21- Negosiasi

1358 Words
"Maaf ya, aku telat banget." Tari memasang raut penuh penyesalan saat tiba di hadapan Radit. Gadis itu meringis lebar.   Radit terkekeh. "Gak apa. Kamu gak nyasar kan?" tanyanya meledek.   Tari memberengut. "Enggak dong. Emangnya aku anak kecil." Berikutnya gadis itu terkekeh.   Radit menganggukkan kepalanya. "Mau lihat-lihat?" tanyanya. Ia mengayunkan tangannya seolah mengintruksi Tari untuk melihat hasil karyanya.   Tari tentu saja mengangguk antusias. Matanya berbinar melihat berbagai produk bercorak desain batik. Mulai dari baju, kaus, tas, sepatu, hingga helm. Semuanya menarik perhatiannya. "Wah." Tari membuka bibirnya. "Ini produk dari klien-klienmu, Mas?" tanyanya sembari menoleh sekilas pada Radit.   Radit terkekeh dan mengangguk. "Iya, dong. Ada sekitar sepuluh brand produk yang ikut pameran ini. Ada makanan sama minuman juga. Nanti kita kesana ya," jelasnya sembari menunjuk ke stand yang paling ujung. Tampak berbagai makanan dan minuman terpajang rapi di atas mejanya.   Tari mengangguk antusias. "Boleh."   Radit terkekeh lagi. Ia masih memandangi Tari yang menatap batik di depannya dengan takjub. Namun seseorang dari jauh yang kini melangkah menuju arah mereka, mengalihkan perhatian Radit. Pemuda itu menatap orang itu kemudian melambaikan tangannya menyuruh orang itu mendekati mereka. "Oh, iya. Itu orangnya dateng. Yang produknya sedang kamu lihat. Pemilik Chasanah Batik." Radit kini menatap Tari.   Tari mendongak  dan tersenyum. "Oh iya? Mana?" Ia celingukan, malah menatap orang-orang di depannya.   Radit terkekeh. "Bukan di sana. Tapi di belakangmu," ucapnya.   Tari membulatkan bibirnya dan menoleh ke belakang saat sebuah suara melintas di indera pendengarannya. Suara yang sangat dikenalnya.   "Maaf telat, mas. Saya tadi mampir dulu ke stand teman."   Dan begitu Tari membalik badan untuk melihat orang itu, ia terkejut. Pantas saja suara itu sangat dikenalnya. Karena suara itu ... milik Akbar.   Tari membelalakkan matanya. Namun sebelum Radit menyadari perubahan ekspresi Tari, gadis itu segera menetralkan ekspresinya dan memasang wajah datar. "Kenapa Akbar bisa ada di sini?" batin Tari. Ia jadi memandang bingung ke arah dua pemuda di hadapannya. Mengapa mereka berdua bisa akrab dan kebetulan begini?   "Tari, kenalin ini Akbar." Radit menatap Tari dan menepuk bahu Akbar kemudian ia bergantian memandang Akbar. "Akbar, ini Tari. Yang sudah saya ceritakan." Radit memandang dua orang itu bergantian.   Tari menatap raut wajah Akbar. Pemuda itu tampak sama terkejutnya dengan Tari. Sepertinya Akbar juga benar-benar terkejut melihat keberadaan Tari di sini. Akbar kini menatap Tari dengan raut yang sama bingungnya. Ia meringis.   "Oh, iya. Katanya kalian satu almamater. Kalian dari kampus yang sama kan. Bina Bangsa," kata Radit. Pemuda itu tersenyum memandang Tari dan Akbar bergantian. Ia melanjutkan kalimatnya saat dua orang yang ditatapnya itu hanya terdiam. "Apa kalian kenal?" tanyanya. Radit mengangkat alisnya memperhatikan raut wajah keduanya. Terlebih ekspresi Tari. Gadis di depannya itu terlihat tidak nyaman berada di dekat Akbar.   Tari kini menarik sudut bibirnya. Kemudian ia tersenyum memandang Radit. Tari ingin mengatakan sesuatu, namun sebuah suara menginterupsi ketiganya. Membuat Tari mengurungkan kalimat yang akan ia lontarkan.   "Pak, ada masalah sedikit." Dewi datang entah dari mana dan langsung melontarkan kalimat itu. Gadis itu mendekati Radit dan menyentuh lengan kemeja Radit. Tampak tengah membisikkan sesuatu.   Radit mendengarkan bisikkan Dewi dengan seksama. Kemudian pemuda itu mengangguk paham. "Oke," ucapnya. Setelah mengucapkan itu, pemuda itu mendongak memandang Tari dan Akbar. Radit tampak memasang raut bersalahnya. "Maaf ya, saya tinggal bentar ya." Radit menatap Tari. "Nanti saya ke sini lagi. Kalian bisa ngobrol dulu." Selanjutnya pemuda itu melangkah dengan cepat dan menuju stand makanan, disusul Dewi di belakangnya.   Tari memandang punggung Radit dengan tatapan nanar. Detik berikutnya Tari terusik oleh kekehan Akbar yang tiba-tiba memecah keheningan mereka. Gadis itu menatap Akbar dengan kesal.   "Kita ketemu lagi, Tari," kata Akbar sembari terkekeh. Pemuda itu melipat tangannya di depan d**a. "Aku gak nyangka kamu ada di sini juga. Kamu mau lihat-lihat produk batikku?" Ia memasang raut mengejek.   Tari balas bersidekap. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya sarkas. Ia bosan berbasa-basi dengan Akbar. Melihat wajah Akbar membuatnya enggan.   "Aku?" Akbar memasang wajah polos. "Aku lagi jualan. Kamu gak lihat?" Akbar menunjuk stand di belakang Tari. Stand yang berisi banyak sekali produk dengan corak batik. Yang sejak tadi menarik perhatian Tari.   Tari berdecih sebal mendengar jawaban Akbar. "Gak usah sok polos." Ia mendekat ke arah Akbar. "Aku tanya sekali lagi, Bar. Ngapain kamu di sini? Dan kenapa kamu bisa kenal Mas Radit?"   Akbar tampak kebingungan dengan pertanyaan Tari. "Aku gak ngerti dengan pertanyaan kamu itu, tapi kalau kamu tadi dengar ucapan Radit, kamu harusnya tau kalau aku itu klien yang sedang dibantu pemasarannya oleh perusahaan Radit," jelas Akbar dengan senyum melekuk.   "Kamu yakin cuma itu? Bukannya kamu cari latar belakangku makanya kamu bisa tahu dan kenal Mas Radit dan perusahaannya?" tuduh Tari. Ia mendelik memandang Akbar. Rahangnya mengeras.   Akbar terkekeh melihat respon Tari. "Aku gak ngerti. Aku emang di sini mau jualan. Dan aku pun kaget tadi ternyata kamu itu gadis yang sedang dekat dengan Radit," ucapnya. "Dunia sesempit itu."   "Kamu serius?" Tari masih belum yakin.   "Tunggu! Maksud kamu ... aku sengaja cari tahu tentang kamu dan setelah itu sengaja kerjasama dengan perusahaan Radit, gitu?" Akbar memandang Tari tidak percaya. Ia tidak habis pikir karena Tari menuduhnya begitu.   Tari mengerjapkan matanya. Kemudian dengan tanpa suara ia mengangguk.   Akbar yang melihatnya menganga. "Aku harus bersumpah biar kamu percaya dengan ucapanku?" Akbar mengangkat tangannya. Membuat gerakan yang menggambarkan ekspresi kesalnya. Pemuda itu tampaknya kesal karena dituduh seperti itu oleh Tari. "Ngapain aku cari tahu tentang Radit?"   Tari berdehem. "Iya ... siapa tahu memang kamu benar-benar cari latar belakangku dan stalker aku."   "Kamu tahu aku bukan orang seperti itu, Tari." Akbar menatapnya dengan tegas. Tanpa senyuman seperti tadi.   Tari memperhatikan raut wajah dan gerakan tangan Akbar. Jika dilihat dengan seksama, tampaknya Akbar memang sedang  tidak berbohong padanya. Pemuda itu menatap Tari dengan tatapan lurus-lurus yang tepat ke arah bola mata Tari. Seolah menyampaikan pesan bahwa ucapannya adalah sejujur-jujurnya. Jadi Tari simpulkan, Akbar memanglah berkata jujur padanya.   "Oke deh. Aku percaya." Tari kembali mengeratkan dekapan tangannya sendiri. "Tapi sekarang aku mau kamu jangan kasih tahu tentang kita berdua ke Mas Radit."   Akbar mengangkat alisnya. "Tentang kita yang pernah pacaran dulu maksud kamu?"   Tari melotot mendengar Akbar yang mengatakan kalimat itu dengan santai dan suara agak keras. Ia panik dan celingukan. "Bisa gak sih gak usah kek lagi pengumuman gitu?!" Tari memelototi Akbar. Lalu memutar lehernya dan memandang Radit yang masih mengobrol dengan rekan timnya di kejauhan. Mustahil juga untuk mendengar suara Akbar dari jarak sejauh itu di tengah keramaian.   Akbar terkekeh melihat ekspresi Tari. "Kenapa? Kamu malu sama Radit kalau ketahuan kita itu mantan pacar?"   Tari menatap jam tangannya. "Bukan gitu. Tapi aku mikirin lagi reaksi Mas Radit pas tahu kalau kita berdua ini mantan pacar. Bayangin aja, pasti bakal canggung banget. Apalagi hubungan kamu sama Mas Radit, kalian kan baru kenal sebentar, masa udah kasih kesan yang gak mengenakkan begitu," jelas Tari panjang lebar.   Akbar terkekeh lagi. "Tapi itu kan masa lalu. Aku rasa Radit bukan orang seperti itu."   "Nah itu ..." Tari menggantung kalimatnya. "Kamu belum tahu kan dia bagaimana? Bisa aja di depan kita dia baik-baik aja, bersikap normal dan biasa aja. Tapi gimana kalau di belakang itu ternyata dia nyimpen dendam ke kamu?" Tari menakut-nakuti Akbar. Berabe jika Radit sampai tahu tentang hubungan mereka berdua di masalalu.   Akbar tampak berpikir. Ia mulai menyadari arah permintaan Tari.   "Bukannya semua keputusan ada di kepalanya? Dan kamu tahu sendiri siapa kepalanya?" Tari lagi-lagi menakut-nakuti Akbar. "Produk batikmu yang akan jadi imbasnya."   Akbar menundukkan kepalanya. Benar juga yang dikatakan Tari. Radit pasti akan berbeda sikapnya setelah mengetahui bahwa dirinya pernah berpacaran dengan Tari. Mengetahui kliennya sendiri dan gadis yang sedang dekat dengannya adalah mantan pacar, pasti mempengaruhi hubungan pertemanan mereka.   "Bukannya kamu butuh perusahaan Radit buat meningkatkan penjualan batikmu? Aku rasa kamu harus ikutin perkataanku. Namanya pebisnis harus tahu caranya bernegosiasi." Tari menarik sudut bibirnya melihat Akbar yang tengah menunduk.   Akbar mengangkat kepalanya lalu memandang Tari lurus-lurus. "Jadi kamu lagi mengajakku bernegosiasi?" tanyanya. Pemuda itu menyeringai.   Tari menganggukkan kepalanya. Ia mengerjap ditatap begitu oleh Akbar. "Iya."   Akbar kini tersenyum lebar. "Oke. Tapi aku punya syarat."   Binggo! Seperti dugaan Tari, Akbar memang tidak bisa dengan mudah memakan pancingannya. Seperti biasa pemuda itu menerapkan prinsip Give and Take. Jadi saat Tari menawarkan sesuatu, maka Akbar akan melakukan hal yang sama sebagai gantinya.   "Syarat apa?" tanya Tari. Ia mengangkat dagunya, menantang Akbar. Tari dalam hati merapal doa menunggu Akbar mengucapkan syarat yang dimaksud. Sayangnya pemuda itu tahu cara mempermainkan Tari.   Akbar tersenyum lebih lebar. Lalu dengan sekali tarikan napas, pemuda itu mengatakan syarat yang dimaksud. "Buka blokir nomorku di ponselmu."     °°°°                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD