Part 11 - Kemesraan

998 Words
    Waktu berjalan dalam hamparan cinta seolah menjadi bahagia tiada terkira. Tak ada hari tanpa senyum untuk sebuah hati yang tengah dilanda asmara. Debar jantung yang berdegup seakan menandakan genderan cinta yang tengah berlabuh. Sinar mentari kemuning menjadi awal terbitnya rasa yang sangat diagungkan.. Menyantap sehelai roti gandum dan s**u di atas meja makan yang telah disediakan Mak Ijah.     “Apa mau tambah rotinya cah ayu”, Mak Ijah menawari dengan senyum manisnya     “Tidak, Mak, aku sudah terburu-buru” Mak Ijah hanya menahan senyumnya, lalu pandangannya masih saja tertuju pada wajah gadis yang tengah menyantap sarapan pagi itu. Teringat dengan sangat gejolak d**a yang tengah melanda pikiran pak Kamal. Mak Ijah pun kembali ke dapur untuk menyelesaikan tugasnya.       Berdandan dengan hiasan gaun nan mewah, Rina telah bersiap untuk menjalani pemotretan di hotel berbintang lima. Keelokan tubhnya memberikan nilai kharismatik yang sangat dikagumi banyak orang. Rina dan penampilannya sungguh mempesona.       Hampir satu jam Rina bergaya di depan kamera. Menampilkan pose terbaiknya. Dan semuanya pun usai. Rina tak bergegas kembali ke rumah. Dilihatnya jam tangan yang melilit di tangannya. Matanya menengok kesana-kemari. Seperti tengah menunggu kedatangan seseorang. Lalu dia pun mengambil ponsel genggamnya dan segera menelpon, tapi tiba-tiba wajahnya tertekuk sayu dan menahan napas panjang. Duduk di sebuah kursi tanpa senyum sedikit pun.     “Maaf ya...aku terlambat menjemputmu” Wajah Rina berubah seketika, kebosanan yang menyelimuti kini berubah seketika. Dia pun tersenyum lebar melihat kekasih yang ditunggunya telah di depan mata.      “Tidak masalah,” jawab Rina singkat      “Jadi pergi, kan?”      “Tentu saja” Kedua insan yang tengah memadu kasih itu pun segera masuk ke dalam mobil Bowo, melenggang dengan rasa cinta penuh pesona. Gelak tawa menyelimuti perjumpaan mesra. Senandung kerinduan telah terjawab dalam sua yang telah dijanjikan.       “Mas Bowo, kau pasti menikahiku , kan?”       “Tentu saja, sebentar lagi kita akan menikah”       “Aku mencintaimu Mas”       “Aku juga begitu”        Di tengah perjalan menuju tim even organizer, Bowo merasa ada sesuatu yang tertinggal di restorannya, tangannya memeriksa saku, lalu tas kecil yang ada di sampingnya. Pikirannya pun tepat, ponsel genggamnya tertinggal.        “Kita ke restoran dulu ya, poselku tertinggal” Rina menggangguk dengan senyum yang dia persembahkan untuk kekasihnya. Mobil pun melaju dengan sangat cepat. Keindahan cinta telah mengalir pada kedua insan yang tengah berbahagia. Tak lama mereka pun telah sampai di restoran.       “Kamu mau turun atau tunggu di mobil?” tanya Bowo       “Aku ikut kamu, Mas”        “Ayo” Mereka pun turun dari mobil dan berjalan beriringan, terlihat Rina melilitkan tangannya pada pinggang Bowo. Bowo pun hanya diam tanpa ekspresi apa pun. Memasuki restoran, dua insan ini seolah telah memamerkan kemesraan. Keduanya pun memampang senyum pada setiap karyawan yang menyapa majikannya itu. Tak terkecuali saat Rana yang jauh di belakang itu melihat dengan hati yang sesak. Rana memandang dengan penuh kekesalan. Kedua tangannya mengepal erat. Rana seperti terbakar api cemburu. Mata Rana semakin fokus menatap orang yang dicintainya dalam diam itu. Dia semakin tak bisa menahan kegundahan hatinya.        Piring berwarna putih, bertumpuk tiga lapis itu tak sengaja dibanting Rana ke lantai. Kegeraman yang melanda hatinya tak bisa ditahan. Bu Devi yang mendengar suara keras dari arah tempat cuci piring pun segera menghampiri.      “Rana, apa yang kamu lakukan?!!” sentak Bu Devi Rana hanya diam dan matanya seketika memandang ke lantai, Rana memang tak sadar dengan apa yang tengah dilakukannya. Pecahan piring itu berserakan dan  seperti pertanda akan keping-keping luka dalam hatinya.      “Kenapa bisa tiga piring ini pecah, Rana” Rana masih tak menjawab apa yang dikatakan bu Devi. Dia masih saja menunduk dan matanya terlihat berkaca-kaca.      “Kalau kamu memecahkan barang seperti ini, kita bisa rugi, cepat kau bersihkan sekarang!!” Suara keras bu Devi mengundang pak Bowo yang sedari tadi dililit rasa penasaran karena kebisingan yang terdengar sangat keras di samping ruangannya. Rina pun ikut serta dan dengan tangan yang bergandengan seperti mata rantai yang tak terpisahkan.       “Ada apa bu Devi?” tanya Bowo Bu Devi mencoba mengambil napas, memandang pak Bowo dengan senyum sedikit terpaksa. Sebenarnya Bu Devi tak mengetahui bila ada pak Bowo, dia pun seolah salah tingkah telah mengeluarkan nada tinggi kepada Rana, dia sangat paham bila pak Bowo tak pernah menyukai pertikaian, meskipun itu hanya sebuah bentakan untuk mendisiplinkan karyawan.       “Maaf, pak, Rana memecahkan piring”       “Sudahlah, mungkin Rana tidak sengaja. Bersihkan dan beli saja piring yang baru. Tidak usah saling menyalahkan,” Pinta Bowo Perkataan Pak Bowo sedikit melegakan Rana, akan tetapi hatinya masih kelu. Bowo segera berlalu dan tetap berjalan beriringan dengan Rina. Bu Devi mengintruksikan Rana untuk segera membersihkan pecahan piring, dan berlalu pergi.       Rana mencoba menguatkan hatinya, dia tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada majikannya itu, tapi rasa yang dimilikinya tak bisa ditepis dengan mudah. Kemesraan yan Bowo tunjukkan dengan kekasihnya itu membuat Rana semakin tak bisa menahan hati. Seperti kayu yang tersiram minyak tanah lalu terbakar dengan api. Rana tak pandai menyembunyikan kecemburuannya. Pecahan piring yang dibersihkan itu pun tak sengaja menggores jarinya. Darah yang bercucuran itu mewakili isi hatinya. Luka yang tertoreh pada kulitnya itu sama sekali tak seperih luka yang membekas dalam hati.        “Obati dulu jarimu agar tak infeksi” Suara Roni mengagetkan Rana, dia pun segera menyembunyikan air mata yang telah jatuh di pipinya, diseka segera agar Roni tak mngetahui apa yang tengah dirasakannya.        “Ini obat untuk tanganmu” Rana pun mengambil obat yang diberikan Roni lalu segera pergi untuk menutupi rasa yang sangat sakit bila harus diceritakan. Sendiri dalam ratapan yang tak terucap. Mencekik jiwa yang tak pernah bisa membalas cinta. Tetesan obat yang dioleskan pada jari itu tak membuat Rana merasa baik. Dia masih saja merintih, bukan karena darah yang terus saja keluar dari kulitnya. Akan tetapi dari jauh dia masih bisa melihat kemesraan dua orang yang tengah di mabuk asmara. Bowo dan Rina memang sedang menikmati manisnya madu cinta. Sedangkan Rana, dia hanya bisa meratapi nasibnya. Merasakan cinta yang teramat dalam tapi tak terbalaskan. Bias-bias harapan seolah tak pernah datang mengampirinya, tak ada Dewi Fortuna yang menjawab keinginannya. Rana dalam sedih yang tak berujung. Hatinya hampa, cinta yang diagungkan kini telah menggores dadanya, air mata menghiasi, menetes di sela-sela rasa yang tak bisa diucapkan lagi dalam nyata. Merintih dalam tangis yang terus saja hadir di tengah usaha untuk menerima. Rana hanya bisa mencinta tanpa dicinta.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD