Fairel terpejam. Sosok Zhaira seolah merasuk dalam pikirannya, mengurai satu persatu saat-saat bersama gadis itu di Pantai Ora.
Rasanya begitu campur aduk, tak dapat ia jabarkan, dan ada rasa sakit saat mendengar secara langsung bahwa seseorang yang tengah ia perjuangkan dalam sepertiga malamnya meninggal.
Melihat Fairel terdiam dengan raut wajah yang tak terbaca ekspresinya. Membuat Gibran semakin diburu banyak pertanyaan yang masuk dalam otaknya.
"Sudah satu bulan lebih Zhaira meninggalkan dunia ini. Dia pergi begitu tiba-tiba." Silmi mulai bercerita. Saat ini mereka tengah duduk di sofa di ruang tamu rumah Silmi.
"Bisa kamu jelaskan penyebab Zhaira meninggal?" tanya Fairel menahan gejolak rasa sakit dalam hatinya.
"Semua orang menduga, penyebab Zhaira meninggal karena dibunuh oleh mantan kekasihnya. Zhaira yang saat itu tengah terpuruk dengan kepergian Ibunya, pergi seorang diri meninggalkan pemakaman. Tidak ada yang tahu, apa penyebab mantan kekasihnya membunuh Zhaira. Salsa dan orang-orang yang menyusul Zhaira langsung dikejutkan dengan kondisi Zhaira yang sudah tergeletak di atas jalan dengan pisau berada di atas perutnya. Dan tidak ada orang lain selain mantan kekasih Zhaira di sana." Silmi mengusap air mata di pipinya dengan sejuta kesedihan kembali mendera.
Fairel terdiam. Ia sangat shock dan terenyuh membayangkan kejadian itu. "Silmi, bisa antarkan saya ke tempat peristirahatan terakhir Zhaira?"
Silmi tertunduk. "Maaf, Fairel. Saat di rumah sakit, jasad Zhaira hilang. Dan kami menduga, kalau pelakunya adalah mantan kekasih Zhaira. Dia adalah seorang psikopat."
Fairel menghela napas panjang. Mengacak rambut dan memijat pelipisnya. "Ini sulit di percaya. Apa dokter sudah memastikan kalau Zhaira benar-benar meninggal?"
"Sebenarnya, sebelum dokter melakukan pemeriksaan. Jasad Zhaira sudah hilang. Dan dokter menyimpulkan, kemungkinan besar untuk Zhaira bisa bertahan hidup sangat kecil. Karena Zhaira sudah kehilangan banyak darah."
"Apa polisi sudah melakukan pencarian?" tanya Fairel.
Silmi mengangguk. "Sudah. Tapi hasilnya nihil. Polisi pun menyimpulkan kalau Zhaira sudah meninggal."
Gibran yang masih tidak tahu apa hubungan antara Fairel dengan gadis bernama Zhaira itu, semakin mendekatkan dirinya pada Fairel. Ia merangkul pundak Fairel.
"Lo berhutang cerita sama gue, Rel."
*****
Fairel menghentikan mobilnya di dekat sungai. Ia berjalan keluar dari dalam mobil, menatap air sungai yang mengalir di bawahnya.
Fairel merasa ada yang ganjal dalam hatinya. Ia tidak bisa percaya begitu saja dengan kabar kematian Zhaira.
Fairel meronggoh saku celana dan mengeluarkan sebuah ponsel di dalamnya. Ia langsung menghubungi orang suruhannya untuk mencari keberadaan Zhaira. Jikalau benar Zhaira sudah tiada pun, ia harus tahu tempat peristirahatan terakhir gadis itu.
Fairel menghela napas sembari menyebut nama seseorang yang sudah menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama.
*****
"Assalamu'alaikum, Abang," ucap Rayna sedikit berteriak sembari mengetuk pintu kamar Fairel.
Rayna mengerit bingung saat tidak ada respon dari dalam. "Abang! Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam," ucap Fairel dari arah belakang. Membuat Rayna menoleh dan mendapati Fairel yang tengah berjalan ke arahnya.
Rayna menyengir lebar. "Rayna kira Abang ada di dalam."
Fairel tersenyum simpul sembari merangkul pundak Rayna, membawanya masuk ke dalam kamar.
"Abang kok tumben banget jam segini baru pulang?"
Fairel menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding kamar. Pukul 21.15 malam. Setelah dari sungai, ia kembali ke kantor melanjutkan pekerjaannya yang semakin menumpuk. Meski pikiran masih melayang pada Zhaira, tapi ia tetap mencoba fokus pada kerjaannya.
"Habis lembur," ucap Fairel seraya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Dek, kaki Abang pegel nih."
Rayna mendengus kesal, namun tak urung untuk memijat kaki Fairel. "Lagi banyak proyek ya, Bang?"
Fairel hanya bergumam dengan mata yang sudah terpejam. Selain pusing karena kerjaan, ia juga pusing dengan masalah Zhaira. Meski ia sudah mengerahkan banyak orang suruhannya, tetap saja ia tidak bisa tenang.
"Padahal Rayna ke sini mau minta bantuan sama Abang."
"Bantuan apa?" tanya Fairel dengan mata yang masih terpejam.
"Buatin desain rumah sederhana buat tugas di kampus," ucap Rayna sembari menyengir lebar.
Fairel membuka mata, tangannya terulur mengusap puncak kepala Rayna. "Iya. Nanti Abang bantu kerjain, tapi harus sama kamunya juga biar bisa."
"Ay! Ay! Kapten!" seru Rayna sembari hormat pada Fairel.
Seorang arsitek handal seperti Fairel tidak perlu memakan waktu banyak dalam membuat desain rumah sederhana seperti yang minta oleh Rayna.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga." Rayna tersenyum puas melihat hasil gambar yang telah dibuat oleh Fairel.
Hanyut dalam kekaguman melihat hasil gambar itu, Rayna tidak sadar kalau Fairel kembali murung. Laki-laki itu memijat pelipisnya yang berdenyut. Pikirannya terus melayang pada Zhaira.
Saat Rayna hendak pamit kembali ke kamarnya, ia melihat Fairel tidak seperti biasanya. Kakaknya terlihat kacau. Seperti sedang banyak pikiran. Tangan Rayna terulur mengusap bahu Fairel, membuat laki-laki sontak menoleh.
"Abang kenapa?"
Fairel tersenyum simpul. "Nggak apa-apa."
"Bohong. Abang kayak lagi banyak pikiran gitu."
"Masalah kerjaan, Dek. Udah ya, kamu ke kamar, tidur, udah malam."
Rayna menghela napas panjang. "Iya udah, Rayna ke kamar ya, Bang," ucapnya kemudian melangkah keluar dari kamar Fairel, meski ia tidak puas dan tidak percaya dengan ucapan Fairel.
Sebelum ke kamar, Rayna pergi ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil minum. Ia biasa menyediakan segelas air putih di kamarnya.
"Dek," panggil Ummi Karimah.
Sontak, Rayna menoleh ke belakang dimana sumber suara itu berasal. "Iya, Mi. Kenapa?"
"Belum tidur kamu."
Rayna tersenyum. "Baru mau, Mi. Rayna mau ngambil minum dulu."
Karimah tersenyum sembari mengangguk. "Iya udah, Ummi ke kamar duluan ya."
"Tunggu dulu, Mi." Rayna mencegah umminya yang hendak melangkah pergi.
"Kenapa, Dek?"
Rayna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Abang, Mi. Kayaknya lagi ada masalah, kelihatan kacau gitu."
Karimah terdiam sejenak. "Mungkin lagi ada masalah di kantor kali, Dek."
"Nggak mungkin. Ini beda, Mi. Kayak ada beban gitu loh."
"Beban?"
Rayna mengangguk. "Iya, Mi. Atau jangan-jangan ada kaitannya sama tantangan dari Abi waktu pagi lagi."
Karimah terdiam seolah tengah berpikir. "Iya udah, nanti besok Ummi bicara sama Abang. Sekarang kamu cepat ambil minumnya dan langsung masuk ke kamar, istirahat, besok harus ngampus lagi."
"Iya, Mi."
*****
Gemuruh petir terdengar saling bersahutan disertai dengan cahaya kilat yang membuat terang sejenak. Hujan turun sejak pukul dua dini hari, itu artinya sudah satu jam hujan turun membasahi bumi.
Fairel mengangkat kedua tangannya memanjatkan doa kepada Allah SWT agar di mudahkan segala urusan.
"Wahai yang Maha Hidup dan Maha Terjaga, dengan rahmat-Mu hamba minta pertolongan perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau limpahkan terhadap diriku walau sekejap mata, aamiin...."