BAB 4: Pergi

2127 Words
Helian berdiri di sisi kolam renang di di lantai tiga, pemuda itu menatap mahari pagi yang mulai naik membawa kehangatan. Pagi santainya akan segera di mulai seperti biasa. Pagi ini Helian akan pergi ke pertemuan penting kolektor minuman, sejak kecil dia sudah terbiasa mempelajari berbagai anggur dari setiap tempat. Ketertarikannya pada minuman membuat Helian sering kali meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan para kolektor minuman. Dalam beberapa kesempatan Helian bisa menyimpan dan membeli anggur dari beberapa negara dan menjualnya di pelelangan. Ketertarikan Helian pada anggur membuat dia semakin tertarik mempelajarinya, mulai menanam anggur sendiri dan membuatnya sendiri. Usai berenang, Helian segera pergi ke tepian dan naik ke atas, dengan bertelanjang kaki Helian pergi menuju kamarnya. Membuka pintu kaca, mengambil remote untuk menaikan semua gorden kamar. Lantai marmer putih yang di pijak Helian menampilkan setiap gerakan tubuhnya yang kini pergi ke kamar mandi. Tidak ada keterburu-buruan yang di lakukan pemuda tampan itu, semuanya dia lakukan secara perlahan dan santai, namun tidak ada kata telat untuk dirinya. Helian menghabiskan waktunya untuk membersihkan tubuhnya tanpa cela, sisanya dia habiskan untuk sikat gigi, mencuci wajah, bercukur, mengeringkan rambut, lalu memandangi ketampanannya sendiri penuh kebanggan. Satu jam menghabiskan waktu di kamar mandi, Helian akhirnya keluar hanya mengenakan jubah handuk hitam. Bola matanya yang berwarna hijau seperti daun di pagi hari itu melihat ke sekitar, Helian membungkuk mengambil remote lain kamar itu dan menyalakan musik. Suara musik indah melodi violin terdengar di semua penjuru ruangan kamarnya.   Begitu musik pilhannya mengalun, Helian memutuskan untuk mendekati pintu hitam dan membukanya. Pintu ruangan pakaian Helian terbuka lebar, semua kemewahan yang selama ini selalu melekat pada tubuhnya berada di ruangan itu sekarang. Dalam beberapa langkah Helian masuk ke dalam ruangan dan berdiri sejenak. Bibir Helian sedikit terbuka melihat semua pakaiannya di seluruh penjuru ruangan. Kaki Helian melangkah begitu sempurna, attitude pria itu adalah attitude seorang pria bangsawan yang berkelas. Seakan, kemewahan yang ada pada dirinya sejak masih berada dalam kandungan, membuat Helian hanya tahu kemewahan saja. Dengan teliti, Helian memilih dan mengambil pakaian yang akan dia pakai, di mulai dari pakaian dalam, kemeja, celana jam tangan hingga sepatu yang akan dia kenakan. Begitu sudah menemukan apa yang akan dia kenakan, Helian segera pergi ke depan cermin dan melepaskan jubah mandinya. Satu persatu pakaian itu dia kenakan pada tubuhnya yang sempurna. Sejenak Helian diam dan tersenyum melihat dirinya sendiri di cermin, sorot matanya yang bewarna hijau itu terlihat bersinar, Helian mengusap rambutnya untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan berbalik dan pergi. *** Di sebuah meja, Yura sudah duduk sendirian di sana menatap semua sarapan yang sudah di sediakan oleh juru masak.  Yura duduk terdiam  terlihat sedikit gugup dan bingung namun tidak bisa mengatakan apa yang ada di hatinya dengan mudah. Beberapa kali Yura melihat ke belakang menunggu kedatangan anggota keluarganya yang lain. Tidak berapa lama Endrea datang dan menyapanya, Endrea yang tahu permasalahannya hanya bisa saling memandang dengan ibunya seakan memberi isyarat untuk berhati-hati. Endrea segera memutuskan untuk duduk di sebrang. “Selamat pagi.” Sapa Julian yang menyusul datang, Pria segera mengitari meja mendekati Yura, pra itu sedikit membungkuk, meraih wajah Yura dan mengecup bibirnya. Julian segera mengitari sisi meja yang lain dan membungkuk lagi, mengecup pipi puterinya, Endrea. “Di mana Helian?.” Tanya Julian seraya duduk. Baru saja bibir Julian mengatup usai bertanya, puteranya langsung datang menampakan diri dengan senyuman lebar. “Selamat pagi.” Sapa Helian sebelum menarik kursi dan duduk di samping Endrea. “Bagaimana keadaanmu semalam?.” “Baik, hanya kehilangan sesuatu karena di curi.” Semua orang langsung menatap Helian dengan serius penuh kekhawatiran. “Siapa yang mencuri?. Kau kehilangan apa?.” Tanya Endrea tampak panik. Helian mengangkat wajahnya dan menatap kakak perempuannya dengan serius. “Lily, dia mencuri ciuman pertamaku.” Jawab Helian dengan serius. Julian langsung berdecih geli mendengarnya. Sifatnya dengan Helian memang sama dalam segala hal, namun dalam urusan wanita jelas jauh berbeda. Julian sudah kehilangan keperjakaannya sejak usia enam belas tahun dan menjadi seorang playboy sejak dini. Sementara puteranya, dia terlalu polos dengan wanita karena terlalu mencintai dirinya sendiri. “Helian, pimpin do’a.” Titah Julian. “Baik Ayah.” Helian segera menempatkan kedua tangannya di d**a, pria itu tertunduk di ikuti semua orang untuk berdoa sebelum makan. “Aku dan keluargaku berterima kasih kepada Tuhan atas sarapan pagi ini. Semoga membuat perut nyaman dan membuat kami sehat meski aku masih melihat ada bekas jari seseorang di sisi piringku, lipatan serbet yang tidak rapi dan potongan buah yang tidak sempurna. Semoga yang masuk ke dalam mulut kami menjadi berkah, amin.” Helian menyelesaika do’anya. Yura dan Julian saling melihat menyembunyikan sedikit senyuman mereka, tingkah Helian selalu mengingatkan mereka pada sifat Julian sewaktu muda. Mereka segera memulai sarapan dan sejenak  menyingkirkan kesibukan pribadi mereka masing-masing dari banyak hal. Suasana tenang sarapan membuat Yura terlihat semakin gugup akan sesuatu, beberapa kali dia melihat Julian dan Helian bergantian untuk memastikan jika keduanya selesai makan karena ada sesuatu yang penting harus dia sampaikan. “Aku ingin berbicara sesuatu yang penting kepada Kalian.” Kata Yura dengan wajah yang sedikit tegang. Semua orang langsung melihat kearah Yura dan menunggu dia untuk berbicara. Beberapa kali Yura mengatur napasnya dan menelan salivanya dengan kesulitan, Endrea yang sudah mengetahui apa yang akan di katakan oleh ibunya hanya tersenyum memberi dukungan jika semuanya akan baik-baik saja. “Ada apa?.” Tanya Julian. “Aku” Yura kembali terdiam begitu kesulitan untuk berbicara. “Aku hamil lagi.” Semua orang langsung diam, namun gelas di tangan Helian langsung jatuh ke meja hingga air di dalam gelas tumpah bercampur dengan sup di mangkuk kecil, pria yang terbiasa santai itu terbelalak dengan wajah pucat pasi. Begitu pula dengan reaksi Julian, tubuhnya langsyng oleng ke sisi hingga membuat dia hampir jatuh dari kursi. Julian berpegangan pada sisi meja dan bernapas dengan cepat di landa kepanikan besar. “Bagaimana bisa?. Bagaimana bisa kau hamil?.” Tanya Julian terdengar konyol, isterinya hamil, namun dia menanyakan bagaimana bisa isterinya bisa hamil. “Kau suamiku Julian.” ”Ta..tapi” Julian mulai pusing karena bingung dan tidak mengerti. “Kenapa ibu mengkhianatiku?.” Bisik Helian terdengar benar-benar patah hati, “Ibu sudah berjanji tidak akan memberikan aku adik.” “Ibu juga tidak merencanakan ini Helian. Maafkan ibu.” “Semua ini gara-gara Ayah.” Tuduh Helian yang langsung menatap tajam Julian yang kini masih panik dan bingung. Julian mengangkat wajahnya dan melotot “Kenapa kau menyalahkanku?” tanya Julian dengan nada tidak terima. “Ibu tidak akan hamil jika bukan karena gara-gara Ayah!. Ini penghianatan, aku tidak terima ini.” “Helian, tenanglah. Memiliki adik bukan hal yang buruk.” Nasihat Endrea mengingatkan. “Bukan hal yang buruk?” tanya Helian tidak percaya. “Tapi, ini hal yang buruk untukku. aku tidak mau, aku menolaknya!.” “Tapi kenapa Helian?.” “Kau masih bertanya kenapa?. Lihat Ibu” tunjuk Helian pada Yura. “Endrea, kau  jangan melupakan sesuatu, meski Ibu tetap sangat muda dan bugar hingga terlihat seusiamu, namun usianya sudah lebih dari kepala empat. Kehamilan ibu bukan hanya penghianatan untukku, namun juga bahaya besar untuknya yang hamil di usia tua.” Semua orang langsung melihat Yura, kengerian di wajah Julian kian jelas, pria itu kehilangan kata-kata dan tidak mampu berbicara saat menyadari jika isterinya sudah tidak sepantasnya hamil lagi. Tubuh Julian kian oleng tidak mampu untuk duduk di kursi lagi. “Aku baik-baik saja. Lebih dari apa yang kalian pikirkan. Bahkan meski harus melahirkan beberapa kali lagi.” Jelas Yura dengan singkat mengingatkan semua orang bahwa dia baik-baik saja karena ada sebuah kelebihan yang dia miliki melebihi manusia biasa. “Helian” panggil Yura dengan lembut. Kini perhatiannya tertuju pada Helian sepenuhnya karena disini Helian yang paling terguncang. “Ayo bicara.” Pinta Yura dengan lembut. “Tidak. Aku mau mogok bicara dengan Ibu.” Jawab Helian dengan tegas penuh penekanan yang memperjelas kekecewaan di hatinya. Helian langsung beranjak dan pergi meninggalkan meja makan. “Kepalaku pusing. Sial, astaga kepalaku.” Erang Julian memegang kepalanya. “Ibu bicaralah dengan Ayah. Biar aku yang berbicara dengan Helian.” Pinta Endrea dengan senyuman memaksakan, gadis itu segera beranjak dan ikut pergi yang mneinggalkan meja makan untuk menyusul Helian. *** Helian berjalan dengan cepat pergi ke kamarnya lagi, ekspresi santai tanpa emosi yang selalu dia tampilkan berubah menjadi kusut sumraut. Helian melepaskan kancing kemejanya dan bernapas dengan tidak beraturan. Helian cukup shock berat bercampur marah dan juga tidak percaya dengan apa yang sudah dia dengar di pagi ini. Memiliki seorang adik adalah hal yang buruk untuk Helian. Helian menolak keras kehadiran seorang adik bukan karena dia egois. Helian menyadari kekurangannya yang sangat besar, jika dia sudah memiliki seorang adik, dia harus menjadi seorang kakak yang sempurna seperti Endrea. Jangankan menjaga adiknya, hingga sekarang Helian hanya bisa membuat masalah dan keributan karena kekurangannya itu. Helian tidak pernah bisa terhindar dari masalah karena kekurangannya, Kehadiran seorang adik hanya akan membuat semua orang membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya dan juga perhatian kedua orang tuanya tidak akan tertuju padanya lagi. sementara Helian membutuhkan perhatian untuk penyembuhan. Begitu sampai ke kamarnya, Helian langsung pergi mengambil koper dan memasukan beberapa pakaian dan hal-hal yang dia perlukan. “Helian.” Panggil Endrea yang menyusul kepergian Helian. Endrea tahu Helian marah dan merasa kecewa, Helian harus di tenangkan. “Jangan mengajakku bicara Endrea. Aku tidak mau bicara dengan siapapun.” Jawab Helian yang masih merapikan pakaiannya ke dalam koper. “Helian, jika kau seperti ini Ibu akan merasa bersalah dan sedih. Tenangkanlah dirimu sejenak. Semuanya di luar rencana. Kau boleh kecewa dan marah, namun kau tidak bisa menyalahkan siapapun.” Endrea mendekati Helian dan mengusap bahunya. “Helian, aku mohon.” Helian yang tidak bicara segera menutup kopernya dan menekan beberapa angka untuk mengunci koper, Helian yang mengacuhkan Endrea langsung mengambil dompet dan passportnya di laci. “Helian, kau mau kemana?” Endrea menarik tangan Helian dan menahannya. Helian langsung berbalik dan menatap Endrea sepenuhnya, “Dubai. Aku butuh menenangkan diri. Lepaskan Endrea, kepalaku benar-benar mau meledak karena marah.” Perlahan Endrea melepaskan tangannya dan menatap adiknya yang kini kembali berbalik dan segera pergi keluar dari kamarnya membawa koper. Helian melangkah lebar pergi melewati beberapa ruangan hingga akhirnya bertemu dengan Julian dan Yura. Kepanikan Julian yang sempat terjadi terlihat sudah reda, pria itu tampak tenang usai mendapatkan penjelasan panjang lebar dan sedikit berdebat dengan Yura. Melihat kedatangan Helian yang membawa koper dan hendak pergi membuat Yura yang mengusap lengan Julian, meminta pria itu untuk menenangkan putera mereka. Julian langsung beranjak dan menyusul kedatangan puteranya yang tidak berbicara sepatah katapun. Helian melengos pergi hendak keluar dari rumah. Dengan langkah cepat Julian mengejar. “Helian, ayo kita bicara.” Pinta  Julian yang memperhatikan punggung puteranya. “Aku tidak mau bicara dengan Ayah. Sekarang kita bermusuhan.” Jawab Helian dengan ketus. “Kau akan rugi jika bermusuhan denganku.” “Aku tidak peduli.” “Kau marah dan menyalahkan aku?.” Langkah Helian terhenti, dia langsung berbalik dan bersedekap di hadapan Julian dengan cemberutan yang sangat mirip dengan Julian. “Memangnya siapa lagi yang patut di salahkan?. Jika Ayah tidak terus menerus meminta Ibu untuk tidur bersama dan memonopolinya, hal memalukan ini tidak akan terjadi.” Kening Julian mengerut samar, dalam satu langkah dia mendekat dan berdiri di hadapan Helian. “Pakai logikamu Helian. Kepalamu isinya otak, bukan kotoran.” Tunjuk Julian pada puteranya. “Apa kau pantas berkata seperti itu kepadaku dan menyalahkan aku yang menghamili isteriku sendiri?.“ “Julian, sudah.  Jangan berbicara kasar pada Helian.” Yura berdiri di antara kedua pria itu. Yura langsung menatap puteranya yang cemberut dan terlihat sumraut karena kesal. “Helian, kau mau pergi ke mana?.” Helian langsung membuang mukanya dan cemberut. “Aku sedang marah sama Ibu. Aku tidak mau bicara denan Ibu. Tidak akan.” “Helian, Ibu meminta maaf karena sudah membuatmu kecewa dan marah. Kemanapun kamu akan pergi untuk menenangkan diri, Ibu tidak akan melarangmu. Namun, Ibu hanya ingin tahu kamu akan pergi ke mana agar Ibu merasa tenang karena tahu keberadaanmu di mana.” Kata-kata lembut Yura membuat kemarahan Helian sedikit memudar, pemuda itu melirik tajam Julian lalu melihat ibunya.  Helian langsung mendekati Ibunya dan memilih untuk menjawabnya dengan bisikan agar rahasia. “Dubai. Aku aku akan bertemu Pangeran Mohammed Rashid.” Yura mengangguk merasa tenang usai tahu kemana puteranya akan pergi kemana. Helian langsung membuang mukanya lagi enggan untuk melihat Julian, Helian membungkuk mengambil kopernya dan menyeretnya pergi. Dengan langkah lebar dan perasaan kecewa tersimpan di hatinya, Helian pergi meninggalkan kediamannya. “Tuan.” Panggil Deryl, satu-satunya pengawal Helian yang sampai saat ini masih menjadi satu-satunya orang yang bisa setia di samping Helian dalam keadaan apapun. Helian sendiri selalu dapat mengenal Deryl dalam keadaan apapun karena pria bertubuh besar dan kekar itu adalah satu-satunya orang yang berkepala plontos mengkilap dengan tato di sisi kepalanya. “Kita ke Dubai sekarang.” To Be Continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD