Shocked Moment

1007 Words
Suara dentingan sendok mengisi ruangan. Keluarga kecil Fairel tengah sarapan bersama saat ini. "Bang, kamu nggak iri sama Gibran? Dia udah mau nikah lho. Apalagi Adli, udah mau punya anak. Kamu calonnya aja belum ada," sindir Karimah pada Fairel. Fairel menghela napas menatap sang ummi. "Ummi kok ngomongnya gitu banget sih, Mi? Emang belum waktunya aja dipertemukan sama jodoh Fairel," protesnya. "Ya habisnya kamu tuh, cepet-cepet cari istri. Biar kalau punya anak, Ummi masih kuat buat gendongnya. Takutnya Ummi nggak bisa gendong anak kamu." Fairel menggaruk pangkal hidungnya, melirik sekilas pada abi dan adiknya yang tengah menertawakannya pelan. "Ummi jangan gitu dong. Fairel juga pasti akan nikah kok, tenang aja." "Apa perlu Abi turun tangan buat ikut cariin jodoh buat kamu?" Ghanim mulai mengeluarkan suaranya. "Iya, Bi. Emang harusnya gitu, Abang kalau ditagih calon istri bilangnya tenang-tenang mulu," timpal Karimah. Fairel menghela napas panjang. "Nggak usah, Bi. Lagian Fairel juga udah ada calonnya kok." "Ha? Siapa?" heboh Rayna. "Ada lah pokoknya," jawab Fairel. "Masa? Kok, Ummi nggak percaya ya. Ini cuma alasan Abang aja kan, biar Ummi berhenti nagih calon menantu sama kamu?" Karimah memicingkan matanya pada Fairel. Fairel terkekeh pelan. "Nggak, Mi. Fairel serius. Udah ada gadis yang mikat hati Fairel." "Siapa?" tanya Rayna. "Namanya, Zhaira." Ghanim mengangguk-anggukan kepala. "Lalu, kapan kamu mau kenalin Zhaira ke Abi sama Ummi?" Fairel meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nah, itu dia masalah, Bi. Fairel nggak tahu keberadaan dia sekarang." Ketiga anggota keluarganya menatap tak percaya dengan apa yang baru saja Fairel ucapkan. "Kamu ini gimana sih, Bang? Udah deh, kalau nggak ada calon ya bilang nggak ada, jangan ngada-ngada," ucap Karimah menatap jengkel pada Fairel. "Udah, Bi. Cariin aja jodoh buat Abang, ustadzah di pondok pesantren Abi kan banyak yang naruh hati sama Bang Fairel," ucap Rayna yang langsung mendapat anggukan persetujuan dari sang ummi. "Tapi kan---" "Udah, nggak usah tapi-tapian. Sekarang begini saja. Abi sama Ummi kasih waktu selama satu bulan kamu kenalin gadis yang bernama Zhaira itu. Kalau selama sebulan kamu belum bisa juga kenalin Zhaira sama Abi dan Ummi, berati kamu harus mau menerima gadis yang sudah Abi sama Ummi pilihkan buat kamu. Gimana?" ujar Ghanim memberi tantangan untuk Fairel. Fairel memijit pelipisnya, ia benar-benar pusing bingung, pusing, dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia harus bagaimana? Untuk mencari keberadaan Zhaira bukan suatu hal yang mudah. Apalagi ia tidak tahu tempat tinggal gadis itu. Tapi, kalau ia menurut untuk dijodohkan oleh orangtuanya, Fairel merasa tidak rela kalau harus melupakan Zhaira. Mimpi yang selama ini menyergapnya, seolah pertanda kalau Zhaira ada kaitannya di masa depan Fairel. "Gimana, Bang?" tanya Karimah. Fairel menghela napas berat. Menimbang semua yang ada di pikirannya. Lama ia bergelut dengan semua uneg-uneg yang ada di dalam otak. "Bang?" Rayna menggoncang pelan bahu Fairel. Fairel spontan menoleh. Lalu menatap ke arah abi dan umminya yang masih menanti jawaban darinya. Dengan berat hati, Fairel mengangguk. "Iya, Bi, Mi. Fairel terima tantangan itu," ucapnya. Fairel berdoa dalam hati, agar dipermudah untuk bisa bertemu dengan Zhaira. Dan mengajaknya untuk beribadah. Meski mungkin risiko ia akan ditolak mentah-mentah oleh gadis itu, karena sejak awal pertemuan mereka tidak berlangsung baik. Dan juga, mereka masih terkesan asing satu sama lain. ***** Seperti permintaan Gibran kemarin untuk membantu pindahan Silmi. Saat ini, Fairel tengah berada di rumah sederhana Silmi membantu mengangkut barang-barang ke dalam mobil. Fairel terlihat beda dari biasanya. Tampilan boleh rapi, tapi tidak bisa dipungkiri kalau laki-laki itu terlihat kacau batin. Seperti orang yang sedang diburu banyak pikiran. Memang benar, Fairel masih memikirkan perkataan abinya tadi pagi. Saat di kantor pun, Fairel banyak melamun dan tidak fokus dengan kerjaannya. "Rel, lo kenapa sih? Lo lagi ada masalah ya?" tanya Gibran. Fairel menghembuskan napas panjang. "Iya, nih. Gue lagi banyak pikiran." "Kerjaan?" tebak Gibran. "Bukan. Udah lah, nanti aja gue ceritanya. Sekalian sama Adli," ucap Fairel membuat Gibran mendengus kesal. Ia terlanjur penasaran saat masalah Fairel bukan mengenai kerjaan. Pasti ini hal yang exited. Fairel mengangkat kardus berwarna cokelat dan hendak membawanya ke luar. Namun secara tiba-tiba, perekat bagian bawah kardus terlepas, alhasil buku-buku yang berada di dalamnya berjatuhan. Terdengar suara kencang dari dalam, Gibran dan Silmi berlari ke arah sumber suara. Fairel menghela napas panjang, segera berjongkok untuk membereskan buku-buku itu kembali. "Gue kira apaan," ucap Gibran seraya membantu Fairel membereskan buku-buku yang berserakan itu. Fairel mengeritkan dahi saat melihat foto dalam album milik Silmi. Tangannya terulur untuk meraih album foto yang terbuka itu. Fairel terbelalak kaget saat melihat sosok yang tak asing di matanya dalam foto itu. Dalam foto itu terlihat tiga remaja cantik mengenakan seragam SMA. "Zhaira," cicit Fairel. Gibran dan Silmi berjalan mendekati Fairel. Gibran mengerikan kening melihat wajah tercengang Fairel saat melihat album foto itu. "Eum, itu album foto waktu SMA." Silmi tersenyum malu sembari mengambil alih album itu dari tangan Fairel. "Jadi, yang ada di dalam album semuanya temen-temen kamu?" tanya Fairel dengan dahi berlipat bingung. "Iya." "Alhamdulillah," ucap Fairel bernapas lega. Gibran menatap heran pada temannya. "Lo kenapa sih, Rel?" Mengabaikan pertanyaan Gibran, Fairel melirik sekilas ke arah album yang berada di tangan Silmi. "Itu berarti, kamu temannya Zhaira." "Zhaira? Iya. Dia teman baikku, dan juga Salsa." Fairel tersenyum senang. Berkali-kali ia mengucap syukur. Mungkin ini petunjuk dari Allah untuk ia bisa bertemu dengan Zhaira kembali. "Silmi, boleh kamu antarkan saya ke rumah Zhaira?" tanya Fairel penuh harap. Silmi terdiam, wajahnya berubah sedih. Tak terasa, cairan bening lolos dari kedua matanya. "Sil, kenapa nangis?" panik Gibran, tangannya terulur untuk mengusap bahu calon istrinya, namun buru-buru ia beristighfar karena gadis itu belum halal untuk disentuhnya. Fairel ikut bingung dengan Silmi yang menangis tiba-tiba. Perasaannya tiba-tiba tidak enak saat melihat reaksi Silmi setelah menanyakan alamat tinggal Zhaira. "Silmi, ada apa?" tanya Fairel. Silmi mencoba menghentikan tangisnya. "Zhaira, Zhaira sudah...." "Sudah apa?" tanya Fairel dengan tidak sabaran. Silmi kembali tersendu, ia menggelengkan kepala tak kuasa untuk berucap. "Zhaira sudah meninggal." Fairel mematung di tempat. Shock dengan apa yang baru saja Silmi katakan. Zhaira? Gadis yang ia sebut dalam diskusinya dengan Sang Khalik. Gadis yang membuatnya penasaran sejak pertemuan pertama. Gadis yang selalu mengusik dalam setiap mimpinya. Meninggal? Tolong katakan kalau ini hanya sebuah prank.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD