BAB 6: In Dubai

1609 Words
Seorang dokter keluar dari ruangan usai selesai memeriksa keadaan Julian, pria itu terduduk lemas di sisi ranjang. Reaksinya yang cukup berlebihan begitu mendengar kabar bahwa dia akan kembali memiliki seorang anak. Julian Giedon, pria itu di serang kepanikan seakan kehadiran anak sangat menakutkan untuknya. Sementara itu, Yura masih diam menemani pria itu dan memperhatikannya, menunggu waktu yang tepat untuk di ajak bicara karena kehamilannya kali ini di luar rencananya. Yura merasa sedih dan khawatir memikirkan puteranya Helian, dia sangat takut Helian marah dan kecewa ke padanya. Di dalam keluarga Yura, hanya Endrea satu-satunya orang yang bersikap santai mendengar kabar kehamilannya, hal itu di karenakan Endrea lebih dulu mengetahuinya dan Yura sudah memberinya pengertian agar bisa menerimanya. Yura menelan salivanya dengan kesulitan, wanita itu berpikir keras memikirkan percakapan apa yang harus dia mulai agar bisa berbicara serius dengan Julian yang kini masih terlihat shock. Sementara itu, di sisi lain, diam-diam Julian melihat keberadaan Yura yang kini terlihat gelisah menyusun kata-kata yang tepat untuk membangun percakapan. Julian meletakan punggung tangannya di keningnya dan merasakan suhu panas meningkat. “Jangan membicarakan apapun, aku tidak mau mendengar apapun tentang kehamilan” ucap Julian memperingatkan, dia tahu Yura ingin membahasnya sekarang. Pupil mata melebar karena kaget, namun dengan lembut Yura menjawab “Tidak bisa, kita harus membicarakannya sekarang.” “Aku belum siap.” “Aku juga belum siap Julian, kehamilanku di luar rencana dan kendaliku, namun hal ini tidak boleh di tunda-tunda, kita harus membicarakan masalah ini sekarang juga” jawab Yura masih bertahan dengan ucapan lembutnya. Julian langsung membuang mukanya dan bersedekap, dia tidak peduli depan apapun yang Yura katakan, yang jelas Julian tidak mau membahas kehamilan isterinya itu untuk sekarang. Yura membuang napasnya dengan kasar, dia hanya bisa menahan kekesalannya kepada Julian. Yura harus banyak bersabar untuk saat ini, dia tidak ingin membuang-buang energinya dengan memperdebatkan omong kosong. Dengan pasrah akhirnya Yura berbalik hendak pergi memilih menjauh memberi Julian waktu sendirian agar bisa menenangkan diri. Reaksi Julian setiap kali mendengar Yura hamil masih sama, pria itu panik berlebihan dan merajuk seakan dunianya akan terenggut karena kehadiran seorang anak. Julian tidak bereaksi bahagia sama sekali, pria itu tidak seperti seperti seorang suami pada umumnya. “Kau mau meninggalkanku?” tanya Julian dengan sedikit teriakan melihat Yura yang hendak pergi. Yura yang baru membalikan badannya kembali melihat Julian. “Aku tidak bisa berbicara dengan orang yang tidak mau aku ajak bicara,” ucap Yura terdengar sedikit menyindir karena sudah lebih dari satu jam setelah Yura memberitahu kehamilannya, Julian tidak berbicara dengannya dan kini malah bersikap menyebalkan. Julian mengerjap kaget, “Aku terlalu shock, kenapa kau memahami perasaanku?” “Lalu kapan kau memahami perasaanku juga?” tanya balik Yura. “Semua suami akan tersenyum lebar dan berbahagia ketika mendengar isterinya hamil, namun kau tidak pernah seperti itu. Yang ada kau menjadi setres.” Bibir Julian mengerut seketika, pria itu tertunduk malu seperti anak kecil yang menyadari kesalahannya, namun dia enggan untuk berubah dan memperbaiki kesalahannya. Julian langsung memijat pelipisnya, perlahan dia bangkit dari sisi ranjang dan pindah duduk ke kursi. “Bagaimana bisa kau hamil lagi?” tanya Julian masih kebingungan namun pada akhirnya mau membahas kehamilan Yura. “Apa kau bodoh? Bagaimana pria paling m***m sepertimu mendadak tidak tahu penyebab wanita hamil?” tanya balik Yura terdengar kasar dan tajam. “Kau memakai kontrasepsi setiap bulan, mana mungkin hamil, kecuali kau telat memakainya” jawab Julian terdengar seperti sebuah tuduhan kecil namun tidak berani membicarakannya secara terang-terangan. “Itu benar” jawab Yura tidak menutupi apapun. “Kau sengaja hamil lagi?” Yura tercekat kaget, wanita tidak bisa langsung menjawab karena bingung harus mengatakan semuanya dari mana. Perlahan Yura mendekat dan duduk di hadapan Julian, “Julian, apa kau tidak ingat kegiatan bulan lalu? Kita pergi lebih dari ke empat negara selama tiga minggu. Aku sudah memberitahumu jika masa kontrasepsiku habis dan kita tidak membawa dokter pribadi saat itu.” “Jadi, sekarang kau mau menyalahkan aku karena saat itu aku masih tetap mengajakmu bercinta?” Bibir Yura terbuka, namun wanita kehilangan kata-kata untuk menjawab. Yura menekan batang hidungnya dengan sedikit keras memikirkan kata apa yang harus dia ucapkan agar Julian mengerti maksud kata-katanya. “Julian, aku tidak menyalahkanmu, aku hanya memberitahumu agar kau ingat.” “Aku ingat, kita bercinta di bilik toilet setelah selesai meeting” jawab Julian spontan. Mengejutkan, suasana sedang serius dan di penuhi ketegangan, Julian masih sempat-sempatnya memikirkan hal-hal kotor. “Sialan Julian” Yura memaki dengan keras, mendadak wajah Yura merah padam karena malu bercampur kesal, tangan Yura sedikit terkepal menahan diri untuk tetap bersabar dan bersikap tenang, Yura tidak boleh tersulut emosi. “Dengar Julian, aku tidak ingin berbicara omong kosong apapun lagi denganmu sekarang, aku tidak ingin menghiburmu dan memberikan pengertian apapun lagi kepadamu. Namun Helian, dia membutuhkannya” ucap Yura terdengar lebih tenang dan lembut. Julian tidak langsung menjawab, pria itu mulai teringat Helian puteranya yang langsung pergi begitu mendengar kabar kehamilan Yura. Reaksi Helian cukup sama dengannya, namun masalahnya hal yang paling Helian takuti di dunia ini adalah memiliki seorang adik. “Julian, Helian membutuhkan pendampingan dan dokter. Aku tidak ingin membiarkan dia bepergian sendirian sekarang, bisakah kita membicarakan tentang Helian saat ini? Aku tidak ingin Helian membuat masalah lagi karena kecewa dan merasa terabaikan.” Julian mengubah posisi duduknya seketika, ketegangan yang ada pada dirinya perlahan mengendur, pria itu mengangguk setuju dengan apa yang Yura katakan. Julian menurunkan sisi egois di dalam dirinya untuk Helian. Untuk sekarang, bukan saatnya semua orang menenangkannya, yang membutuhkan penenangkan dan pengertian adalah Helian, anak itu pasti merasa kecewa dengannya dan Yura. Jika Julian membiarkan Helian begitu saja sendirian di luar, Helian akan semakin merasa terabaikan dan berpikir jika kehamilan Yura saat ini di sengaja untuk menyingkirkan Helian. *** Helian menarik kopernya begitu begitu dia sudah sampai di Bandara Internasional Dubai di temani oleh Deryl satu-satunya pengawal setia yang selalu berada di sisi Helian dalam keadaan apapun. Langkah kaki Helian yang berjalan dengan cepat terlihat di lantai, pria itu melewati beberapa orang yang ada di depannya, sementara Deryl berada di belakangnya tetap mengawal Helian. Helian terlihat sudah terbiasa berada di tempat itu karena sudah terlalu sering datang Dubai. Dubai adalah salah satu tempat yang paling sering Helian kunjugi untuk berlibur dan bertemu dengan teman-temannya. Kemewahan Dubai dan aturan-aturannya yang tidak terlalu bebas seperti di eropa sangat cocok untuknya yang hanya lebih suka memuja kesenangan jiwa, memanjakan diri sendiri dan mecari ketenangan jiwa di bandingkan dengan mengahbiskan waktu bersama wanita. Helian menghela napsnya dengan berat, sorot mata Helian yang berwarna hijau terlihat cerah menghiasi wajahnya yang berekspresi murung sejak beberapa jam yang lalu. Helian masih belum bisa menyembunyikan perasaan kecewanya karena berita kehamilan ibunya. Berita kehamilan adalah kabar yang bahagia, namun siatuasinya akan rumit jika itu terjadi pada Helian. Helian sangat kecewa, dia merasa di khianati oleh keluarganya, padahal Helian sudah banyak berbicara hingga memohon agar orang tuanya memberi Helian waktu sampai dia bisa merasa bisa mengurus diri sendiri, baru Helian bisa menerima kehadiran seorang adik. “Tuan, kita akan langsung ke rumah Anda?” tanya Deryl seraya memasangkan sebuah sim card baru di handponenya untuk bisa menghubungi seseorang. “Tidak perlu, aku akan menemui Rashid.” “Sepertinya Pangeran Rashid menjemput Anda” jawab Deryl sedikit ragu karena dari kejauhan dia melihat samar-samar keberadaan teman Helian. “Aku yang meminta.” Ternyata apa yang di katakan oleh Helian benar apa adanya. Kedatangan Helian di bandara ternyata sudah di di tunggu oleh temannya yang kini berdiri memakai jubah putih gamis dan kaffiyeh putih di padukan dengan agal yang khas, Rashid tersenyum lebar melihat kehadiran Helian yang dia lihat dari kejauhan. Rashid sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Rashid, pria itu terlihat masih sangat muda seumuran dengan Helian, namun penampilannya yang berwibawa terlihat lebih dewasa. Rashid memiliki sorot mata yang tajam di hiasi bulu mata yang lentik dan alis hitam, Rashid menumbuhkan sedikit kumis dan janggutnya membuat setiap garis wajahnya yang tampan terlihat lebih menarik. “Tuan, Pangeran Rashid ada di sana” bisik Deryl menunjuk keberadaan Rashid dengan tatapan matanya karena kini Helian kembali melupakan wajah temannya yang hampir saja akan dia lewati begitu saja. Helian menengok ke kanan, pria itu melihat Rashid dan beberapa orang di belakangnya. Seketika Helian mengubah arah jalannya menuju Rashid, sesaat Helian tampak kebingungan karena kini semua orang hampir berpakaian sama. Perlahan Helian berhenti melangkah melihat Rashid dan orang-orangnya, Helian menarik napasnya dalam-dalam mencari aroma parfume dari Rasasi kesukaan Rashid. Di detik selanjutnya Helian tersenyum lebar, karena Rashid yang sudah tahu kekurangan Helian langsung mengucapkan salam lebih dulu dan mengajak bersalaman. Pegangan Helian pada kopernya terlepas, dengan cepat dia menggenggam tangan Rashid, sejenak mereka berpelukan dan berbicara saling menanyakan kabar sebelum pergi menuju limousine yang sudah menunggu. “Aku senang kau datang lebih cepat ke sini” ucap Rashid dengan senyuman lebarnya melihat Helian yang kini duduk di sebelahnya. Helian menurunkan kaca jendela mobil dan melihat keluar sejenak sebelum melihat temannya itu. “Aku butuh meditasi, karena itu datang ke sini.” “Dari pada bermeditasi, bersenang-senanglah denganku. Besok ada balapan unta, kita bisa menonton.” “Ide bagus” jawab Helian terdengar singkat. “Ada masalah apa lagi?” tanya Rashid yang menyadari jika terjadi sesuatu pada Helian. Helian menggeleng kecil, dia tidak memiliki hak untuk memberitahu orang-orang luar keluarganya sebelum orang tuanya sendiri mengumumkan kehamilan ibunya. Helian sendiri cukup malu untuk memberitahu, Helian malu karena dia tahu sebesar apa orang-orang meremehkannya. Begitu banyak orang yang menghormati Helian dan memperlakukan dia dengan istimewa, hal itu bukan karena rasa hormat kepada pribadi Helian. Mereka melakukannnya semata-mata karena Helian salah satu calon penerus dan juga memiliki orang tua yang sangat luar biasa seperti Julian Giedon dan Zuyura Alexandra Franklin. To Be Continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD