Merasakan ketegangan yang semakin kuat, Helian membalikan tubuhnya dan bergerak ke sisi. “Kalian mau minum?.”
Semua orang kembali melihat Helian dengan ekspresi kesal.
“Daripada menawarkan kami minuman, duduklah kemari dan beri kami pendapat.” Kata Yura dengan tenang, Helian yang memasang tampang polos tanpa eskpresi itu akhirnya mendekat.
Dengan santai dan sebuah bungkukan kecil di punggungnya, Helian meliwati Julian dan langsung duduk di antara kedua orang tuanya.
Julian hanya bisa mengusap tengkuknya dengan kuat dan membuang muka, pria itu menahan diri untuk tidak mengumpat dan berkata kasar kepada puteranya yang kini duduk dan tersenyum di antara dirinya dan Yura.
Ketegangan kuat tidak menyenangkan memenuhi ruangan, Lucas dan Julian tetap dengan pendirian mereka masing-masing. Julian tidak rela memberikan Endrea secepat itu meski hanya sebuah pertunangan formalitas, namun jika itu muncul ke public, maka semua orang akan berpikir bahwa keluarga Julian sudah memberi restu.
Mengumumkan hubungan ke public sangatlah sacral untuk keluarga Giedon.
Terlebih, bagi Julian, Endrea masih sangat muda. Julian harus lebih banyak mendidik Endrea karena walau bagaimanapun Endrea anak sulungnya.
Sementara Lucas, dia tahu keseriusan Kenan. Meski anaknya masih muda, Lucas percaya bahwa Kenan anak yang bertanggung jawab dan pantas mendapatkan Endrea karena selama ini Kenan selalu bekerja keras untuk bisa menyeimbangi Endrea.
Kenan tidak mungkin berkata seserius ini tanpa persiapan yang matang.
Kenan selalu memikirkan penilaian public mengenai Julian Giedon yang sangat kaya dan berpengaruh, meski Lucas juga bukan orang sembarangan dan Kenan sangat pekerja keras.
Namun, penilaian public akan lebih tertuju pada Julian Giedon, kemungkinan besar public akan berspekulasi bahwa Kenan bersama Endrea hanya karena memanfaatkan harta Julian Giedon.
Kini Kenan sudah memiliki nama sendiri, kini dia tidak ragu menyatakan keseriusannya kepada Julian.
Lucas harus mendukungnya karena dia tahu cinta Kenan tidak bertepuk sebelah tangan.
“Ayah..” suara Endrea bergetar, keberaniannya terkikis karena melihat kemarahan Julian. Endrea tidak ingin ada pertengkaran apapun atas keputusannya dengan Kenan. “Aku akan bertanggung jawab dengan keputusanku, jadi_” Endrea berhenti bersuara karena Julian mengangkat tangannya memberi isyarat kepada puterinya untuk berhenti bicara.
Julian tidak memberikan kesempatan kepada Endrea untuk berbicara.
“Apa yang sudah lakukan pada Endrea?” tanya Julian pada Kenan.
Kepala Kenan sedikit terangkat, “Saya tidak melakukan apapun, kami saling mendorong untuk maju bersama-sama.”
Julian berdecih dengan senyuman masamnya, “Omong kosong.” Bisik Julian tidak percaya.
“Jaga ucapanmu Julian. Hargai mereka.” Peringat Yura.
Bibir Julian mengatup rapat mendengarnya, Julian tidak suka beradu argument dengan Yura karena dalam posisi apapun selalu dia yang kalah.
“Dengar Julian. Puteraku adalah satu-satunya pria yang berani datang kepadamu dan bicara langsung mengenai rencanya. Hargai dia” ucap Lucas penuh tekanan.
“Aku menghargainya, tapi aku tidak menerima rencananya.” Jawab Julian dengan senyuman smirknya yang menyebalkan.
“Kau harus menerimanya.”
“Tidak bisa.”
“Kita adakan surat kontrak perjanjian jika kau merasa khawatir.”
“Tidak mau.”
Endrea dan Kenan saling memandang lekat merasa tertekan, Lucas dan Julian terus tetap pada pendirian mereka dan bertahan dengan argument yang mereka miliki.
“Helian.” Panggil Yura dengan lantang membuat pertengkaran di antara Lucas dan Julian terhenti menyisakan napas yang ngos ngosan, kedua pria yang sudah paruh baya dan memiliki segunung harga diri itu saling menatap penuh permusuhan.
Helian yang sempat tertunduk ketiduran karena bosan mendengarkan percakapan penuh omong kosong itu, kini langsung mengangkat kepalanya dan menegakan tubuhnya. “Ya, Ibu.”
Yura melihat semua orang dengan seksama, pesta ulang tahun yang indah malam ini akan rusak dengan perdebatan tanpa ujung karena Julian dan Lucas sama-sama keras kepala.
Mereka sama sekali tidak memikirkan Endrea dan Kenan, mereka hanya memikirkan ego dan harga diri mereka masing-masing.
“Helian, coba katakan. Bagaimana pendapatmu mengenai hubungan serius Endrea dan Kenan?. Apa mereka layak di beri kesempatan?.” Tanya Yura dengan penuh tekanan.
“Kenapa aku harus memberi pendapat?.” Tanya Helian bingung.
“Karena kau yang paling rasional di sini.”
Helian langsung mangut mengerti. “Menurutku mereka cocok. Ayah dan Tuan Lucas sama-sama beruntung.” Jawab Helian seraya mengusap dagunya.
Seketika Julian dan Lucas menatap tajam Helian.
“Coba pikirkan. Ayah beruntung bisa mendapatkan calon menantu yang sudah mapan di usia muda seperti Kenan. Selain itu, Kenan juga sangat menghormati dan menghargai Endrea. Mereka berpacaran hanya saling bergandengan tangan dan berciuman saja. Akan lebih mudah bagi Ayah mendapatkan besan sahabat Ayah sendiri, sekaligus rekan bisnis yang sudah berjalan puluhan tahun.”
Semua orang terdiam begitu Helian terdiam sejenak.
“Sementara Tuan Lucas, dia beruntung jika Endrea kekasih Kenan. Endrea adalah wanita yang memiliki nilai dan standart yang tinggi, Endrea juga menghormati keluarganya Kenan. Tuan Lucas juga beruntung jika berbesan dengan Ayah, karena mereka sudah saling mengenal dengan baik sejak muda, Kalian juga sudah saling tahu seperti apa kepribadian masing-masing termasuk kepribadian Endrea dan Kenan.”
Julian dan Lucas menarik napas mereka dalam-dalam dan terlihat sedikit tenang dan lebih banya merenungkan ucapan Helian.
Yura menahan senyuman kecilnya mendengarkan jawaban Helian. Meski terkadang Helian aneh dan tidak mau ikut campur urusan orang lain, setidaknya dia adalah orang yang paling objektif di sini.
“Lihatlah Endrea dan Kenan.” Yura kembali angkat bicara. “Mereka selalu saling mendukung satu sama lainnya. Kalian juga sudah saling mengenal satu sama lainnya. Lalu, apa yang sebenarnya kalian mau?. Jangan menghancurkan impian Endrea dan Kenan.”
Lucas dan Julian semakin membungkam, namun mereka masih saling berkomunikasi dan berdebat melalui tatapan mata dan mengajak untuk melanjutkan perdebatan mereka di belakang Yura dan anak-anak mereka.
“Julian!.” Panggil Yura mengingatkan.
Julian langsung berdeham dan mengangkat dagunya, “Aku meminta waktu beberapa hari untuk berdiskusi dengan keluargaku.” Ucap Julian yang pada akhirnya melunak dan mengalah.
Perlahan ketegangan yang terjadi itu menghilang karena adanya sebuah kesepakatan.
***
“Helian.” Panggil Yura.
Helian yang berjalan hendak kembali ke ruangan pesta kembali membalikan tubuhnya dan memperhatikan ibunya tersenyum berjalan ke arahnya. “Ada apa?.”
Yura mengusap lengan Helian dan memperhatikan puteranya sejenak. “Apa kau tidak keberatan mengantar dia ke hotelnya?.”
Kening Helian sedikit mengerut tidak setuju.
“Jika kau tidak bisa. Ibu akan pulang dengannya dan membawa Lily menginap di rumah.” Tambah Yura lagi.
“Aku akan mengantarnya.” Jawab Helian dengan cepat.
“Baiklah. Malam jangan pulang larut. Besok pagi ada hal penting yang ingin ibu bicarakan denganmu.”
Helian hanya mengangguk setuju, sementara matanya melihat kedatangan Julian bersama Endrea yang datang menyusul keluar dari ruangan.
***
Lily berdiri di depan sebuah mobil sport berwarna biru tua, gadis itu hanya menutup mulut mungilnya dan menatap berbinar karena Helian membukakan pintu untuknya.
Gaun yang di pakai Lily sedikit berkibar tersapu angin itu tidak dia pedulikan sama sekali.
Lily hanya melihat Helian yang kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi dinginnya seperti biasanya. Pemandangan di depan Lily membuat dia merasa benar-benar bertemu dengan seorang pangeran impiannya.
“Ayo masuk.” Titah Helian.
Lily langsung masuk ke dalam dan duduk, gadis itu tidak dapat menghentikan senyuman merekah di bibirnya karena malam ini Helian mengantarnya. Sangat membahagiakan untuknya bisa menghabiskan waktu bersama Helian meski pria itu terkesan dingin dan acuh.
Helian memiliki pesona tersendiri bagi Lily, dia memiliki aura yang kuat karena Helian tidak pernah sembarangan mengumbar kehangatannya kepada orang lain.
Tidak berapa lama Helian menyusul masuk dan duduk di bangku kemudi. Helian melajukan mobilnya meninggalkan tempat pesta yang masih berlangsung.
“Helian, bagaimana dengan sekolahmu?. Kau akan sekolah di mana?.” Tanya Lily.
Helian baru menyelesaikan sekolah menengah atasnya, kini harus melanjutkan ke bangku kuliah. Helian belum memiliki rencana apapun karena untuk saat ini dia hanya ingin liburan dan ikut melakukan acara amal bersama teman-temannya.
Bagi Helian, sekolah di manapun semuanya sama saja.
“Aku tidak tahu.” Jawab Helian dengan singkat.
“Mengapa?.”
“Tidak tahu.”
Bibir Lily sedikit mengerucut mendengarnya, padahal dia sangat ingin satu sekolah bersama Helian lagi. Sama seperti saat dulu mereka masih TK. “Helian, dulu kita satu bangku saat masih TK.”
Helian menengok, dia tidak ingat apapun dengan masa kecilnya. Apalagi setelah kejadian penculikan yang terjadi kepadanya.
Kepala Lily terjatuh ke sandaran kursi, “Kamu ingat tidak?. Kamu pernah memberikan aku bunga pernah Dandelion, kamu bilang kamu tidak memiliki uang untuk membeli bunga karena masih kecil. Jadi kamu hanya memberikan bunga Dandelion yang tumbuh di taman sekolah.”
“Aku tidak ingat.” Jawab Helian dengan jujur.
Bibir mungil Lily tetap tersenyum meski mendengarkan jawaban Helian yang seperti itu. Gadis itu memejamkan matanya membayangkan masa-masa manis pada saat itu.
Helian yang memakai seragam warna biru laut, anak itu berdiri di hadapan Lily dengan tangan mungil yang terulur. Helian memberikan bunga Dandelion kepada Lily. Belum sempat Lily menerimanya, kelopak-kelopak putih yang menempel pada Dandelion berterbangan tersapu angin.
Lily terbatuk, beberapa lembaran kecil putih bunga Dandelion menempel di pipinya yang kemerahan. Helian mengusapnya dan menghiburnya, dengan polosnya Helian bilang dia akan memberikan bunga Lily yang cantik sesuai dengan nama Lily di pesta pernikahan mereka nanti.
Tidak berapa lama, perjalanan Helian menuju hotel tempat Lily menginap sudah sampai. Helian mematikan mesin mobilnya dan melihat ke sisi.
Lily tertidur..
Atau pura-pura tidur..
Helian melepaskan sabuk pengamannya dan membantu membuka sabuk pengaman Lily. Pria itu terlihat kebingungan harus bagaimana. Beberapa saat Helian hanya diam dan melihat Lily yang masih tertidur.
“Bangunlah, kau sudah sampai.” Panggil Helian yang memutuskan untuk membangunkan. “Jangan tidur di sini, bangunlah.” Panggil Helian lagi beberapa kali.
Lily tidak bergeming.. gadis itu tetap tertidur.
Helian langsung memutuskan keluar dari mobilnya.
Begitu Helian keluar, Lily tersenyum dengan mata sedikit terbuka melihat Helian yang mengitari mobil, dalam benaknya dia sangat berharap Helian akan menggendongnya dan mengantarkan dirinya sampai ke kamar tempat dia menginap.
Dalam semua drama yang Lily tonton, biasanya akan seperti itu.
Begitu pintu terbuka, Lily kembali berpura-pura tertidur.
Helian berdiri di sisi pintu, namun tangannya melambai kepada salah satu pengawalnya yang berada di mobil belakang. Pengawal itu langsung berlari ke arahnya. “Sepertinya dia mabuk dan ketiduran. Dia menginap di sini, tolong antar dia dengan selamat ke kamarnya.” Titah Helian.
“Baik Tuan Muda.”
Seketika Lily membuka matanya lebar-lebar dan bangun, gadis itu melompat keluar dari mobil. Lily tersenyum dan tertawa sumbang, “Aku baik-baik saja. Aku tidak tidur dan tidak mabuk.” Akunya dengan malu karena ketahuan ketiduran.
Helian langsung bersedekap merasa sedikit jengkel di permainkan.
Melihat kejengkelan Helian membuat Lily merasa harus segera pergi secepatnya. Kepala Lily bergerak ke sana ke mari, kaki kecilnya melompat, tangannya merangkul bahu Helian, dengan penuh keberanian Lily mengecup bibir Helian sekilas dan kembali berdiri di tempatnya.
“Sampai jumpa lagi.” Teriak Lily dengan suara yang hampir melengkik dan wajah merah malu, gadis itu langsung berlari pergi meninggalkan Helian yang mematung karena kaget.
“Bibir berhargaku.” Bisik Helian dengan mata nanar. Tangan Helian yang gemetar langsung terulur kepada pengawalnya. “Tishu basah.” Pintanya dengan napas yang bergerak cepat.
Helian terlalu kaget dan belum siap karena ciuman pertamanya telah di curi,
Dengan terburu-buru pengawalnya berlari ke mobilnya untuk mengambilkan tishu basah.
“Tuan Muda.” Panggil pengawal itu hampir berteriak melihat Helian sedikit mimisan.
Helian langsung mengusapnya dengan punggung tangannya, sementara satu tangannya lagi terangkat menyuruh pengawalnya untuk tidak berteriak. “Aku hanya shock.”
To Be Continue..