Buruan Nikah?

1057 Words
3 "Ehem ... ehem," batuk rejan dari Om Andre menyadarkanku akan kehadirannya di sini. "Ini siapa?" tunjuk Mpus. "Om Andre," jawabku. "Aa' Andre," jelas pria six bag itu. Aku memutar bola mata. Sementara Mpus memandangi kami bergantian. "Aku boleh main ke rumahmu?" tanya Mpus. Aku mengangguk. "Kamu belum pindah rumah, kan?" "Rencananya sih mau pindah," jawabku asal. Alis Mpus menyatu bak ulat bulu lagi parade. "Pindah ke mana?" tanyanya. "Ke ujung samudra. Bersama teman. Berduaan." Tawa Mpus pecah mendengar jawabanku. "Masih ingat lagu film kartun itu?" tanyanya di sela tawa. "Masih, dong. Itu kan tontonan kita dulu kalo kamu ngapel di minggu pagi." "Ehem ... ehem ... ehemmmm!" Aku dan Mpus menoleh bersamaan ke Om Andre. Dia memandangi kami dengan wajah kecut bak belimbing wuluh. "Ayo, kita pulang, Sayang!" ajaknya dengan penekanan kata di ujung kalimat. Aku menghela napas dan embuskan cepat. Kemudian menoleh ke Mpus dengan sorot mata meminta pengertian. "Aku pulang dulu, ya," pamitku. "Oke. Nanti aku datang ke rumahmu, Kin," jawabnya sambil melambaikan tangan. Om Andre menarik tangan kiriku yang membalas lambaian tangan Mpus dan menggiringku ke arah parkiran. *** Sepanjang perjalanan kami saling diam. Aku mempergunakan waktu dengan memandangi suasana jalan yang semakin lama semakin menjauh dari arah menuju rumah kami, eh rumahku yang berseberangan dengan rumahnya. Setelah tujuh tanjakan, delapan turunan dan sembilan belokan serta sepuluh pos polisi kami lewati, akhirnya pria bertubuh tinggi besar ini menghentikan laju motor dan menepi di depan sebuah rumah makan khas Minang. "Kok ke sini, Om?" tanyaku pura-pura lugu. "Aa' masih lapar gara-gara tadi belum kenyang makan di sana," jawabnya sambil membuka helm dan kancing kemeja batiknya. "Ehh, mau ngapain?" Aku mulai panik melihat kancingnya nyaris terbuka semua. "Buka kemejalah. Panas," jawabnya. Tangannya menggulung kemeja, digumpal-gumpal, terus dihempaskan ke dalam bagasi di bawah jok. Menutup jok dengan keras hingga membuatku melompat mundur sejauh sepuluh kilometer. Aku terperangah saat menyadari ternyata dia memakai kaus berwarna hitam yang ketat di dalam kemejanya. Memperlihatkan koper dengan enam tonjolan di depan tubuh. "Ayo!" ajaknya sambil menggandengku dengan paksa. Aku tertatih mengikuti langkah kakinya yang panjang. Sesampainya di dalam dia langsung duduk di meja paling depan dan menjentikkan jari. Seorang pelayan bergegas menghampiri meja kami dengan wajah yang sangat ramah. "Kayak biasa, Kang?" tanya pelayan itu yang dibalas anggukan Om Andre. Tanpa banyak tanya pelayan itu beserta seorang temannya menyiapkan semua lauk pauk dan menghidangkannya di atas meja. Tak lupa menambahkan dua gelas es teh manis yang menggoda untuk segera diminum. Kami makan dalam diam. Sesekali berebut lauk di piring yang sama. Aku tersenyum saat menyadari kerakusan kami dalam hal makan. Dari gaya dia makan, aku bisa menyimpulkan bahwa pria berkulit kuning kecoklatan ini paling suka dengan makanan yang banyak bumbu. "Tante berambut merah itu. Apa dia masih tunangan, Om?" tanyaku saat kami sudah selesai makan. "Nggak. Hubungan kami sudah selesai sekitar empat bulan yang lalu," jawabnya sambil menyandar di sandaran kursi. "Kenapa?" "Karena dia kepergok selingkuh dengan mantan pacarnya." "Hmm, terus?" "Ya, aku putusinlah. Ngapain juga terus-terusan berharap dengan orang yang nggak cinta sama aku," jelasnya dengan pandangan menerawang. "Aku memutuskan untuk pindah ke depan rumah orang tuamu tiga bulan yang lalu juga dalam rangka menjauhi dan melupakan dia," sambungnya. Sejenak hening. Om Andre terlihat sibuk mengusap perutnya yang hamil anak gajah. Sedangkan aku sibuk memainkan ponsel. "Mpus itu siapa?" tanyanya tiba-tiba. "Dia teman sekolah dasarku dulu. Nama aslinya Zacky. Dia dan keluarganya penggemar berat kucing. Makanya kupanggil mpus. Dia sering main ke rumah tiap hari Minggu pagi. Numpang nonton film kartun terus nemenin aku main masak-masakan," jelasku. "Di komplek kita itu dulunya sepi. Anak kecil cuma ada beberapa. Kebetulan rumahnya itu yang di ujung blok kita. Yang sekarang jadi minimarket itu, Om," sambungku. "Aa'! Jangan panggil om atuh." "Bagiku sekali Om ya tetap Om. Lagian kan beda usia kita ini jauh, Om." "Cuma beda sepuluh tahun ini. Tepatnya sembilan tahun delapan bulan dan dua puluh satu hari," jelasnya. "Yaelah. Meni dihitung sagala!" "Biarin! Ntar mau kubikinin film dokumenter tentang cerita kita buat ditayangin di acara pernikahan kita." "Ckckck. Aku kan belum oke-in, Om!" "Tapi Papa dan mamamu udah oke!" tegasnya sambil memajukan tubuh. Aku mengibaskan tangan ke atas bak penari latar video lagu dangdut. Om Andre tersenyum lebar karena merasa menang berdebat denganku. Aku berdiri sambil menarik tas dan menyampirkannya di bahu. Om Andre berdiri perlahan dan .... Brrruuukkk! Dia jatuh dengan posisi miring ke kiri. "Aduh, Om! Nggak apa-apa kan?" jeritku panik sambil membantunya duduk. Dia tidak menjawab. Yang terdengar hanya dengkuran tiga oktafnya. *** Pelayan tadi mendekat dan membantuku menggusur tubuh Om Andre. Dibantu tiga pelayan lain, akhirnya kami mengangkat tubuhnya yang berat dan mendudukkannya ke atas kursi. Aku hanya mampu terdiam menatapnya yang tertidur pulas. Badan membungkuk dan wajah miring ke kiri menempel di atas meja. Beberapa tetes liur mulai melintas dari mulutnya yang terbuka. "Kang Andre emang gitu, Teh. Kalo kekenyangan pasti tertidur di sini," ujar pelayan berwajah ramah itu. Aku mengernyitkan dahi dan menaikkan alis cetarku dengan sorot mata bertanya. "Kang Andre ini pelanggan tetap dari pertama kalinya saya membuka rumah makan ini tujuh tahun yang lalu," ujar pria kurus itu. Ternyata perkiraanku salah. Dia bukan pelayan, melainkan pemilik rumah makan. "Kantor sekaligus rumahnya ada di situ. Hampir tiap hari Kang Andre makan siang di sini," sambungnya lagi. Aku manggut-manggut berlagak paham. Mataku mengarah pada bangunan besar di seberang sana yang tadi ditunjukkan pria pemilik rumah makan ini. Setelah menunggu selama empat jam empat menit dan empat detik, akhirnya pria six bag pun terbangun. Mata bulatnya dipicingkan ke arahku yang duduk di sebelahnya. Sesaat kami saling berpandangan sebelum akhirnya dia mengerjapkan mata, mengangkat kepala sembari menguap. Kemudian merentangkan tangan dan menoleh ke kiri dan ke kanan, masing-masing delapan kali. "Aku ketiduran, ya?" tanyanya sembari tersenyum memamerkan dua lesung pipi yang dalam. "Nggak. Pingsan doang," jawabku asal. Om Andre tertawa pelan, terdengar cukup merdu dengan irama ketukan 2/3. "Aku mau ke toilet dulu, habis itu baru kita pulang," ujarnya sembari berdiri dan beranjak menuju bagian dalam rumah makan. Tak berapa lama kemudian ia kembali dengan wajah dan rambut yang basah. Tangannya menarik tisu dari atas meja dan mengusap wajah dengan gerakan memutar ala balerina. "Om, buruan!" ucapku kesal. "Apa? Buruan nikah? Hayok!" sahutnya dengan semangat. Spontan tanganku mencubit lengannya. Dia balas menowel lenganku. Kubalas lagi menjewer telinganya. Dia balas menjitak kepala dan tertawa kegirangan saat aku meringis sambil mengusap kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD