Part 12 - Undangan Pernikahan

1020 Words
    Kisah kasih antara Rina dan Bowo kini akan mencapai babak k*****s, keduanya sudah memutuskan untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Semua itu dibuktikan dengan selembar undangan yang siap beredar. Dua sejoli yang namanya terpampang jelas dalam secarik kertas itu terasa sangat bahagia. Buaian asa kini akan segera terwujud. Sebuah pesta impian yang diagungkan menjadi dambaan Rina. Hampir seribu undangan kini mulai beredar di kalangan kerabat, teman, karyawan dan juga orang-orang penting lainnya.      Siang dengan setumpuk piring kotor, Rana bergelut dengan tugas-tugasnya. Tiba-tiba wajahnya berpaling saat mendengar sebuah suara yang tak asing baginya. Menoleh tanpa diminta. Wanita yang membuat hatinya kelu itu pun tertawa lepas dengan orang yang kini masih mengisi hati Rana. Dia mencoba untuk acuh, kembali mengfokuskan dirinya pada kran air dan juga sabun cuci piring. Menepis sedikit kesal yang menyelimuti.      “Aku benci dia, aku benci,” Gerutu Rana dengan tangan yang basah dengan air. Seabrek tumpukan piring itu selesai dikerjakan tak kurang dari lima menit. Dia kembali mnegatur napas dengan wajah geram yang tak tertahan. Ingin rasanya kembali membanting piring ke lantai saat mendengar suara kekasih Bowo. Sakit dalam dadanya membuncah, dia tak bisa berpikir dengan jernih.         “Juling, ini undangan untukmu” Roni datang tanpa disadari, menjulurkan secarik kertas berbungkus plastik. Diterimanya tanpa bertanya apa pun.      “Selamat menikmati patah hati ya Juling” Kata-kata terakhir Roni membuat Rana merasa ingin segera membuka isi undangan itu. Roni tertawa dengan ciri khasnya. Rana dengan debar hati menyobek plastik pembungkus undangan itu lalu membukanya. Matanya terbelalak saat melihat nama yang tercantum dalam undanga itu. Hendro Wibowo dan Rina Wulandari, dua nama yang membuat Rana menjadi semakin tak karuan. Dirobeknya seketika undangan yang telah digenggamnya itu.     Tempat sampah menjadi tujuan utama untuk melampiaskan kegundahan hati, undangan itu tak tersisa saat dirobek tangan Rana. Dia berlari ke kamar mandi, membunyikan kran agar tak ada orang yang tahu bila air matanya menetes seribu kali. Rana dalam sakit yang tiada terkira.      Senja mengukir senyum pada cakrawala, tapi tidak dengan Rana yang sedari tadi menyusuri jalan dengan wajah yang tertekuk sayu. Bak bunga yang kering tanpa air. Sepeda yang menjadi tumpuannya saat berangkat dan pulang bekerja tak dikayuhnya, dia memilih untuk berjalan dan menggandeng sepedanya. Langkah kaki itu terhenti saat matanya memeandang candi Bajang Ratu di sampingnya. Tanpa pikir panjang dia pun menaruh sepeda dan mengajak langkahan kaki untuk segera memasuki bangunan candi.     Rana termenung dalam kesakitan cinta, dirinya terhanyut dalam luka yang tiada terlihat mata, hanya tetesan bola krista menjatuhi pipi, menyeruak seakan hati memang telah dilanda lara. Sesekali mata yang sembab itu diusapnya dengan sapu tangan kecil berwarna abu, hingga tak disadari gelap pekat langit menghampiri. Malam telah tiba. Tapi Rana masih tetap duduk bersimpuh di depan candi.     Si Mbah yang menunggu kepulangan cucunya terlihat begitu cemas. Menanti sedari tadi dengan pandangan mata tertuju di simpang jalan, berharap sang cucu segera muncul dan terlihat dari pandangan matanya.      “Ya Allah, nduk, nang endi awakmu iki,” gerutu si Mbah dengan wajah penuh pengharapan. Raut wajah si Mbah tak bisa menutupi kegundahan hati, ketakutan pun menghiasi pikirannya. Cucu satu-satunya itu tak biasanya pulang larut seperti ini. Jam dinding yang sudah lapuk itu terlihat menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Rana masih saja tak terlihat batang hidungnya. Dengan segera si Mbah pun menutup pintu dan bergegas untuk mencari Rana.      Sandal jepit berwarna hijau itu menghiasi langkah si Mbah, baru saja sepuluh meter berjalan, senyum si Mbah mendadak merekah. Terlihat Rana dengan sepedanya berjalan menuju rumah. Betapa lega hati si Mbah, mendapati Rana dalam keadaan baik-baik saja. Segera diajaknya Rana untuk masuk ke dalam rumah, membereskan badan lalu menyiapkan makanan untuk segera mengisi perut yang sedari tadi sudah protes dengan kencangnya.      “Nduk, ayo makan,” ajak si Mbah      “Aku tidak lapar, Mbah”      “Apa tadi kamu sudah makan?” tanya si Mbah dengan lembut suaranya Rana menggelengkan kepalanya, lalu dia pun tak mengucapkan apa pun. Bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintunya. Direbahkan tubuhnya pada ranjang dengan kasur yang sudah tak empuk. Jendela kamar yang masih terbuka itu memperlihatkan keindahan langit. Bulan purnama dengan sinarnya yang mempesona, menerobos ke kamar Rana dengan santun. Rana berdiri menuju jendela kamarnya, menatap jauh ke arah rembulan yang tengah berwujud sempurna itu.      “Jika semua orang menikmati indahnya bulan, apa aku tak berhak pula menikmati cinta?” Bisikan Rana pelan, matanya kembali berkaca-kaca. Memorinya teringat jelas akan wajah Bowo yang selalu memadati otaknya. Bergelimang kebaikan yang Bowo berikan membuat Rana semakin sulit untuk menepis bayangannya. Rana mengadu pada bulan yang sempurna. Ditatapnya penuh kerinduan yang dalam. Air mata itu kembali hadir dalam isakan hati karena cinta yang tak terbalaskan. Rana teringat sebuah nama yang bersanding dengan pujaan hatinya. Rina Wulandari, sebuah nama yang hanpir mirip dengan namanya.      “Andai kata nama diundangan itu adalah Rana Wulandari, mungkin aku tak akan seperti ini,” gumam Rana pelan.      Tangisan itu semakin menghiasi luka yang menusuk sukma. Rana masih saja teringat secarik undangan yang menandakan bila sebentar lagi Bowo akan menjadi milik orang lain. Tak ada kesempatan baginya untuk merasakan pembalasan cinta yang sesungguhnya. Mata Rana masih menangkap bulan yang indah dengan sinarnya.     “Hai bulan, katakan pada Tuhanmu. Kenapa aku harus merasakan cinta kalau itu tak dapat kumiliki” Rana kembali terisak, menahan rasa yang menggerogot hatinya, mengatur napas lagi dan kembali menatap wujud bulan.     “Bulan, apa kau tahu bagaimana rasanya sakit bila cinta tak terbalaskan? Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan, dan sebentar lagi dia akan bersama wanita lain” Wajah Rana tertunduk dengan melepaskan segala beban yang ada di batinnya, lewat berjuta air mata yang keluar dengan spontan. Pipinya terus saja basah, pilu memuncak dengan jiwa yang tak tahu bagaimana obatnya. Napasnya tersengal, lalu pandangannya pun kembali menatap tajam pada benda langit malam.       “katakan pada Tuhanmu bulan, aku tak bisa menerima bila rasa ini tak terbalaskan, aku ingin hilangkan cinta ini bila akhirnya aku harus menahan sakit yang tak bisa kutepis” Semakin Rana mengungkapkan isi hatinya, dia semakin tak bisa mengontrol air mata yang terus membanjiri. Melatup bak api yang tengah terbakar. Jiwa Rana benar-benar telah tertutup akan cintanya.       Si Mbah mengintip dari arah pintu, lobang kecil yang ada di pintu itu membantu si Mbah untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada cucunya. Tanpa disadari si Mbah pun memegang dadanya dan pipinya basah dengan air mata.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD