Seorang gadis dengan mengenakan hoodie berwarna merah yang dipadukan celana hitam di atas lutut, melangkah masuk ke dalam apartemen.
Pancaran sinar matahari membias pada kisi-kisi jendela kamar, tak membuat gadis penikmat ayam kabar satu ini membuka matanya.
"Zha! Udah siang!" seru Salsa sembari menarik selimut yang menutupi tubuh gadis itu sampai sebatas d**a.
"Tinggal lima centi lagi gue kena kiss Manu Rios dan lo buat semuanya ambyar," gerutunya dengan kesal.
Salsa berkacak pinggang menatap temannya itu. "Bangun! Udah jam sebelas ini. Katanya mau nyari kafe, jadi nggak?"
Zhaira menyipitkan mata melihat ke arah jam digital yang bertengger di atas nakas. Seketika gadis pemilik nama lengkap Zhaira Izzaty Naqiyah itu berdecak, kala retinanya menangkap angka delapan lebih dua puluh menit yang tertera. Salsa selalu saja melebih-lebihkan jam seperti almarhum maminya.
"Bangun! Ayo, cepetan mandi!" Salsa menarik kedua tangan Zhaira agar bangun dari posisi tidurnya.
Zhaira menguap lebar sembari menggaruk kepalanya yang terasa gatal. Salsa yang melihat itu hanya bisa menghela napas.
"Salep lo masih ada nggak?" tanya Salsa seraya berjalan untuk menyikap gorden berwarna gold itu.
Zhaira menepuk jidatnya. "Yah, Sal. Gue lupa belum beli lagi."
"Ya udah, biar gue yang beli. Lo mandi aja," ucap Salsa.
Zhaira tersenyum lebar seraya melangkah ke arah Salsa, memeluknya erat dari belakang. "Makasih cabatnya akoh yang super duper tantizzqqq. Lo selalu ada buat gue."
Salsa mengulas senyum, lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah Zhaira. "Inilah gunanya teman. Lo itu bahkan udah lebih dari seorang teman, Zha. Lo udah kayak Adik gue sendiri."
"Unchhh totwittt bangetttt," ucap Zhaira sembari menarik ujung hidung bangir Salsa.
Salsa mengerucutkan bibirnya sembari memegang hidungnya yang memerah karena cubitan dari Zhaira. "Udah sana mandi. Kasian hidung gue kayak badut."
Zhaira tertawa seraya mengambil langkah masuk ke dalam kamar mandi. Detik berikutnya, Salsa berjalan keluar dari apartemen untuk membeli salep.
Busa putih dengan perpaduan aroma strawberry menyelimuti tubuh Zhaira yang kini tengah berendam di dalam bathtub. Matanya terpejam sembari mengusap bekas luka jahitan di perutnya. Sudah satu bulan lebih ia tinggal di apartemen yang ia beli dengan uang hasil dari Youtube-nya dan endors di i********:. Selama itu pula, Zhaira menyembunyikan diri di apartemennya ini. Tidak ada yang tahu kabar dan keberadaan Zhaira saat ini selain Salsa. Akun YouTube dan i********:-nya sudah lama tidak Zhaira kelola. Ia terlalu malu dalam menghadapi hujatan netizen padanya karena kasus sang papinya. Kalau pun ada keperluan mendesak yang memaksa Zhaira untuk keluar dari apartemen, gadis itu akan mengenakan masker dan kacamata hitam agar orang-orang tidak mengenalinya. Rambutnya pun sudah ia cat berwarna hijau di bagian bawah.
Selama satu bulan itu juga, Zhaira tidak pernah sekalipun menjenguk papinya di penjara. Ia masih marah pada pria yang menjadi cinta pertamanya begitu lahir ke dunia.
Harta benda yang dulu selalu menyelimuti kehidupannya, kini telah hilang. Beruntung, Zhaira masih mempunyai tabungan dari kerjaannya selama ini dan berniat untuk memanfaatkan sisa tabungannya itu untuk membeli dan mengelola kafe.
Tok! Tok! Tok!
Suara gedoran pintu yang cukup keras membuyarkan lamunan Zhaira. Tanpa sadar, sudah setengah jam lebih ia berendam dalam bathtub.
"Zha! Cepetan dong! Ah elah, lo mah nguji kesabaran gue mulu!" seru Salsa dari balik pintu kamar mandi.
"Iya, ini juga udah selesai kok," jawab Zhaira segera.
Gadis berponi itu segera berdiri, meraih bathrobe yang menggantung di kapstok dan segera memakainya. Rambut basahnya ia gulung ke atas dengan handuk putih tipis miliknya.
Zhaira melangkah keluar dari dalam kamar mandi dan langsung mendapati Salsa yang tengah duduk di atas ranjang sembari mengetuk-ngetukkan kakinya pada lantai, wajahnya terlihat jengkel saat beradu pandang dengan Zhaira.
"Udah beli salepnya?" tanya Zhaira seraya melangkah ke arah meja rias.
Salsa mendengus kesal. "Udah dari tadi. Mandi aja lama banget," cibirnya.
"Suka nggak mirror lo ya. Lagian semua cewek kan kalau mandi emang selalu sama," ucap Zhaira sembari mengeringkan rambut dengan hairdryer.
Salsa berjalan ke arah balkon dan duduk di atas sofa yang ada di sana sembari menunggu Zhaira bersiap. Rencananya hari ini Salsa akan menemani Zhaira mencari kafe untuk usaha gadis itu.
*****
Mobil sport berwarna merah milik Salsa melaju membelah jalanan, menuju kafe yang akan Zhaira beli.
"Zha, lo udah hubungi penjualnya, kan?" Salsa bertanya tanpa menoleh ke arah Zhaira.
"Udah, Sal. Katanya langsung ketemu di kafe aja, biar sekalian lihat langsung kafenya," ucap Zhaira. Salsa hanya mengangguk sebagai respon.
Dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Salsa terhenti di depan kafe. Kedua gadis cantik itu langsung turun dari dalam mobil.
Hoodie berwarna peach dengan paduan rok putih di atas lutut membungkus tubuh Zhaira. Rambut panjangnya ia ikat menjadi satu, masker berwarna senada dengan rok yang ia kenakan menutupi sebagian wajahnya. Tak lupa Zhaira mengenakan kacamata gayanya yang berwarna hitam.
"Langsung masuk aja, Sal," ucap Zhaira dan mereka pun langsung melangkah masuk ke dalam kafe dan mendekati orang yang sepertinya pemilik kafe tersebut.
"Permisi, Pak," ucap Zhaira.
Sontak, pria berjas hitam itu menoleh dan tersenyum sopan melihat dua gadis di depannya. "Mbak Zhaira?" tanyanya.
Zhaira mengangguk. "Iya, Pak. Saya."
"Kalau begitu mari ke ruangan saya. Kita bicarakan di dalam," ajak pria tersebut.
Zhaira mengangguk sebagai respon. Lantas, Zhaira dan Salsa melangkah mengikuti pria tersebut untuk masuk ke dalam ruangannya.
*****
Fairel tengah duduk di meja kerjanya sembari membuat desain untuk proyek barunya di Purwokerto. Tiba-tiba Fairel teringat pada Zhaira, bagaimana kabar gadis itu? Apa anak buahnya sudah berhasil mendapatkan informasi mengenai Zhaira? Tidak ingin bergelut terus dalam pikirannya, Fairel meraih ponsel di atas meja lalu menghubungi salah satu anak buahnya.
"Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan informasi mengenai Zhaira?" seloroh Fairel begitu sambungan telepon terhubung. Ia sudah mengirimkan foto Zhaira yang di dapat dari Silmi agar memudahkan anak buahnya untuk mencari Zhaira.
"Maaf, Tuan. Sampai sekarang, kami belum dapat mengetahui informasi Nona Zhaira," ucap Burhan, di seberang sana.
Fairel menghela napas berat, memijat pangkal hidungnya. "Ya sudah, kalian lanjutkan pencarian itu. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya."
"Baik, Tuan."
Setelah itu, Fairel memutuskan sambungan telepon dan menyimpan kembali ponselnya. Fairel sudah terlanjur jatuh terlalu dalam pada Zhaira. Meski terdengar mustahil, tapi Fairel yakin kalau rasa ini sudah menjadi rencana Tuhan yang sudah di siapkan untuknya.
"Zhaira, kamu dimana?" gumam Fairel, menatap kosong ke depan. Hati kecilnya berkata, kalau Zhaira masih hidup.
*****
"Lo jadi ambil kafe itu, Zha?" tanya Salsa melirik sekilas pada Zhaira yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang berada di perjalanan pulang.
Zhaira menghela napas, bersandar pada penyangga kursi sembari menatap lurus ke depan. "Nggak tahu, Sal. Tarifnya kemahalan. Belum sama modal lainnya. Tabungan gue mana cukup," ucapnya.
"Lo bisa pakai uang gue dulu kok, Zha," ucap Salsa.
"Nggak usah, Sal. Gue mau mulai bisnis ini benar-benar murni dari uang gue sendiri sejak awal."
"Terus gimana dong?" Salsa menoleh ke arah Zhaira saat lampu merah menyala dan mobilnya berhenti melaju.
Zhaira memanyunkan bibirnya, lalu menoleh pada Salsa. "Nggak tahu. Mungkin gue cari kafe lain aja kali ya. Nggak apa-apa kecil juga, buat awalan. Nanti kalau bisnis gue udah sukses gampang diperbesar."
"Zha, kenapa lo nggak coba endors lagi aja sih? Kan lebih gampang, nggak kerepotan juga," ucap Salsa.
Zhaira menggeleng. "Gue nggak kuat sama hujatan netizen, Sal. Karena masalah Papi, semuanya jadi ancur. Gue kehilangan keluarga yang harmonis, Mami, dan kerjaan gue."
Salsa tersebut hangat sembari mengusap bahu Zhaira. "Lo nggak boleh salahin Papi lo, Zha. Papi lo juga nggak hal ini terjadi. Dan pastinya, ada alasan logis yang buat Papi lo terpaksa harus lakuin itu."
Zhaira menatap sendu ke samping kaca. Air matanya menetes begitu saja. Rasa sesak kembali ia rasakan saat mengingat kejadian itu.
Salsa kembali menjalankan mobil saat lampu hijau menyala. "Zha, kita makan dulu ya. Tenang, gue yang bayarin kok."
Zhaira hanya diam dalam tangisnya. Salsa ikut merasa kesedihan yang di alami oleh Zhaira. Mungkin, ia pun sama kalau berasa dalam posisi tersulit seperti Zhaira.
Hidup memang tak selamanya selalu berjalan manis. Ada kalanya kita harus merasakan kepahitan hidup, meski tak ada seorang pun yang menginginkan posisi itu.