mencoba menghentikanku. Kamu ingin agar aku melepasmu pergi.   "Maafin aku, Tar. Kupikir kita berdua gak bisa kayak dulu lagi." Katamu waktu itu. Aku menggeleng kuat-kuat. "Maaf, Tari..."   Hari itu aku masih tidak menyangka bahwa akhirnya kamu akan melontarkan kalimat itu. Padahal sebelumnya kita baik-baik saja. Bahkan bertengkar pun jarang, namun mengapa kamu tiba-tiba memutuskan hubungan kita saat itu?   "Kenapa?" Aku bertanya sambil menangis. "Apa salahku? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus?"   Kamu hanya menggelengkan kepalamu. Lalu menjawab dengan kalimat yang sangat menyakitkan lainnya. "Kamu gak pernah salah apapun. Aku yang salah. Aku yang udah merasa bosan sama kamu. Maafin aku."   "Akbar ..."   Hingga akhirnya kamu berhasil melepaskan kaitan jemariku di lengan bajumu. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku di depan pintu kos-kosanku. Aku menatap punggungmu yang mulai menjauh hari itu. Kamu ditelan senja. Apa kamu tahu aku menangis semalaman waktu itu? Dan masih menangis seminggu setelahnya.   KRING   Tari tersentak kaget. Matanya terbuka lebar dan menatap langit-langit kamarnya. Napasnya tersengal. Detak jantungnya cepat sekali bertalu. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya, berulang kali ia lakukan untuk menetralkan detak jantungnya.   "Kenapa?!"   Tari masih menatap langit-langit kamarnya. Ia remas rambutnya dengan gemas.   "Kenapa aku mimpi itu?! Padahal udah lama aku gak mimpi itu lagi. Kenapa tiba-tiba mimpi buruk itu lagi, sih?!" jeritnya tertahan sembari menutup matanya.   "Pasti gara-gara ketemu Akbar lusa kemarin. Ah, sial!"     °°°°     Tari berangkat ke kantor dengan mata sembab. Gara-gara semalam ia tidak bisa tidur, lalu harus bermimpi tentang 'orang itu'. Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor padahal ia sudah mencoba membenarkan make-up-nya, lalu mencoba menutupi kantung matanya. Naamun tidak berhasil. Kantung matanya yang terlalu hitam, tidak bisa ditutupi bahkan oleh concealer sekalipun.   "Pagi, Tari," sapa Gita saat melihat Tari yang duduk di pantry seorang diri. Tari hanya tersenyum dan mengangguk lesu.   Gita lagi-lagi dibuat bingung oleh sikap Tari. Pasalnya gadis itu masih saja lesu sejak kemarin. Gita mendudukkan dirinya di kursi sebelah Tari. Ia mengamati wajah Tari dengan seksama  "Mata kamu kenapa?" tanyanya saat melihat ada yang salah dari wajah Tari. Tepatnya kantung mata Tari yang sangat hitam.   Tari mendongak dan menggumam. "Hm?" Tari memasang wajah bingung lalu mengerjap. "Oh, ini?" Ia menunjuk kantung matanya. Gita mengangguk. "Cuma karena kurang tidur doang, kok." Setelah itu Tari tersenyum tipis. Dan kembali melanjutkan kegiatannya tadi, memasukkan tas kerjanya dan flatshoes-nya ke dalam loker jenitor.   "Kurang tidur? Tumben." Gita mengangkat sebelah alisnya lalu ikut memasukkan perlengkapannya ke dalam loker. Ia menatap Tari dari samping. "Begadang?"   Tari menutup lokernya dengan sekali hentak, dan menjawab, "Iya, semalem abis nonton film sama adek." Bohong. Mengapa ia selalu berbohong pada Gita tentang segala permasalahannya?! Terkadang Tari merasa bersalah karena begitu tertutup untuk urusan pribadi pada Gita. Namun saat ia juga belum siap untuk membagi kisahnya. Ada rasa cemas dan takut, saat Gita mengetahui tentang Tari yang sebenarnya, Gita malah menjauh. Dan Tari tidak ingin itu terjadi.   Gita hanya mengedik bahunya. Lalu menutup lokernya. Ia tahu batasan untuk tidak menanyakan lebih lanjut. "Udah sarapan? Kamu lesu banget kelihatannya." Akhirnya Gita hanya dapat mengatakan hal itu.   Tari tersenyum lalu mengangguk. "Udah, kok." Gadis itu menggandeng lengan Gita dan menariknya masuk ke dalam bank. "Yuk."   Gita balas tersenyum, lalu mengikuti tarikan tangan Tari. Ia tahu ada hal yang membuat Tari menjadi seperti ini. Ia tahu ada yang ingin disembunyikan Tari. Namun ia juga tidak ingin memaksa Tari untuk menjawab semua pertanyaannya dengan lebih terbuka. Gita hanya bisa menunggu. Menunggu sampai Tari bisa menceritakan semuanya sendiri padanya.     "Mbak Tari, tadi ada yang kasih bunga sama note. Udah saya taruh di atas meja, ya."   Lamunan Gita buyar. Gita mendongak menatap Pak Agus, office boy bank mereka, tengah mengatakan sesuatu pada Tari. Kemudian ia melihat Tari tampak terkejut, namun masih dapat mengendalikan ekspresi wajahnya. Tari tampak memaksa senyumnya.   "Terima kasih, Pak," sahutnya. Tari melepas tautan tangannya dari Gita, lalu melangkah ke biliknya sendiri.   Jika hubungan pertemanannya dengan Tari sudah loyal, pasti sekarang Gita sudah mengikuti Tari dan ikut membaca note yang diberikan itu. Gita hanya dapat memandangi Tari yang sudah masuk ke biliknya sendiri dan membaca note itu. Gita masih memandangi Tari sembari duduk. Ada yang mengusik diri Gita. Mengapa Tari tampak terkejut dan gugup saat membaca isi note itu? Kira-kira siapa yang sudah mengirimkan bunga dan note itu untuk Tari?     °°°          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD