First Sight
"Hai! Aku mau rekomendasiin produk skincare dari Korea yang lagi booming. Produk yang aku pakai ini berguna untuk mengangkat kotoran di wajah sekaligus dapat mengembalikan elastisitas kulit lho. Kalian bisa pakai setiap malam. Aku baru pakai 3x tapi udah nunjukin hasil di kulit wajahku. Yuk, langsung aja kepoin! Cek akun yang aku tag ya! Bye!"
Zhaira, begitu orang-orang memanggilnya. Gadis cantik yang baru saja menginjak usia ke dua puluh tahun dua minggu yang lalu.
"Gimana, Sal? Oke nggak?" tanya Zhaira pada temannya, Salsabila Wafiyah yang tadi merekam videonya.
"Oke banget, Zha. Apalagi sama pemandangan di sini, semakin nambah poin cantik di rekaman lo." Salsa memperlihatkan hasil rekamannya tadi pada Zhaira.
Zhaira tersenyum puas. "Emang nggak salah kita pergi ke sini."
"Tapi, Zha. Kayak biasa lo nggak bakal bisa upload videonya sekarang. Sinyalnya kan susah," ucap Salsa.
Zhaira mengangguk-anggukan kepala. "Iya, sih. Paling nanti kalau udah di Jakarta."
Salsa menarik napas panjang sembari mengedarkan pandangannya. "Balik ke penginapan yuk, Zha. Lengket badan gue, pengen mandi," ajak Salsa.
Zhaira mengangguk. Kedua gadis itu pun melangkah menuju penginapan yang jaraknya tak jauh dari kawasan pantai.
*****
"Masyaallah.... ini benar-benar surga tersembunyi di Indonesia," sanjung laki-laki berkaos putih yang dipadukan dengan kemeja hitam polos. Panggil dia Fairel.
"Rekomendasi siapa dulu dong? Adli gitu lho," ucap laki-laki bernama Adli menyombongkan diri sembari menepuk dadanya.
"Belagu banget lo. Pikirin istri di rumah tuh, butuh belaian sebelum tidur," sahut Gibran dengan ciri khas rambut yang acak-acakan dibagian depan.
Adli meninju pelan bahu Gibran. "Ngiri aja lo jomblo."
Gibran berdecak kesal seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans hitamnya. "Au ah gelap."
Fairel memakai kacamatanya yang semula menggantung di kaos bajunya. "Ya udah yuk, kita ke penginapan."
Adli dan Gibran mengangguk. Ketiga laki-laki itu pun melangkah menuju penginapan yang akan menjadi tempat tinggal mereka sementara berada di Maluku.
Pantai Ora adalah tempat tujuan berlibur mereka kali ini. Pantai yang terletak di Pulau Seram, Kabupaten Seram Utara, Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Tepatnya ada diujung Barat teluk Sawai disebelah Desa Saleman dan Sawai ditepi hutan Taman Nasional Manusela.
Siapapun yang berkunjung ke Pantai Ora ini pasti langsung jatuh hati dengan tebing-tebing, air laut yang bening, serta suasananya yang tenang. Ditambah lagi dengan kekayaan terumbu karang, ikan, dan berbagai biota laut lainnya. Keindahan pantai berpasir putih ini tak kalah cantik dengan Maldives.
Selain itu, terdapat juga resort penginapan yang mengapung di atas pantai. Para pengunjung bisa langsung lompat keluar kamar dan berenang menikmati keindahan bawah laut seperti terumbu karang dan ikan-ikan yang memiliki berbagai warna.
"Siapa dulu yang mandi nih?" tanya Adli pada kedua temannya.
Gibran yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur langsung menolak untuk mandi terlebih dahulu. Ia ingin mengistirahatkan mata sejenak.
"Gue duluan deh," ucap Fairel sembari berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Sembari menunggu Fairel mandi, Adli membereskan barang-barangnya terlebih dahulu. Sedangkan Gibran nyenyak dalam tidurnya. Wajar saja, untuk sampai ke Pantai Ora ini memerlukan waktu yang tidak sedikit. Tapi, pemandangan di sini paling menyembuhkan setelah perjalanan jauh. Apalagi dengan langit biru dan laut jernih seperti sepasang kekasih yang selalu bersama.
Diantara ketiga laki-laki itu, baru Adli yang sudah menikah dengan menjemputnya melalui proses ta'aruf. Berbeda dengan Fairel dan Gibran yang masih betah menjomblo. Sebenarnya, Gibran sudah memiliki tambatan hati. Tinggal memantapkan niat untuk mengajaknya ta'aruf.
Prinsipnya menghalalkan bukan mengharamkan. Kalau cinta ya nikahi, bukan mempacari. Memiliki kekasih halal menambah pahala, sedangkan memiliki kekasih tanpa ikatan halal hanya akan menambah dosa.
Fairel berjalan keluar dari dalam kamar mandi dengan mengenakan kaos putih polos serta celana jeans sebatas lutut. Lalu selanjutnya giliran Adli yang mandi.
Fairel berjalan ke arah cermin. Menyisir rambutnya yang masih basah dengan gaya seperti Oppa-oppa Korea. Wajahnya semakin terlihat tampan. Badannya tinggi tegap dengan rahang yang kokoh, menambah visual laki-laki berusia dua puluh empat tahun itu. Fairel menjadi yang paling muda diantara Adli dan Gibran yang sudah menginjak usia dua puluh lima tahun.
"Ran, gue mau keluar. Lo mau ikut nggak?" ucap Fairel sembari menyemprotkan parfum ke beberapa titik tubuhnya.
Merasa tidak ada respon, Fairel menoleh ke belakang dan mendapati Gibran yang sudah terlelap dalam tidurnya. Ia menghembuskan napas panjang. Lalu berjalan ke arah pintu kamar mandi.
"Ad, gue mau keluar nih. Lo ikut nggak?" tanya Fairel dari balik pintu.
"Nggak. Lo duluan aja. Gue mau video call manja sama Bini gue. Lo yang punya Bini sana jalan jomblo aja," sahut Adli membuat Fairel memutar bola mata malas.
Sebelum melangkah keluar, Fairel mengambil kameranya terlebih dahulu. Ia ingin mengabadikan momen indah surga tersembunyi di wilayah Timur Indonesia ini.
Kedua sudut bibir Fairel terangkat membentuk senyuman manis. Ia tak henti-hentinya bergumam penuh kekaguman, melihat pemandangan di sekitarnya. Selalu saja, Fairel tidak pernah bisa menghilangkan kekagumannya pada ciptaan Tuhan itu.
Laki-laki berusia dua puluh empat tahun itu langsung saja membidikkan kameranya pada pemandangan sekitar. Pantai yang berpadu dengan panorama pegunungan hijau dan berbalut dengan birunya langit Maluku.
Para kaum hawa yang melihatnya memekik tertahan melihat betapa sempurnanya ciptaan Tuhan dihadapan mereka saat ini.
Dengan kamera yang menggantung di lehernya. Fairel melangkah menyusuri jalanan kayu yang dibangun bersama penginapan di atas pantai.
*****
"Ih, pengen foto full body berdua. Tapi minta tolong siapa ya, Zha?" ucap Salsa kebingungan. Pasalnya, dari Jakarta mereka datang ke Maluku hanya berdua.
"Nanti aja, kalau ada orang lewat baru minta tolong fotoin. Sembari nunggu, lo mending fotoin gue lagi deh, Sal." Zhaira tersenyum lebar sembari menaik-turunkan kedua alisnya pada Salsa.
Salsa mendengus kesal. "Lama-lama gue alih profesi dari Youtuber jadi fotografer lo, Zha."
Zhaira terkekeh geli. "Udah, cepetan fotoin gue. Sayang banget nih, kalau nggak diabadikan."
Salsa mendengus kesal, namun tak urung memotret temannya sejak SMA itu.
Selain seorang Youtuber, Zhaira dan Salsa juga berprofesi sebagai selebgram. Bahkan akun mereka sudah mencapai jutaan followers. Meski terlahir dari keluarga berada, tapi kedua gadis itu memutuskan untuk menghentikan pendidikan sampai SMA. Mereka termasuk ke dalam orang-orang yang malas dalam belajar. Katanya, percuma menempuh pendidikan tinggi kalau tidak ada niat.
Zhaira berpose dengan berbagai gaya. Menjadikan topi pantai dan kacamata sebagai pemanis dalam penampilan. Dengan kesabaran Salsa, memotret temannya yang memiliki kecantikan seperti artis-artis Korea. Selain postur tubuhnya yang ideal, Zhaira juga memiliki kulit putih dan juga bersih.
"Udah ah, Zha. Gantian nih, giliran gue yang foto," ucap Salsa sembari menyerahkan ponselnya pada Zhaira.
Belum sempat ponsel itu beralih tangan pada Zhaira, kedua mata Salsa menangkap seorang yang tengah berjalan ke arah mereka. Ia tersenyum merekah dan langsung memanggil orang tersebut.
"Eh, Mas! Sini dong!" panggil Salsa dengan sedikit berteriak sembari melambaikan tangannya. Zhaira pun mengikuti arah pandang Salsa.
Sedangkan laki-laki yang dipanggil oleh Salsa, menunjuk pada dirinya sendiri memastikan kalau benar dirinya lah yang dipanggil.
"Iya, Mas! Sini!"
"Ish, Sal. Ngapain sih, manggil dia segala. Kita nggak kenal tahu," gerutu Zhaira.
"Minta tolong nggak mesti sama yang kita kenal aja. Lagian gue pengen foto full body tahu sama lo," ucap Salsa membuat Zhaira menghembuskan napas pasrah.
Salsa tersenyum manis pada laki-laki yang tadi ia panggil.
"Ada apa ya?"
"Mas, saya boleh minta tolong buat fotoin saya sama temen saya nggak?" pinta Salsa dengan sopan.
Laki-laki itu meringis menatap penampilan kedua gadis di hadapannya. Begitu sadar, ia beristighfar dalam hati dan buru-buru memalingkan pandangannya ke arah lain. "Maaf saya tidak bisa."
Mendengar jawaban itu, Zhaira dan Salsa saling menatap tak percaya. "Kenapa, Mas? Ini pakai hape saya kok, nggak pinjam kameranya Mas," ucap Salsa yang melihat kamera menggantung dileher laki-laki itu.
Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam. Memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeans-nya. Pandangannya mengedar menatap pemandangan sekitar. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Salsa begitu pelan, nyaris tak terdengar.
Zhaira menatap tak suka pada laki-laki yang mulai mengambil langkahnya itu. Sedangkan Salsa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan dahi berlipat bingung.
"Tunggu!" teriak Zhaira, membuat laki-laki tersebut menghentikan langkahnya. Salsa mengerikan dahi ke arah Zhaira.
"Kenapa lo, Zha?" tanya Salsa.
Mengabaikan pertanyaan Salsa, Zhaira melangkah lebar menghampiri laki-laki itu. Ia melepas kacamatanya yang semula bertengger di atas hidung, lalu bersedekap menatap laki-laki di hadapannya.
"Gue nggak suka sama cara lo yang seolah menilai penampilan gue sama temen gue," ucap Zhaira berkata dingin.
"Maaf sebelumnya, apa kalian seorang seorang muslim?" tanyanya tanpa menatap Zhaira dan Salsa.
"Alhamdulillah, saya dan teman saya Zhaira muslim." Salsa menjawab mewakili.
Laki-laki tersebut miring. "Apa seperti ini, cara berpakaian seorang muslimah yang sesungguhnya?"
Zhaira memicing tak suka. Ia sedikit mengangkat dagunya. "Lo pikir lo siapa ngomentari cara berpakaian kita?" ketusnya, membuat Salsa yang sudah berdiri di sebelahnya menghela napas.
Laki-laki itu melepaskan kacamata yang ia kenakan. Kini, terlihat jelas ketampanan yang dimiliki olehnya. Salsa sampai terpaku melihat sosok tampan itu. Sedangkan Zhaira, semakin menatap tajam kedua bola mata laki-laki di depannya.
"Kalian sadar nggak? Cara berpakaian kalian ini, banyak memancing perhatian orang-orang untuk bisa menikmati aurat kalian yang terekspos bebas ini."
Zhaira mengepalkan kedua tangannya dengan kesal lalu menghentakkan kakinya. Memang penampilannya dan Salsa begitu minim. Dress di atas lutut tanpa lengan berwarna putih, sangat kontras dengan kulit mereka.
"Terus urusannya sama lo apa? Mau gue berpakaian minim, atau telanjang sekalipun di depan banyak orang. Itu bukan urusan lo! Dosa gue yang nanggung, kenapa lo yang ribet, ha?!" sentak Zhaira dengan emosi menggebu-gebu.
"Jelas ada urusannya sama saya. Karena sudah menjadi kewajiban sesama muslim untuk saling mengingatkan satu sama lain," ucap laki-laki itu membuat Zhaira semakin naik darah.
Sebelum Zhaira kembali berucap, lebih dulu Salsa menarik tangan Zhaira menjauh dari laki-laki itu. Setelah cukup jauh Salsa menarik tangan Zhaira, ia pun melepaskan cekalannya.
"Sumpah ya, Sal. Gue benci banget sama dia! Orangtua gue aja nggak pernah mempermasalahkan cara berpakaian gue. Tapi dia? Argh! Lo sih, pakai manggil dia segala!" seru Zhaira menyalahkan Salsa.
"Ih, kok gue sih?" ucap Salsa tak terima.
"Ya terus siapa lagi? Lo yang manggil tadi kan?" kesal Zhaira.
"Iya, sih. Tapi kan gue nggak tahu kalau ujungnya dia bakal ceramahi kita," ucap Salsa seraya menghela napas panjang.
Zhaira menyisir rambutnya ke belakang. Ia berkacak pinggang menatap laki-laki itu yang tengah melanjutkan perjalanannya.
"Apa jangan-jangan, dia itu ustadz, Zha?" tebak Salsa.
Dahi Zhaira mengerit bingung menatap Salsa. "Masa sih?"
"Bisa jadi, Zha. Seumur-umur, kita nggak pernah tuh di ceramahi sama orang kayak tadi. Bahkan keluarga aja pada diem-diem bae," ucap Salsa.
Zhaira menghembuskan napas panjang. "Bodo amat deh. Mau dia ustadz kek, apa kek, bukan urusan gue. Udah ah, ayo ke penginapan aja."
Zhaira melangkah lebih dulu meninggalkan Salsa yang tengah menatap kepergian laki-laki tadi. "Untung ganteng, jadi gue luluh, nggak kuasa buat nyemprot dia kayak si Zhaira."
Detik berikutnya, Salsa berlari mengejar langkah lebar Zhaira.
*****
"Udah puas keliling-keliling nya?" tanya Gibran begitu Fairel tiba.
Fairel tersenyum seraya merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Puas banget."
"Eh, Rel. Ketemu sama yang bening-bening nggak tadi?" tanya Gibran sembari tersenyum lebar.
Alih-alih menjawab pertanyaan Gibran, justru Fairel terdiam sembari mengedarkan pandangannya. "Adli kemana?"
"Lagi keluar. Nggak tahu kemana. Lagi cari sinyal kayanya," ucap Gibran. "Pertanyaan gue belum lo jawab tadi, Rel."
Fairel melempar bantal pada Gibran. "Katanya lagi memantapkan niat buat meta'arufkan Silmi, masih aja nanyain yang bening-bening."
Gibran tertawa pelan. "Ah elah, baperan banget sih lo, Rel. Kali aja lo abis ketemu sama yang bening-bening terus langsung fall in love gitu."
Fairel tersenyum sinis menatap langit-langit kamar.
"Jodoh nggak ada yang tahu kan, Rel? Siapa sangka, kalau lo dipertemukan sama bidadari surga lo di sini," ucap Gibran.
Fairel memejamkan kedua matanya sembari tersenyum miring. "Iya. Jodoh nggak ada yang tahu. Kali aja jodoh gue itu sebenarnya Silmi, iya kan?"
Gibran terbelalak kaget mendengar ucapan Fairel. Langsung saja ia melayangkan bantal yang semual Fairel lempar padanya. "Sialan lo, Rel! Jangan gitu juga kali."