22- Syarat dan Berlian

1186 Words
Akbar kini tersenyum lebar. "Oke. Tapi aku punya syarat."   Binggo! Seperti dugaan Tari, Akbar memang tidak bisa dengan mudah memakan pancingannya. Seperti biasa pemuda itu menerapkan prinsip Give and Take. Jadi saat Tari menawarkan sesuatu, maka Akbar akan melakukan hal yang sama sebagai gantinya.   "Syarat apa?" tanya Tari. Ia mengangkat dagunya, menantang Akbar. Tari dalam hati merapal doa menunggu Akbar mengucapkan syarat yang dimaksud. Sayangnya pemuda itu tahu cara mempermainkan Tari.   Akbar tersenyum lebih lebar. Lalu dengan sekali tarikan napas, pemuda itu mengatakan syarat yang dimaksud. "Buka blokir nomorku di ponselmu."   Tari sontak menatap Akbar saat mendengar kalimat yang dilontarkan pemuda itu. Gadis itu memberi tatapan sangsi. Kemudian memikirkan persyaratan yang diberikan oleh Akbar. Baik dampak dan akibatnya nanti. Alasan Tari ingin merahasiakan hubungannya dengan Akbar di masa lalu sebenarnya karena Tari tidak mau Radit memandangnya seperti w**************n yang gonta-ganti pacar. Bukan karena ingin mempertahankan image polos dan lemah lembutnya, namun Tari hanya tidak ingin membuat hubungannya dengan Radit menjadi renggang. Apalagi ada Akbar di tengah-tengah mereka. Jika Radit tahu Akbar adalah mantan pacar Tari, pasti Radit juga akan sedikit canggung dengan Akbar. Ya ... meskipun Tari pikir Radit bukanlah lelaki seperti itu yang mudah menyimpan dendam, namun tetap saja Tari takut. Jadi ia harus merahasiakan semuanya. Dan terkait syarat yang Akbar berikan padanya, biarlah Tari menuruti keinginan Akbar saat ini. Tari tidak punya pilihan lain. Lagipula saat blokiran Akbar dibuka dan pemuda itu ingin mengontaknya kembali, Tari tidak akan menanggapinya ataupun membalasnya.   "Gimana?" Akbar bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya saat melihat Tari yang terdiam. Gadis di depannya itu tampak berpikir keras. Membuat Akbar gemas. Mengapa susah sekali sih untuk membuka blokir nomornya?   Tari mengerjap. Tersadar dari lamunannya. Ia memandang Akbar dengan dagu terangkat. "Oke," ucapnya. Tari tersenyum tipis. "Tapi tolong setelah kubuka blokirannya, gak usah spam chat gak jelas," sambungnya dengan nada angkuh.    Akbar terkekeh melihat ekspresi Tari. "Emang bener ya, kita harus putus dulu buat lihat sifat asli seseorang. Karena saat masih berpacaran, kita akan menampilkan sisi terbaik kita di depan pasangan." Akbar terkekeh lagi. "Kamu pikir aku operator telepon yang suka ngasih spam chat? Ngapain aku chat kamu gitu terus." Akbar bersidekap. Ia mendekat ke arah Tari membuat gadis itu memundurkan kepalanya. "Aku cuma ingin membuat kamu gak menghindar terus dariku."   Tari mengerjapkan matanya berulang kali kemudian memukul d**a Akbar dengan keras agar pemuda itu menjauh mundur darinya. Gadis bermata bulat itu berkacak pinggang. "Iya, aku tau. Gak usah sok maju-maju kek lagi di drama, ya!" sungutnya. Ia marah karena Akbar masih bersikap semena-mena dengannya. Menyebalkan. Bahkan jauh lebih menyebalkan sekarang daripada dulu.   Melihat Tari yang menggemaskan di matanya membuat Akbar tertawa keras-keras. Hal itu mengumpulkan perhatian dari beberapa orang yang melintasi stand mereka. Bahkan ada yang sempat menoleh dan menatap Akbar yang tertawa. Sebagian adalah para gadis muda yang sengaja ingin cuci mata di Festival ini. Setelah mereka melihat wajah Akbar yang tertawa hingga menampilkan lesung pipi dan mata bulan sabitnya, para gadis itu akan merona sendiri. Tari berdecih melihat para gadis itu. Mereka belum tahu saja sifat asli Akbar. Hal yang sangat Tari sesali dulu karena melihat Akbar dari segi paras saja.   "Apa yang lucu banget?" Suara bariton dari belakangnya membuat Tari berjengit. Tari memutar badannya dan mendapati Radit yang berdiri di sampingnya. Radit tersenyum menatap Tari.   Akbar meredakan tawanya. "Gak kok, mas. Tadi Tari abis ngelawak," ucapnya asal hingga mendapat death-glare dari Tari.   Radit yang tidak  tahu apa yang terjadi sebenarnya hanya memandang Tari bingung. "Kalian udah akrab banget kayaknya baru ditinggal beberapa menit."   Tari mendelik dan mengibaskan tangannya. Ia ingin menyangkal perkataan Radit namun Akbar keburu menyelanya.   "Iya, kan satu almamater." Akbar menatap Tari sembari mengerling. "Tapi kita gak pernah kenal sebelumnya. Tadi cuma tanya fakultas dan prodi apa di kampus dulu dan ternyata memang kami beda fakultas."   Radit menganggukkan kepalanya. "Oh ya?" tanyanya sembari menatap Tari. Tari hanya meringis. "Tari kan anak Ekonomi ya?"   Tari mengangguk. Bibirnya terbuka hendak menjawabnya. Namun Akbar lagi-lagi menyelanya.   "Iya, Tari anak Fakultas Ekonomi dan Bisnis, sedangkan saya dari Fakultas Hukum," jelas Akbar. Ia menyengir menatap Radit lalu tatapannya beralih pada Tari. "Dan gedung fakultas kita jaraknya jauh banget. Gak mungkin kenal."   Tari berdehem kecil. Ia bersyukur dalam hati mendengar jawaban yang diberikan Akbar. Jadi ia bisa tenang karena Radit tidak tahu yang sebenarnya. Tari lebih bersyukur dan tersenyum lega melihat Radit mengangguk-anggukkan kepalanya paham.   Radit terkekeh. "Iya, benar juga. Yang masih satu fakultas aja bisa gak kenal, apalagi kalau beda fakultas. Saya aja gak kenal  semua anak kampus kalau ditanya," ujarnya dengan kekehan. Pemuda itu memandang Tari kemudian kembali memandang Akbar. "Lagipula dunia ini kan gak sesempit itu," candanya.   Candaan Radit membuat Tari terkesiap kecil lalu menatapnya tidak enak. Satu kebohongan ia buat pada Radit. Hatinya merasa bersalah sekarang karena membohongi Radit. Namun Tari tetap saja tidak punya pilihan lain. Biarlah ia membohongi Radit demi hubungan mereka.   Reaksi Akbar berbanding terbalik dari Tari. Pemuda itu terkekeh mendengar candaan Radit. Kemudian menatap Tari dan Radit bergantian. "Nyatanya ... dunia sesempit itu, Mas," batinnya.     °°°°   Tari tidak bisa fokus selama pameran berlangsung. Sejak tadi ia hanya menatap stand-stand yang dikunjunginya dengan enggan. Kemudian gadis itu berakhir dengan tatapan tak berselera. Seleranya menguap entah kemana. Sayangnya Radit terus mencekokinya dengan berbagai produk yang bekerjasama dengan perusahaannya. "Ini enak banget, Tari. Kamu harus coba keripik sayur ini. Terbuat dari pare tapi gak pahit karena sudah diproses sedemikian rupa." Radit benar-benar tampak seperti sales yang sedang mempromosikan barang jualannya sekarang. Sangat antusias.   Hal itu membuat Tari tertawa. "Jiwa sales kamu keluar nih sekarang," candanya. Gadis itu mengambil sebungkus keripik yang tadi diangsurkan Radit padanya. Kemudian Tari membuka bungkus itu, dan memakan sebuah keripik yang dimaksud Radit itu. Dengan pelan ia kunyah. Seusainya ia tersenyum dan mengangguk menyetujui perkataan Radit. "Enak. Bener gak pahit."   Radit tersenyum lebar. "Kan sudah saya bilang. Enak pasti," ucapnya bangga. "Kamu bawa pulang ya, bawa ini juga," kata Radit sembari mengambil tiga bungkus keripik lain dari stand dan langsung dimasukkan ke kantong kresek. "Buat Arif, Tante Melati, sama Om Rosidi," sambungnya.   Tindakan itu membuat Tari menggelengkan kepalanya. "Ih, jangan gitu. Aku beli aja ya." Tari bergegas mengeluarkan dompet dari tasnya. Namun dicegah oleh Radit. Radit menggenggam lengan Tari dengan reflek. Tari terkejut dan menghentikan tindakannya. Gadis itu memandang tangan Radit yang masih bertengger di lengannya. Hal itu membuat Radit ikut memandang tangannya sendiri. Pemuda itu terkejut dan menyadari sudah bertingkah kelewatan. Dengan cepat ia tarik kembali tangannya dari lengan gamis Tari.   "Eh, astagfirullah," ucapnya. Radit menatap sekelilingnya lalu  menjadi kikuk. "Maaf, Tari." Pemuda itu benar-benar menyesal akan tindakannya.   Tari tersenyum gemas. "Gak pa-pa," balasnya. Radit langsung mundur dan panik saat kedapatan memegang lengannya. Pasti Radit saat ini tengah merutuki tingkahnya sendiri dalam hati. Dan hal itu membuktikan jika memang pemuda ini adalah pemuda baik-baik yang sangat jarang keberadaannya di masa sekarang. Jika itu pemuda lain, maka akan sengaja mencari-cari kesempatan memegang lengan Tari. Namun berbeda. Radit benar-benar memegang teguh syariat agama dan menjalankannya. Mengerti mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sembari Radit menunduk dan meringis menatap kakinya sendiri, Tari menatap Radit dengan senyum melekuk.   Entah mengapa rasanya Tari menjadi gadis yang sangat beruntung, karena menemukan berlian yang sangat berkilau di antara banyaknya berlian lain. Tari merasa beruntung karena menemukan Radit. Atau ... sebaliknya? Tari sangat beruntung karena Radit menemukannya.     °°°°                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD