Prolog
Lebih baik mati, Rana menentang Tuhannya.
Usaha bunuh diri dengan melukai nadinya sering kali dilakukan, karena hinaan yang selalu mampir dalam benaknya. Jeritan pilu mengaung membahana menembus cakrawala, membelah hawa panas yang menampar keras, membuat Rana menangis dengan sejuta sakit hati yang dirasa. Hari-hari Gadis yang sudah beranjak dewasa itu sungguh pahit, serasa meminum kopi tanpa gula setiap hari.
Cinta hanyalah ilusi
Hati Rana kosong tanpa seseorang yang berarti, dia bisa mencintai tapi tak bisa untuk dicintai. Penolakan-penolakan itu seperti duri yang menusuk jari. Mata kirinya yang juling dan tak bisa berfungsi seolah membuatnya ingin membunuh semua laki-laki yang mencacinya.
“Mata juling, mana ada laki-laki yang mau denganmu?”
“Lama-lama pasti jadi perawan tua”
“Punya mata satu gak bakalan laku”
“hahaha”
Cibiran bertubi-tubi Rana dengar, dia ingin merobek setiap mulut sampah yang berkeliaran di depannya, hinaan berkelimat dalam dendam yang tak kunjung padam. Tangan Rana mengepal erat dan sejurus ingin menghantam laki-laki yang tak berperasaan, seperti batu besar dilemparkan tepat ke wajah Rana.
Mengutuk sang Tuhan dengan segala kemarahan, ketidakadilan membuatnya larut dalam nestapa, merintih di setiap malam dalam keheningan, pun menangis dalam derai hujan yang tak terdengar. Cermin berbentuk hati yang tertempel di tembok bambu hancur berkeping-keping. Kebenciannya pada benda yang tak bisa berbohong itu melebihi marahnya pada mulut laki-laki jahannam baginya.
Jika Tuhan adil, kenapa aku harus diberi wajah buruk seperti ini?
Jika Tuhan adil kenapa aku tak pernah diberi kebahagiaan?
Jika Tuhan adil kenapa aku harus terus disakiti?
Jika Tuhan adil, kenapa aku tidak tercipta sama seperti wanita pada umumnya?
Rana terus menggerutu dalam malam yang tiada berbulan, dia tertidur dalam perasaan yang sangat menyiksa. Seorang nenek tua hadir tanpa diminta, membawa sebuah mantra untuk memperbaiki nasibnya.